BAB KESEMBILAN : SANDIWARA (part 2)

1547 Kata
Untuk saat ini Adelia hanya bisa berharap baik telinga maupun pipinya tidak akan merona karena akting yang Rangga lakukan. Meskipun detak jantung Adelia sudah berpacu cepat karena ketakutannya tadi, tetapi ia tetap tidak bisa menyangkal jantungnya yang kali ini berdebar lebih cepat lagi dari sebelumnya. Tenggorokannya terasa tercekat untuk sekedar mengucapkan dialognya agar sandiwara ini terlihat lebih realistis. Rangga tidak ingin melanjutkan lebih lama lagi sandiwaranya dan memilih untuk menarik Adelia pergi dari situ. Terlebih dulu ia melepas earphone di telinganya yang sebenarnya tidak sedang memutarkan lagu apapun, kemudian menarik tangan yang dipegangi oleh Adelia dan kedua tangannya memegangi kedua bahu Adelia untuk kemudian ia membawanya pergi dari sana dengan mendorongnya hingga mereka berhasil melewati orang - orang yang masih menunggu disana. Setelah itu ia merangkulkan tangan kirinya melingkari bahu Adelia seakan memamerkan pada semua orang yang disana bahwa Adelia adalah miliknya. Tidak ada yang bisa Adelia lakukan selain terus menunjukkan topeng senyumnya agar sandiwara yang sedang mereka lakukan terlihat lebih realistis. “Menengoklah padaku dalam hitungan ketiga dan tertawa.” , bisik Rangga saat mereka sudah berjalan menjauhi tempat pemberhentian bus. “A-apa?” “Sudah lakukan saja.” , tekan Rangga dengan melakukannya lebih dulu. Ia bicara dengan giginya yang terkatup tersenyum lebar pada Adelia yang berjalan di sampingnya. Setelah beberapa detik, Adelia akhirnya mengerti. Ia ikut menunjukkan giginya dengan senyum lebar yang canggung pada Rangga. Sesekali ia melirik ke belakang untuk memastikan orang yang mencurigakan tadi sudah pergi dan tidak lagi mengikutinya. Pria berkacamata hitam tadi masih berdiri di tempatnya menatap kepergian Adelia dengan kaku. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku jaket mantelnya dan menghela nafasnya berat. Saat itu juga debu dan asap dari bus menyeruak ke arahnya membuatnya terlihat seperti sedang di dalam film, membuatnya terbatuk - batuk. Rangga masih terus merangkul Adelia sampai mereka berbelok di tikungan yang tak jauh dari tempat pemberhentina bus, lalu mereka pun berhenti. Rangga melepaskan tangannya dari pundak Adelia dan bergeser selangkah untuk memberi jarak. “T-terima kasih.” , kata Adelia sedikit menunduk. Ia tidak berani menatap Rangga setelah apa yang ia lakukan tadi dengan tiba - tiba melibatkan Rangga begitu saja tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Adelia tidak punya pilihan lain, hal yang mendesaknya untuk melakukan sandiwara dadakan tadi juga muncul tiba - tiba tanpa memberi peringatan ataupun tanda - tandanya terlebih dahulu. “Tidak apa.” , Rangga tersenyum geli, “Sudah menjadi hal yang wajar pagi perempuan untuk pamer. Yah. salah satunya dengan berpura - pura punya pasangan seperti tadi.” , balas Rangga dengan percaya diri. Ia bahkan membusungkan sedikit dadanya karena merasa berjasa telah membantu Adelia dengan apa yang dia lakukan tadi. Adelia mengernyitkan dahinya, bingung, “Maksudmu?” , ia tidak bisa menangkap sedikitpun apa yang Rangga maksud dengan perkataannya. “Maksudku..” , Rangga ikut bingung setelah melihat reaksi Adelia yang menunjukkan seolah - olah apa yang baru saja ia utarakan bukanlah hal yang sebenarnya terjadi dan bukan alasan yang Adelia miliki. “Iya, apa maksudmu? Aku tidak mengerti.” Mereka hanya saling bertatapan selama beberapa saat. Rangga mengedipkan matanya beberapa kali, mereka sama - sama bingung. Rangga merasa mereka sedang tidak membicarakan satu hal yang sama dan dirinya telah salah paham. Adelia masih diam menunggu jawaban dari Rangga. Ditatap seperti itu oleh Adelia, membuat Rangga mulai gugup. Sebenarnya Adelia hanya menatapnya dengan tatapan biasa karena penasaran dengan apa yang Rangga maksudkan sebelumnya. “Ah, ya, Maksudku, bukankah tadi kau ingin pamer dengan teman - temanmu?” Adelia semakin tidak mengerti apa yang Rangga maksudkan, “Teman - temanku? Siapa?” Dalam hatinya, Rangga ingin sekalimemutar waktu dan menarik kembali omong kosong yang ia ucapkan sebelumnya. “Tadi kupikir kau sedang, ya, maksudku.. Setelah kau menghampiriku tadi, ada beberapa siswi yang memperhatikanmu saat kau tiba - tiba.. memeluk tanganku.” , mengingat kejadian tadi membuat jantung Rangga tiba - tiba merasa begitu gugup berdiri tepat di hadapan Adelia, “Jadi, maksudku, kupikir kau--” , Rangga tidak ingin melanjutkan kalimatnya begitu melihat ekspresi wajah Adelia mendengar penjelasannya yang menunjukkan wajah seseorang yang terheran - heran. “Sepertinya dugaanku salah.” , tambah Rangga menyimpulkan sendiri sebelum Adelia menepis kalimatnya. “Aku hanya merasa sedang dibuntuti saja tadi.” , ujar Adelia ingin langsung menyelesaikan kesalahpahaman ini. “Apa?! Benarkah?!” , tanya Rangga dengan meninggikan suaranya karena terkejut. Beberapa detik setelah Rangga merespon dengan begitu terkejut, sebuah motor melewati mereka. Motor tersebut mesin dan juga knalpotnya sudah dimodifikasi. Dan hal itu membuatnya terkenal sangat berisik. Tidak hanya menimbulkan suara yang berkali - kali lipat lebih keras dari motor pada umumnya. Ada juga beberapa dari mereka yang dengan sengaja membuat knalpot mereka bisa mengeluarkan banyak asap setiap kali mereka menarik gas pada stang kanan. Adelia memejamkan matanya dan juga telinganya untuk melindungi matanya dari debu juga melindungi gendang suaranya dari suara yang begitu memekakkan telinga. Selama beberapa saat mereka kembali diam untuk membiarkan debu Jalanan yang menyambar ke arah mereka mereda dan juga menunggu suara knalpot bising tadi benar - benar berlalu. Mereka masih bisa mendengar suaranya semakin menjauh. Keheningan sesaat yang ada di antara mereka itu Rangga manfaatkan untuk mengontrol kembali ekspresinya dan reaksinya. “Jadi maksudmu, kau tadi di buntuti? Oleh seseorang?” , tanya Rangga memastikan. Kali ini ia mengontrol suaranya menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Adelia mengangguk. Rangga langsung cepat - cepat mundur sedikit hingga ia bisa melihat tempat pemberhentian bus untuk melihat situasi di sana. Sayangnya orang mencurigakan yang Adelia takuti tadi sudah tidak disana. Adelia menunggu dengan gugup. Ia teringat kejadian saat seseorang hendak menabraknya dan Rangga langsung menariknya serta memarahi orang tersebut. Adelia tidak tahu apa yang akan Rangga lakukan kali ini jika ia memberitahu Rangga terus terang tadi. Sebenarnya bisa saja Adelia mengatakan dan menunjukkan langsung orang tadi kepada Rangga. Namun ia sendiri masih ragu apakah orang tersebut benar - benar orang jahat atau ini hanya prasangkanya saja karena pikirannya yang sudah terlanjur terlalu khawatir sejak diberitahukan informasi tentang orang aneh yang suka menunjukkan kemalluannya siang tadi. “Tidak ada. Sepertinya orang itu sudah pergi.” , kata Rangga kembali mendekat pada Adelia. “Benarkah? Syukurlah..” , Adelia menurunkan kedua bahunya melemas. Rasanya seperti semua rasa takut yang sebelumnya ia rasakan, menguap begitu saja. “Kau mau ku antar pulang?” , ujar Rangga menawarkan diri, “Maksudku, aku akan temani kau sampai ke rumahmu. Aku tidak bermaksud apa - apa, sungguh. Hanya ingin memastikan tidak ada lagi orang aneh yang mengkhawatirkan.” “Tidak, tidak.” , Adelia melambaikan kedua tangannya di depan dadanya, “Tidak perlu. Rumahku sudah dekat. Dan aku tidak ingin merepotkanmu.” “Tidak merepotkan sama sekali, kok.” , Rangga menggulung kabel teleponnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya bersiap - siap seakan Adelia akan setuju dengan tawarannya. “Sungguh, tidak perlu mengantarku. Jalanan menuju rumahku cukup ramai, kok. Jadi tidak perlu khawatir.” , tukas Adelia bersikukuh dengan penolakannya. Rangga menangkap penolakan Adelia sebagai bentuk keengganan Adelia untuk menunjukkan tempat tinggalnya padanya. Meskipun ia tidak mengerti apa alasannya, hal itu membuat hatinya agak sedih. “Ya sudah, kalau kau maunya begitu. Hati - hati, ya?” , ujar Rangga menyerah untuk memaksa Adelia. Ia memilih untuk menghargai keinginan Adelia. “Kau juga.” Adelia memilih untuk tetap diam di tempatnya sampai Rangga yang pergi lebih dulu. “Ya sudah, aku pergi.” , Rangga mengangkat tangan mencoba untuk melambaikan tangan pada Adelia, namun berakhir dengan ia melakukannya dengan canggung dan kaku. Rangga mulai mundur perlahan dengan enggan. Dalam hatinya ia berharap Adelia mengubah keputusannya saat itu juga. Namun Adelia masih diam di tempatnya terus melihat Rangga yang mulai menjauh. Ia menunggu hingga Rangga berbelok, setidaknya sampai Rangga tidak bisa melihat dirinya lagi. Tidak menemukan adanya perubahan keputusan dalam diri Adelia, Rangga menyerah dan membalikkan badannya untuk berjalan lurus kembali menuju pemberhentian bus untuk menunggu temannya yang katanya hendak berkunjung ke rumah. Setelah memastikan Rangga tidak berbalik ataupun kembali lagi, Adelia langsung berlari dari tempatnya. Ia menyusuri jalan menuju rumahnya yang berbeda dari biasanya. Tidak ada yang menghalangi jalannya sama sekali sebab kali ini ia memilih jalan pada gang kecil yang menjadi jalan pintas lain dan juga menjadi jalan tercepat ke rumahnya. Hanya saja jalanan itu selalu sepi meskipun rumah - rumah yang ada di sana berpenghuni. Suara langkah hentakan kakinya saat berlari terdengar begitu berisik karena memang hanya dirinyalah satu - satunya sumber suara yang terdengar di sepanjang gang tersebut. Adelia sama sekali tidak berhenti berlari dan baru berhenti setelah ia sampai di depan pintu gerbang rumahnya dan juga rumah Dira. Tangannya berpegangan pada dinding semen tepat di samping pagar. Nafasnya tersengal. Sebelum masuk, ia terlebih dahulu mengatur nafasnya dan membiarkan oksigen masuk ke dalam paru - paru dalam dadanya sebanyak yang ia bisa. Setelah memastikan nafas dan detak jantungnya sudah lebih tenang, baru Adelia masuk untuk berganti pakaian dan makan sedikit, mengisi tenaganya kembali untuk mengayuh sepeda menuju toko bibinya. Kekhawatirannya kini adalah tentang bagaimana perjalanan pulangnya nanti. Tidak mungkin ia meminta Dira kembali ke toko untuk menjemputnya setelah mengantarkan ibunya ke rumah. Jika pun Dira mau, itu artinya ia harus berjalan kaki menuju toko bibinya sekarang. Sebab tidak mungkin ia meninggalkan sepedanya di toko. Berjalan kaki kesana tentu akan sangat memakan banyak waktu dan tenaga dalam perjalanan. Meminta Dira untuk menjemputnya sekarang? Adelia lebih memilih untuk berjalan kaki daripada harus melakukan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN