Bibinya jelas terkejut ditodong dengan pertanyaan seperti itu, terutama oleh keponakannya yang sebelumnya ia kenal sebagai seseorang yang pemalu dan penurut.
“Aku tahu bibi yang melakukannya, sebab hanya bibi yang tahu dimana nenek meletakkan surat tanah dan sertifikat rumah. Sudah lama aku menanti - nanti bibi mengakuinya sendiri tanpa harus aku tanyai seperti ini, tetapi hari itu tak kunjung datang. Jadi aku memberanikan diri untuk bertanya langsung pada bibi.” , jelas Adelia lagi.
“Apa maksudmu?!” , elak bibinya.
Dada Adelia mulai terasa sesak. Belum pernah sebelumnya ia terlibat adu mulut langsung dengan bibinya. Selama ini ia hanya menjadi penonton bibinya berdebat adu mulut dengan orang lain.
“Berhentilah mengelak!” , sahut Adelia tak mau kalah.
Ia memejamkan matanya dan menunduk saat meneriakan perkataannya, berusaha untuk menekan semua perasaan dan pikiran - pikiran lainnya yang ingin ikut menyeruak keluar.
Rangga yang baru masuk, tidak berani untuk melangkah masuk lebih dalam.
“Aku tidak berniat untuk menyalahkan bibi. Aku yakin bibi punya alasan yang begitu mendesak sampai terpaksa harus meminjam uang pada bank dengan menjadikan rumah ayahku menjadi jaminannya. Aku hanya ingin mengingatkan, jangan lupa segera lunaskan. Rumah itu sangat berharga bagiku. Hanya rumah itu yang ayah dan ibuku berikan padaku. Bibi tolong mengertilah..” , lirih Adelia.
Diluar, Dira telah selesai dengan panggilan teleponnya. Dari tempatnya berdiri, samar - samar ia bisa mendengar suara Adelia. Seolah - olah tahu apa yang terjadi, ia langsung bergegas masuk kembali ke dalam toko. Begitu ia membuka pintu, dilihatnya seseorang berdiri membelakanginya tepat di balik pintu bagian dalam. Dilihatnya orang tersebut tampak tidak asing, ditambah celana yang dikenakan orang tersebut tampak familiar sekali.
“Kau tidak ada urusan dengan hal ini, jadi tidak perlu mengkhawatirkannya! Bibi akan mengatasinya, kau diam saja!” , ujar bibinya dengan nada agak ketus.
Suaranya terdengar sampai ke pintu depan, membuat Rangga dan Dira juga mendengarnya.
Melihat situasi yang terjadi, Dira merasa tidak enak dengan orang luar yang datang di saat seperti ini. Ia pun mendekat untuk menanyakan apa yang ingin dibeli, tetapi ia mengurungkan niatnya saat menyadari itu adalah Rangga, teman sekelasnya, saat melihat sisi samping wajah orang tersebut dari belakang.
“Sedang cari apa?” , tegur Dira dengan suara yang dengan sengaja dilantangkan supaya menjadi kode juga untuk ibu dan Adelia untuk berhenti.
Suara Dira berhasil mengejutkan Rangga dan juga dua orang yang sedang adu mulut disana. Mereka semua terdiam karenanya. Adelia tahu, Dira pasti sedang bicara dengan orang lain yang baru datang. Akhirnya, ia pun menghentikan pembicaraannya dengan bibinya dan kembali ke belakang.
Rangga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, malu karena tertangkap basah sedang mendengarkan pembicaraan orang lain secara diam - diam, “Aku hanya ingin membel-- Loh? Dira? Sedang apa kau disini?.” , ujar Rangga terkejut ketika berbalik dan mendapati Dira berdiri di belakangnya. Ini adalah pertama kalinya bagi Rangga, untuk bertemu dengan Dira di luar jam sekolah.
“Aku bekerja disini.” , jawab Dira singkat.
Sebagai salah satu pekerja disini, Dira sangat bertanggung jawab dengan kerapihan. Ia membereskan kembali kotak kardus yang tadinya menghalangi jalan dan menyingkirkan kardus - kardus yang berkumpul di dekat pintu, agar pembeli yang datang lebih leluasa berkeliling.
Rangga menyingkir, bergeser ke samping agar ia tidak mengganggu Dira yang bergerak kesana - kemari membereskan kardus - kardus yang bertumpuk - tumpuk. Dalam hatinya ia merasa sedikit terganggu dengan kehadiran Dira. Pasalnya, waktu di sekolah saja ia pernah melihat Dira dan Adelia pergi keluar kelas untuk bicara berdua di saat semua murid - murid yang ada di kelasnya sudah tidak ada yang keluar kelas.
Ditambah lagi ini, fakta bahwa Dira bekerja di tempat yang sama dengan Dira. Rangga sudah merasa tidak ada harapan. Ia memiliki prinsip tidak akan menyukai orang yang sudah menjadi milik orang lain. Ia tidak ingin menjadi rendah dengan menjadi pencuri dan juga perusak hubungan orang lain hanya karena gejolak dopaminnya sesaat.
Melihat Rangga masih berdiri di tempatnya seakan sedang menunggu sesuatu, entah apa itu, Dira menyamb sebuah keranjang plastik berwarna biru tua dengan gagang pegangan berwarna kuning dan memberikannya pada Rangga.
“Ini.” , katanya, “Pilih saja barang yang ingin kau beli.”
Rangga menerimanya dengan wajah bingung. Tetapi dengan teguran Dira itu, ia kembali teringat apa tujuannya kemari. Tidak ingin berlama - lama lagi di sana, Rangga langsung beranjak menuju rak - rak tempat bumbu kering dan juga tepung dengan berbagai varian. Melihat barang - barang yang dititipkan oleh ibunya, ia bisa langsung tahu apa yang ibunya hendak masak untuk makan malam hari ini. Ayam goreng krispi dengan tumis cumi asam manis pedas. Membayangkannya saja sudah cukup membuat perutnya berteriak kegirangan dan segera membersihkan sisa ruang yang ada agar lebih leluasa menampungnya.
Adelia tidak langsung kembali ke depan setelah meletakkan kardus - kardus kosong yang sudah ia bongkar menjadi lembaran agar tidak banyak memakan ruang untuk menyimpannya. Ia berjongkok di antara tumpukan barang - barang stok baru yang belum di pindahkan ke depan. Setelah memberanikan diri untuk bicara langsung dengan bibinya tadi, kini Adelia ingin menumpahkan semua air mata yang tertinggal. Mungkin karena sudah terlalu sering dirinya menangis akhir - akhir ini, kali ini ia hanya menatap kosong lantai dingin yang dipijak olehnya. Tidak ada air mata yang keluar, sekeras apapun ia ingin menangis. Sempat Adelia berpikir kantung air matanya sudah mengering untuk saat ini.
***
“Ini, ma.” , kata Rangga dengan lesu seraya meletakkan sekantung plastik berwarna hitam berisi belanjaan yang ibunya minta.
Bahkan dirinya tidak bersemangat begitu melihat tebakannya benar soal masakan yang akan ibunya masak.
Ibunya yang sedang memotong - motong cumi yang sudah dibersihkan, melirik pada kantung belanjaan yang diletakkan tak jauh dari dirinya, dan beralih melirik pada putranya. Dilihatnya raut wajah Rangga sedikit berubah. Mungkin orang lain tidak akan menyadarinya, tetapi dia adalah ibunya, yang mengenal betul hal - hal mengenai putranya, termasuk perubahan raut wajah yang sangat samar. Instingnya sebagai ibu lah yang mendukung kecurigaannya itu.
“Kau kenapa, Rangga? Mengapa kau terlihat lesu begitu?” , tanya ibunya tidak mengganggu langkah Rangga yang hendak kembali bergabung dengan teman - temannya.
“Siapa? Aku? Tidak, ah. Perasaann mama saja.” , balas Rangga tanpa menatap ibunya.
Rangga tahu, ibunya pasti akan langsung menyadari kebohongannya jika melihat raut wajahnya. Rangga memang bukan pembohong yang handal jika sudah berurusan dengan ibunya.
Ibunya tidak menjawab lagi. Ia tidak ingin menginterogasi Rangga disaat seperti ini, terutama di depan teman - temannya.
“Kakak kenapa, ma?” , tanya Kaila yang sejak tadi diam - diam memperhatikan ibu dan juga kakaknya itu.
Ibunya hanya tersenyum, “Tidak tahu, tuh. Kau sudah selesai memotong - motong ayamnya?”
“Sudah nih, ma.” , jawab Kaila seraya mengangkat mangkuk kaca yang sudah berisi potongan - potongan daging ayam.
***
Sang mentari sudah berganti dengan rembulan yang bersinar terang malam ini. Sosoknya muncul seutuhnya, begitu bulat, dan nampak bersinar. Meskipun cahaya tersebut bukan cahaya dari dirinya sendiri, melainkan hanya pantulan dari sang mentari. Tetapi siapa yang menyangka, hasil pantulan itu akan tampak begitu indah dipandang.
Jarum panjang berwarna merah masih dengan setia bergerak lebih cepat dari dua jarum jam berwarna hitam lainnya, menghasilkan suara yang setidaknya mengisi keheningan apda ruang tengah rumah Rangga. Teman - temannya sudah kembali ke rumah mereka masing - masing dengan perut kenyang beberapa saat yang lalu. Kini Rangga sudah mengganti bajunya dengan kaos lengan panjang berwarna yang kebesaran dan juga celana pendek berwarna hitam.
Buku di tangannya, Rangga menghampiri ibunya yang tengah meminum tehnya dengan begitu santai di teras depan rumah mereka, ditemani dengan bunga - bunga juga tanaman hias yang ditanam serta dirawat oleh ibunya secara langsung.
Rangga mengambil tempat duduk di depan ibunya dan fokusnya langsung pada bukunya. Ibuanya yang tengah menyeruput tehnya. Matanya melirik Rangga di depannya. Raut wajah gelisah masih tampak pada wajah Ranga, dan ia masih sabar menungu untuk Rangga yang bercerita langsung padanya. Ia tidak ingin memaksa anak - anaknya untuk terbuka padanya. Ia memutuskan untuk menunggu.
“Bulan malam ini bersinar terang sekali.” , ujar ibunya mencoba mencari perhatian.
Rangga begitu mendengar pernyataan tadi, langsung menoleh dan mendongak ke atas. Dari air mukanya terlihat jelas Rangga terpesona melihat keindahan alam yang bertengger di langit itu.
“Cantik sekali..” , ujar Rangga tanpa sadar.
Ibunya di dekatnya tersenyum setelah berhasil membuat putranya teralihkan sebentar.
Setelah mengucapkan kata ‘cantik’, Rangga langsung teringat pada Adelia. Bayangan Adelia saat di menari di kelas pada sore itu, bayangan Adelia yang saat tersenyum padanya sore tadi meskipun itu hanyalah sandiwara belaka, semuanya tampak cantik dalam ingatannya.
Terpikirkan soal Adelia, ia jadi teringat pada Adelia sore tadi saat terlibat adu mulu dengan seseorang. Yang membuat Rangga kepikiran bukanlah suara Adelia, melainkan apa yang Adelia bicarakan. Mendengar permasalahan Adelia, membuat Rangga iba sekaligus semakin ingin melindunginya. Ditambah lagi ingatan saat ia melihat ada bekas luka pada tangan Adelia pada waktu itu. Hatinya terenyuh menyadari betapa banyaknya kesusahan yang Adelia emban di usia yang sepertinya sama dengan usianya.
“Ma,” , kata Rangga mencoba membuka suara.
“Hmm?” , balas ibunya menanggapi dengan santai seperti biasanya. Padajal dalam hatinya ia merasa lega karena akhirnya putranya mau berbagi kegelisahan yang dirasakan padanya.
“Menurut mama, antara laki - laki dan perempuan, siapa yang lebih kuat?” , tanya Rangga.