BAB SEPULUH : TERUS TERANG (part 2)

1789 Kata
Rangga terperanjat, sepertinya dirinya tertangkap basah. “Tidak apa - apa. Malah itu hal baik, jadi mama tidak perlu berteriak - teriak dulu sebelum kalian mau bergerak saat mama meminta tolong.” “Bukan begitu ma. maksudku--” “Sudah, sudah,” , sela ibunya memotong ucapan Kaila, “Sini bantu ibu mengupas bawang. Sudah sana Rangga, kau pergi berbelanja saja. Kalian berdua jangan berani - berani untuk pulang sebelum makan disini, ya..Atau nanti kalian tidak akan diperbolehkan main ke sini lagi.” ancam ibunya Rangga pada kedua teman Rangga yang masih duduk di sofa. Fino dan Aldo yang masih duduk di sofa tersenyum masam menanggapi ancaman dari ibu temannya itu. “Rangga! Aku ikut denganmu!” , kata Fino. “Aku juga! Aku juga!” , Aldo ikut menimpali. “Tidak. tidak, tidak, tidak! Kalian diam disini saja. Aku tidak akan lama. Sungguh.” , segera Rangga langsung buru - buru pergi keluar sebelum disusul oleh kedua temannya. Ia tidak ingin kedua temannya itu merusak rencananya dan mengetahui alasan mengapa ia mengajukan diri untuk berbelanja. Ya, benar. Adelia. Hanya itu satu - satunya alasan untuknya. *** Bagaikan suasana sesaat setelah hujan badai berlalu, suasana di dalam toko bibinya Adelia begitu tenang. Antrian yang begitu menumpuk beberapa saat lalu, sudah berhasil mereka bertiga atasi dengan baik. Jika sebelumnya mereka benar - benar kerepotan melayani pembeli yang terus memanggil dari berbagai sisi, sekarang ini mereka benar - benar bersantai. Masih belum ada pembeli yang datang lagi setelah lima belas menit yang lalu. Bibi Adelia yang bekerja dibalik meja kasir, memanfaatkan waktu senggang seperti ini untuk menghitung uang pendapatan hari ini, sementara Dira dan juga Adelia harus memeriksa barang dan mengisi kembali semua stok barang pada tiap - tiap rak. Adelia mengeluarkan satu kotak kardus berisi minuman yogurt kemasan botol dengan berbagai rasa dari gudang belakang dan kemudian ia bawa ke depan untuk memenuhi lemari dingin yang sudah mulai kosong. Saat mengeluarkan satu per satu botol - botol tersebut, ia teringat Rangga pernah memberikannya sebotol yogurt padanya saat salah satu hari terburuknya terjadi. Kedatangan Rangga hari itu seakan seperti secercah cahaya matahari yang muncul di balik awan badai. Dan sekarang rasanya ia merindukan kehadiran secercah cahaya matahari seperti pada waktu itu. Tepat di samping lemari es besar tempat Adelia meletakkan yogurt, Dira juga sedang mengisi ulang kembali ruang minuman kaleng dengan kaleng - kaleng minuman yang baru. Tetapi ia tidak melakukannya dengan serius. Matanya seakan tidak mau lepas dari ponsel di tangan kirinya. Ia yang sudah lebih dulu berdiri di sana pun kalah dengan Adelia yang baru datang beberapa saat lalu. Adelia menutup pintu lemari es di depannya pelan setelah meletakkan botol yogurt terakhir tepat pada satu slot yang masih tersisa. Semuanya tampak berjejer rapi. Saat hendak meletakkan kardus kosong di tangannya ke gudang, Adelia memperhatikan sejenak sepupunya yang tidak lebih dingin sikapnya dari lemari es di hadapannya. Tidak biasanya sepupunya yang satu ini terlihat cemas. Apa yang ia cemaskan? Adelia bertanya - tanya dalam hatinya. “Kau akan membuat tagihan listriknya naik bulan ini.” , celetuk Adelia memulai percakapan. Ia mendekat pada Dira untuk membantu memindahkan kaleng - kaleng minuman dari kardus ke rak - rak kosong pada lemari es khusus minuman. Dira menoleh pada Adelia dan tidak menanggapi perkataan Adelia padanya. Ia tahu sepupunya ini tengah menyindirnya yang sudah terlalu lama membuka lemari esnya. Perhatiannya kembali pada ponselnya. Adelia semakin dibuat penasaran olehnya, “Kau sedang menunggu balasan atau panggilan dari seseorang?” , tanya Adelia mencoba memuaskan rasa penasarannya. “Bukan urusanmu.” , jawab Dira singkat tanpa menatap pada Adelia. Ini bukan pertama kalinya Adelia mendapat perlakuan seperti itu dari Dira, namun tetap saja Adelia masih belum terbiasa dan masih saja merasa jengkel dengan hal itu. Bahkan pernah beberapa kali ia mengutuk Dira dengan sebutan ‘batu’ di depan orangnya, tetapi itu tidak menghasilkan apa - apa sebab Dira benar - benar tidak peduli dengan hal itu. Belum sempat Adelia mengajukan pertanyaan lain, sebuah panggilan masuk mengejutkan keduanya, terutama Dira. Ia langsung meletakkan kaleng minuman di tangannya kembali ke dalam kardus dan bergegas keluar untuk menjawab panggilan telepon tanpa nama itu. Karena Dira keluar dengan begitu terburu - buru, secara tidak sengaja ia menyenggol sebuah kardus yang menyebabkan pintu yang otomatis tertutup itu menjadi tertahan tidak tertutup sepenuhnya. “Sebenarnya siapa sih yang dia tunggu?” , gumam Adelia. Semua hal tentang sepupunya itu adalah misteri baginya. Tidak ada yang Adelia tahu betul tentang Dira selain pengalaman - pengalaman mereka sewaktu kecil, makanan kesukaannya, merek parfum yang digunakan olehnya, dan juga jam - jam Dira mandi. Hanya itu dan tidak lebih dari itu. Adelia bahkan tidak begitu tahu teman - teman dekat Dira. Sebab Adelia jarang melihat Dira di sekolah kecuali saat pelajaran tengah berlangsung. Adelia memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Saat ia hendak kembali ke gudang belakang, ia melewati bibinya yang masih sibuk dengan tumpukan uang di hadapannya dan juga tangannya yang terus bergerak menari - nari di atas tombol kalkulator. Bibinya tampak begitu serius menghitung setiap lembar dan juga setiap keping uang logam yang ada. Melihat hal itu, Adelia tiba - tiba saja teringat pada surat pemberitahuan sekaligus peringatan yang dikirim ke rumahnya, padahal baik dirinya maupun neneknya tidak pernah meminjam uang pada bank ataupun pada siapapun. Adelia selalu memegang teguh nasehat ayahnya yang mengatakan padanya untuk tidak pernah terlibat dengan hutang, dalam bentuk apapun. Dan jika pun terpaksa atau secara tidak sengaja berhutang budi pada orang lain, maka harus segera dibayarkan dan tidak menunda. Dengan memberanikan diri Adelia menghampiri bibinya. Ingatannya akan hari - hari dimana bibinya memukulinya masih terekam dengan begitu jelas dalam ingatannya. Sehingga untuk membicarakan hal serius di tempat yang sama saat bibinya memukulinya beberapa waktu lalu, membutuhkan keberanian ekstra. Adelia menautkan kedua tangannya memberi kekuatan untuk dirinya sendiri agar tidak mudah goyah nantinya. Ini adalah persoalan yang tidak hanya mempertaruhkan sebuah rumah tempat tinggalnya, namun juga semua kenangan yang ada di dalamnya. Rumah tersebut menjadi sebuah saksi biksu atas semua waktu - waktu yang pernah Adelia habiskan bersama kedua orangtuanya. “Bi,” , ujar Adelia agak - agak takut. “Hm?” , balas bibinya singkat. Ia tidak melihat ke arah Adelia sedikitpun. Matanya masih fokus dengan hitungannya. Adelia mengulum bibirnya ke dalam mulutnya. Ia tidak melanjutkan lagi ucapannya dan hanya diam berdri disana. Adelia tidak mengharapkan bibinya menganggap remeh dirinya. Tetapi yang ia dapatkan saat ini, bibinya sama sekali tidak memberikan perhatiannya sejenak untuk sekedar mendengarkan apa yang ingin ia sampaikan. “Aku mendapat sebuah surat pemberitahuan dari bank.” , ujar Adelia terus terang, "Katanya rumah kami akan disita jika tidak segera membayar pinjaman uangnya." Beberapa saat yang lalu ia berpikir akan terlalu lama jika harus meminta bibinya mendengarkannya dengan serius. Oleh karena itu ia memutuskan untuk langsung mengungkapkan hal yang ingin ia katakan, sebab sudah pasti bibinya itu akan mendengarkan dengan pembicaraannya itu sendiri. Seolah - olah telah tertangkap basah, tangan bibinya yang tadi aktif menekan tombol - tombol angka pada kalkulator berhenti di udara. Kali ini baru ia memberikan seluruh perhatiannya pada Adelia yang sudah berdiri di hadapannya. “B-bank?” , tanya bibinya gugup. Adelia mengangguk, “Iya. Tetapi bukan aku yang menerimanya, melainkan nenek.” Tangan bibinya yang tadi masih tertahan di udara, kini jatuh lemas begitu mendengar perkataan Adelia barusan menambah keterjutannya. “Setahuku aku tidak pernah meminjam uang kepada siapapun, terutama bank. Nenek juga sudah terlalu tua untuk bisa memahami prosedur peminjaman uang di bank. Tetapi mengapa aku menerima surat itu? Bahkan dalam surat itu juga dikatakan rumah ayah akan disita jika tidak segera melunasi hutang adlam tempo tiga bulan.” , jelas Adelia dengan sengaja memancing bibinya itu. Ia sengaja melakukan trik dengan tidak secara langsung mengatakan ia tahu bibinya yang melakukannya. Mula - mula Adelia ingin melihat apakah bibinya itu akan langsung mengakuinya dan bertanggung jawab atau tidak. Bibinya masih diam mendengarkan. Wajahnya terlihat menegang. “Apa kau sudah memastikan itu adalah surat sungguhan? Maksudku.. bukan ulah orang iseng saja?” , tanya bibinya berusaha menimpali agar tidak terlihat kegugupannya. “Aku sudah memeriksanya dengan menanyakannya langsung ke bank terkait. Setelah memeriksa nomor surat tersebut, mereka mengatakan itu surat resmi dari mereka. Jujur saja aku benar - benar terkejut saat disana, bi. Ingin rasanya aku protes mengatakan aku ataupun almarhum kedua orangtuaku tidak pernah berhutang sebelumnya. Tetapi aku menahannya.. Aku tidak ingin menimbulkan keributan di sana.” , kata Adelia. Ia merasa semakin banyak ia bicara, keberanian yang entah darimana datangnya semakin besar. Kedua tangannya yang sebelumnya saling bertaut, kini sudah berpisah satu sama lain sebab sudah tidak membutuhkan dukungan keberanian lagi. Bibinya tidak merespon apa - apa lagi. Kini ia malah kembali melanjutkan hitungannya yang sempat tertunda. Adelia sudah mulai kehilangan kesabaran. Bagaimana bisa bibinya tenang - tenang saja padahal rumah kakaknya sedang terancam. Tak jauh dari toko, Rangga berhenti sejenak untuk melihat penampilannya pada kaca sebuah butik yang ada tepat di samping toko sembako milik bibinya Adelia. Beruntung, kaca yang sekaligus menjadi dinding agar manekin - manekin di baliknya terlihat jelas itu panjang dan lebar, sehingga Rangga bisa melihat hampir seluruh penampilannya sebelum masuk ke dalam toko. Ia masih memakai celana seragam sekolahnya, hanya saja baju seragamnya sudah ia lepas dan diganti dengan kaos hitam lengan pendek yang menampakan tangan putihnya. Soal penampilan, Rangga tidak pernah kecewa dengan dirinya sendiri yang menurutnya memiliki selera yang bagus. Oleh karena itu, saat bercermin pada kaca butik tersebut, Rangga lebih berfokus untuk merapikan rambutnya. Tidak ada yang salah dengan rambutnya, hanya saja tekstur rambutnya yang begitu kaku membuatnya harus sering - sering merapikannya. Sebab, terkena angin sedikit saja, posisinya sudah berubah dan akan menetap selama beberapa waktu. Setelah dirasa rapi, Rangga memantapkan diri untuk melangkah masuk. Tepat di depan pintu masuk ia berhenti. Ia melihat seseorang yang menurutnya tidak asing sedang berdiri membelakanginya dengan tangannya yang memegangi ponsel pada telinganya. Tanpa Rangga ketahui, itu adalah Dira. Namun karena Dira berdiri membelakanginya, ia tidak menyadarinya dan memilih untuk masuk. Karena pintu masuknya terganjal oleh sedikit bagian kardus, saat Rangga membuka pintunya lebih lebar dan masuk ke dalam, tidak ada suara lonceng yang biasanya akan berbunyi tiap kali ada yang membuka pintu. Lonceng yang dimaksud adalah lonceng yang dengan sengaja digantung di atas pintu dan akan berbunyi saat pintu yang terbuka menyenggolnya. Namun karena pintunya memang tidak sepenuhnya tertutup karena terganjal oleh kardus, membuat lonceng tersebut tidak berbunyi. “Bibi!” , ujar Adelia dengan sedikit membentak. Rasa kesal dalam hatinya sudah tidak tertahankan lagi. Rangga yang sudah masuk ke dalam, terkejut mendengar hal itu. Ia yakin itu adalah suara Adelia, namun ini pertama kalinya ia mendengar Adelia berteriak marah seperti itu. Melihat suasana toko yang sepi dan juga suara Adelia yang berteriak tadi, Rangga yakin sesuatu yang rumit sedang terjadi. “Mengapa kau melakukannya?” , tanya Adelia terus terang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN