“Masuklah.” , ujar Rangga membuka pintu rumahnya, mempersilahkan kedua temannya masuk.
Alih - alih langsung masuk ke dalam, kedua temannya itu malah berputar melihat sekeliling bagian depan rumahnya. Mereka tampak terpesona, terutama temannya yang menelponnya tadi, Fino.
“Wah, Ga, halaman depan rumahmu cantik sekali~ Lihatlah bunga - bunga ini! Mereka mekar dengan begitu indah. Siapa yang menanam dan merawat semua ini?” , puji Fino yang menghampiri deretan pot - pot besar yang berjejer rapi di halaman rumah Rangga.
“Ibuku. Entah darimana dia belajar menanam dan merawat bunga - bunga itu.” , balas Rangga yang sedang melepas sepatunya.
Fino menghirup dalam - dalam aroma dari bunga berwarna putih jenis Gardenia jasminoides atau orang - orang biasa mengenalnya dengan bunga Kacapiring. Dari segi penampilan, bunga Kacapiring ini seperti perpaduan bunga Mawar dan Melati. Kelopaknya seperti Mawar, sedangkan warna dan bentuk tanamannya mirip dengan Melati. Tanaman perdu dengan tinggi mencapai satu setengah meter ini memiliki batang yang berkayu, membulat, dan bercabang. Ranting muda dan daunnya berlapis lilin. Daunnya berwarna hijau tua, berbentuk bulat seperti telur dengan ujung dan pangkal yang meruncing. Aroma harumnya menjadi salah satu ciri khasnya.
“Kau suka bunga, Fino?” , tanya Aldo yang datang bersama Fino dan merupakan salah satu teman dekatnya, terdengar heran. Memang hanya segelintir pria yang menyukai keindahan seperti bunga - bunga. Fino adalah salah satunya. Bagi Aldo itu merupakan hal yang aneh, sebab menurut pemahamannya, yang menyukai hal - hal seperti itu adalah perempuan.
“Iya, aku suka. Mereka begitu indah.” , jawab Fino dengan bangga dengan hal itu.
Rangga tersenyum. Ia senang temannya menerima diri mereka apa adanya, “Kau punya selera yang bagus juga. Kapan - kapan bicaralah dengan ibuku. Kalian pasti akan jadi teman mengobrol yang klop.”
Mata Fino langsung berbinar dan ia melompat senang, “Baiklah! Kalau begitu aku akan sering - sering main kesini nanti, hahahaha.”
Rangga masuk ke dalam rumahnya lalu diikuti dengan kedua temannya di belakangnya yang juga menyusul masuk, “Seperti tidak perlu sering - sering. Ibuku juga tidak selalu ada di rumah.”
“Yaah..” , keluh Fino kecewa.
***
Saat Adelia tiba di toko bibinya, ia melihat sudah banyak orang - orang yang mengantri. Buru - buru ia memakirkan sepedanya, tak lupa menguncinya pada pagar kecil di samping toko dan langsung bergegas masuk untuk membantu.
“Maaf, permisi. Permisi. Maaf permisi sebentar.” , ujar Adelia berusaha menerobos antrian yang sudah ke pintu masuk.
Setelah melewati rintangan tersebut, Adelia disambut dengan Dira yang sudah kotor dengan tepung - tepung di tangan dan juga kakinya. Adelia tersenyum masam pada Dira yang tengah menatapnya dengan tatapan sebal. Tanpa bicara apa - apa, Adelia dengan sopan melewati Dira untuk pergi ke belakang, meletakkan tas kecil yang ia bawa dan juga memakai celemeknya sebelum mulai membantu. Sebelum kembali ke depan untuk membantu, Adelia mengangkat rambutnya tinggi - tinggi lalu mulai menyisirnya dengan jari - jarinya untuk kemudian ia mengikatnya dengan ikat rambut berwarna hitam yang selalu ia bawa di pergelangan tangannya. Rambut yang diikat tinggi - tinggi adalah favorit Adelia. Sebab ia tidak perlu merasa gerah pada leher bagian belakangnya dan terasa lebih bebas untuk bergerak.
Di dalam sebuah kamar yang tak jauh dari tempat Rangga dan kedua temannya bermain playstation, ada Kaila yang tengah tertidur di atas meja belajarnya. Air liur sudah mengalir dari ujung bibirnya dan tumpah tempat ke atas buku tugas yang sedang ia kerjakan sebelum ia tertidur. Suara heboh dan berisik terdengar samar dari kamar Kaila. Suara tersebut tidak lain berasal dari mereka yang bermain di ruang tengah.
Dalam tidurnya, Kaila bermimpi sedang liburan romantis di atas kapal pesiar bersama dengan salah satu idolanya. Dalam mimpinya itu dirinya sepuluh senti lebih tinggi dengan kaki jenjangnya bak seorang model, padahal kenyataannya perawakannya cukup gemuk seperti siswi sekolah menengah pertama yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Ia terlihat begitu bahagia dalam mimpinya. Sang idola yang menjadi lawan peran mainnya dalam skenario mimpi itu berlutut dan membuka sebuah kotak kecil yang berisi sebuah cincin. Rasa senang yang Kaila rasakan terbawa hingga ke dunia nyata. Buktinya saat dalam tidurnya ia tersenyum senang dengan air liur yang masih terus mengalir perlahan keluar dari sudut bibirnya. Di tengah suasana romantis tersebut sebuah suara yang tidak asing dan begitu mengganggu masuk ke dalam mimpinya, dan mengacaukan skenario yang telah dibuat oleh otaknya hingga pada akhirnya suara-suara berisik itu menyadarkannya dan membuatnya terbangun dari mimpi indah siang bolongnya.
Perlahan Kaila membuka matanya dan suara berisik itu terdengar semakin jelas di telinganya. Ia mengangkat kepalanya dari atas meja dan dengan tangannya mengelap sisa-sisa air liur yang masih membekas pada sudut bibirnya. Ia tidak langsung merespon selama beberapa saat. Kaila hanya diam menatap kosong pada buku tugasnya yang kini sudah dihias dengan bulatan - bulatan basah bekas air liur tadi. Pikirannya masih mengingat mimpi singkat yang indah tadi dan berusaha mengambil ingatan sebanyak yang ia bisa, sebab hanya dalam beberapa menit ke depan jika ia tidak berusaha mengingatnya kuat - kuat maka semuanya akan menghilang begitu saja.
“Sial! Tadi itu mimpi yang indah sekali.” , katanya mengingat kembali beberapa potongan mimpi yang masih tersisa.
Suara gaduh itu terdengar lagi. Kaila langsung teringat apa yang membuatnya terbangun dan mengacaukan mimpinya. Itu adalah suara kakaknya yang tertawa terbahak - bahak. Mendengar suara itu membuatnya sebal. Segera ia bangkit dari Kursi belajarnya dan melangkah menuju pintu kamarnya dengan langkah marah.
Kaila membuka pintu kamarnya dengan kasar, “Kakak! Bisa tidak sih jangan berisik?! Aku sedang mengerjakan--” , Ia terdiam begitu mendapati bukan kakaknya yang sedang duduk santai di sofa tempat biasa kakaknya bermain game, melainkan Vino dan juga Aldo yang sedang asik dengan stik game masing - masing di tangannya, langsung menghentikan tawanya begitu berbalik dan melihat Kaila.
Mereka bertiga bertemu dan saling bertatapan dengan bingung sekaligus terkejut. Ini adalah pertemuan pertama mereka satu sama lain.
“Oh? Kau sudah bangun?” , tanya Rangga, kakak satu-satunya bagi Kaila.
Ia datang dari arah dapur dengan membawa nampan yang berisi beberapa gelas dan juga sebuah teko yang sudah berisi air jeruk lengkap dengan es batu di dalamnya. Rangga tidak berhenti di samping Kaila dan hanya melewati adiknya itu begitu saja untuk meletakkan nampan yang dibawanya tadi ke atas meja yang ada di depan sofa.
Kaila terdiam di tempatnya dia merasa malu dengan apa yang baru saja ia lakuka. Begitu juga dengan dua teman Rangga yang langsung merasa canggung setelah diteriaki oleh Kaia seperti tadi. Mereka merasa telah mengganggu sang tuan rumah.
Rangga bisa melihat situasi yang terjadi antara kedua temannya dengan adiknya Kaila yang sedang mengalami kesan pertama mereka satu sama lain yang berjalan dengan tidak begitu baik.
“Dia adikku. Kalian belum pernah bertemu dengannya, ‘kan?” , ujar Rangga bicara pada kedua temannya sambil menunjuk ke arah Kaila dengan dagunya, dan kemudian diikuti dengan kedua temannya yang juga langsung menatap kearah Kaila.
Sontak Kaila terkejut sekaligus malu tiba - tiba menjadi pusat perhatian ketiga laki - laki di hadapannya. Dengan kikuk Kaila memaksakan diri untuk tersenyum ramah dengan wajah bangun tidurnya. Kedua teman Rangga balik tersenyum kepadanya sebagai salam sapa perjumpaan pertama mereka.
Rangga mencondongkan tubuhnya untuk menuangkan air jeruk dingin pada gelasnya, “Jangan kebiasaan tertidur di atas meja seperti tadi, Kaila?” , kata Rangga dengan entengnya.
Saat itu juga Kaila baru menyadari dirinya yang statusnya baru saja terbangun dari tidurnya. Itu artinya wajahnya akan terlihat membengkak. Salah satu hal yang tidak ingin Kaila tunjukkan kepada orang lain adalah wajah bangun tidurnya. Tanpa menjawab kakaknya, ia langsung buru - buru berlari menuju kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi dengan kasar.
“Ada apa dengan adikmu?” , tanya Fino.
Rangga yang tengah meneguk minumannya hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan temannya tadi.
Sedangkan di dalam kamar mandi, Kaila mengutuki kakaknya itu yang dengan sembarangan membawa temannya ke rumah tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Adik satu - satunya Rangga ini merupakan salah satu dari perempuan yang memiliki sifat kurang percaya diri dengan penampilannya. Ia benci terlihat jelek oleh orang lain. Dalam kamusnya hanya ayah ibu, dan juga kakaknya saja yang boleh melihat wajahnya saat menangis ataupun setelah bangun tidur.
Untuk menyingkirkan rasa malunya, Kaila menyalakan keran wastafel dan mencuci wajahnya, Setelah itu ia tidak langsung keluar dari kamar mandi. Ia menunggu beberapa saat menatap wajahnya di depan cermin dengan air muka cemberut. Satu - satunya alasan ynag membuatnya merasa sedih adalah karena bentuk tubuh dan juga bentuk wajahnya tidak seperti yang diharapkan.
Tanpa sadar, hal ini disebabkan dirinya yang terlalu sering menonton serial drama Korea yang menurut pandangannya, pemeran - pemeran wanita yang ada dalam drama itu benar - benar ideal. Itu sebabnya ia memasang standar kecantikan untuk dirinya sendiri adalah menjadi seperti mereka, meskipun ibu dan juga kakaknya sudah seringkali berkata padanya, bahwa adalah hal yang wajar untuk remaja seusianya memiliki jerawat dan juga bentuk tubuh yang gemuk. Tetapi yang Kaila tangkap adalah mereka berdua tidak memahami apa yang ia rasakan.
Alih - alih mendengarkan apa yang ibu dan juga kakaknya katakan, Kaila memilih untuk memendam standarnya itu dalam - dalam, sebab jika ia secara terang - terangan mencoba memenuhi standar itu, akan membuatnya kena marah oleh kakaknya dan nasihat panjang dari ibunya. Kakak satu - satunya itu sangat menyebalkan di mata Kaila, tetapi Rangga tidak pernah menjahilinya. Sikap tegasnya saat sedang melarang sesuatu ataupun saat melihat sesuatu yang menurutnya salah, maka Dia akan langsung dengan tegas memarahi tanpa ada belas kasihan. Salah satunya adalah saat Kaila dengan sengaja mengurangi porsi makannya. Itu adalah salah satu hal yang tidak Rangga sukai dan ia memarahi Kaila saat itu juga dengan wajah kalemnya yang langsung berubah menjadi wajah kesalnya. Kakaknya itu tidak pernah main - main jika sudah marah. Iitu sebabnya Kaila tidak lagi berani untuk melakukan program penurunan berat badan.
Di tengah - tengah lamunannya itu ia mendengar suara ramah yang tak asing di luar. Ya, itu adalah suara ibunya yang baru saja pulang dari tempatnya bekerja. Kaila berpikir ini adalah waktu yang tepat untuk dirinya keluar. Segera tanpa merasa bimbang lagi ia langsung bergegas keluar dari kamar mandi dan menghampiri ibunya yang sedang mencuci tangannya di keran bak cuci piring sembari bicara pada kedua teman kakaknya itu yang yang masih di ruang tengah. Mereka bicara bersahut-sahutan.
“Apa Mama bawa sesuatu yang enak untukku hari ini?” , tanya Kaila mencoba menginterupsi pembicaraan.
“Oh? Maaf ya hari ini mama tidak sempat mampir untuk membeli apa - apa. Sudah makan sore?”
Kaila menggeleng dengan manja sambil memegangi perutnya memberi kode bahwa dirinya tengah kelaparan.
“Wah sudah jam segini. Sudah waktunya makan malam.” , kata ibunya Rangga melihat jam besar yang menempel pada dinding di atas televisi.
“Rangga Apa kau sudah mengajak teman - temanmu makan?” , tanya ibunya beralih pada abang kesayangannya.
“Belum, tante.” , balas Fino lebih dulu sebelum Rangga sempat menjawab.
Aldo di sampingnya langsung menyikut pinggang Fino, memberi kode untuk diam dan tidak seharusnya menjawab seenaknya.
Ibu Rangga terkekeh melihat hal itu, sedangkan Kaila menatap sebal laki - laki yang entah sampai kapan akan berada di sana terus.
“Baiklah.. Kalau gitu mama masak sebentar. Kaila bisa bantu Mama membeli beberapa bahan makanan? mama lupa mampir untuk berbelanja tadi.”
Mendengar kata belanja telinga tangga bergerak layaknya sebuah radar yang menemukan sinyalnya, ia langsung berdiri, “Biar aku saja yang pergi berbelanja, ma.” katanya.
Ibunya yang baru saja hendak menyodorkan beberapa lembar uang kepada Kaila, menahan tangannya di udara keduanya menatap heran pada Rangga yang sudah berjalan menghampiri mereka.
Ibu Rangga tidak menolak permintaan Rangga. Ia beralih kepada Rangga untuk memberikan beberapa lembar uang kertas tadinya hendak diberikan pada Kaila.
“Ini," , kata ibunya menyodorkan beberapa lembar uang, "Tolong belikan--
"Aku tidak mengerti mengapa akhir - akhir ini kakak sepertinya senang sekali pergi berbelanja.." , celetuk Kaila di belakang ibunya.