BAB KESEMBILAN : SANDIWARA (part 1)

1624 Kata
Murid - murid lainnya sudah berhamburan keluar dari kelas untuk segera pulang ke rumah mereka masing - masing sejak sepuluh menit yang lalu. Sementara Adelia seorang diri masih di dalam kelasnya membersihkan papan tulis dan juga mengelap tiap kaca jendela yang ada di kelasnya. Selain itu, ia juga membersihkan debu - debu yang ada pada ventilasi udara yang berada tempat di atas jendela dengan kemoceng. Semua itu ia lakukan karena besok merupakan jadwal piketnya. Adelia berencana untuk berangkat pada jam seperti biasa untuk hari esok. Itu sebabnya ia mengerjakan semua bagiannya hari ini agar ia tidak perlu datang pagi - pagi untuk mengerjakan tugas piketnya. Untungnya, teman - teman lainnya yang berada satu jadwal piket dengannya tidak merasa keberatan dengan hal itu. *** I've got a tight grip on reality But I can't let go of what's in front of me here I know you're leaving in the morning when you wake up Leave me with some kind of proof it's not a dream You are the only exception You are the only exception You are the only exception Di tengah penumpang sebuah bus berwarna hijau lumut yang sedang melaju, Rangga berdiri dengan earphone yang terpasang pada telinganya. Earphone tersebut tersambung langsung dengan ponselnya yang sedang memutarkan lagu dari salah satu band kesukaan Rangga, yaitu Paramore dengan lagu The Only Exception yang baru dirilis beberapa bulan lalu. Lagu tersebut merupakan salah satu lagu kesukaannya sejak tanggal perilisannya pada bulan Februari lalu. Tidak ada bosan - bosannya ia mendengarkan suara mezzo-sopran dari sang vokalis, Hayley Williams. Rangga menghentakkan kaki kanannya pelan menikmati irama lagu yang terdengar sambil melihat lurus ke depannya, atau lebih tepatnya pada pemandangan jalanan di luar kaca jendela bus. Sementara pikirannya berkelana ke sebuah kotak kosong dalam otaknya. Orang - orang biasa menyebutnya sebagai ‘nothing box’, yaitu sebuah kotak istimewa yang hanya dimiliki pria. Kotak tersebut dikatakan istimewa sebab disanalah mereka tidak memikirkan apa - apa. Ya, benar. Rangga sedang tidak memikirkan apapun karena pikirannya tengah mengunjungi ‘nothing box’ miliknya. Drrrt drrrtt drrrtt Sebuah panggilan masuk menginterupsi lagu yang sedang terputar, digantikan dengan getaran dari ponselnya yang terasa pada saku celana Rangga. Karena panggilan masuk itu juga mengeluarkan pikirannya dari ‘nothing box’. Tangan kirinya langsung merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya yang terus berdering. Dilihatnya sebuah nama yang tidak asing muncul pada layar ponselnya, Rangga langsung menjawab panggilan masuk tersebut dengan mengusap ibu jari tangannya ke atas pada layar ponselnya dan kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana abu - abunya. “Ada apa?” , tanya Rangga langsung ke inti. “Kau di mana?” , tanya orang di seberang panggilannya. Suara laki - laki itu terdengar samar karena suara bising kendaraan di belakang suaranya. “Apa? Aku tidak bisa mendengar suaramu dengan jelas?” , kata Rangga bicara lebih keras dari sebelumnya. Orang - orang yang mendengar Rangga, langsung melihat ke arahnya. Bahkan ada beberapa orang tua yang melihatnya dengan tatapan aneh, sebab Rangga terlihat seperti seseorang yang tengah berbicara seorang diri. Padahal kenyataannya ia sedang bicara dengan panggilan telepon dari teman sekelasnya yang interupsi kedamaiannya mendengarkan lagu. Earphone yang ia gunakan sudah dilengkapi dengan microphone pada bagian dekat telinga, yang membuatnya bisa langsung bicara tanpa harus menempelkan ponsel pada telinganya. “Aku tanya, kau. di. mana?” , ujar teman Rangga mengulang lagi pertanyaannya yang sebelumnya. Kali ini ia lebih menekankan kalimatnya dengan cara mengucapkannya lebih perlahan. “Oh. Aku sudah di dalam bus. Ada apa?” “Begini, aku dan Aldo sedang bosan dan berencana untuk main playstation di rumahmu.” “Ya sudah, datang saja.” “Kami juga ingin begitu. Tetapi.. Baik aku ataupun Aldo,tidak ada yang tahu di mana rumahmu. Vero yang tahu rumahmu malah tidak bisa ikut karena dia harus mengantarkan ibunya ke rumah sakit. Dan lagi.. Sebenarnya kami tidak ada motor untuk ke tempatmu. Hehehehe.” Rangga membuang nafasnya sebal, “Kenapa tidak bilang dari tadi di sekolah? Ya sudah kalian naik bus saja. Nanti aku akan menunggu di pemberhentian bus dekat rumahku. Jadi kita bisa jalan bersama ke rumahku. Tidak jauh kok dari tempat pemberhentian bus.” , jelasnya. “Baiklah tunggu kami, ya!” Tut Belum sempat Rangga menjawabnya lagi, panggilan telepon itu berakhir begitu saja karena teman Rangga yang memutuskan panggilannya secara sepihak. Lagu yang sempat tertunda tadi pun kembali terputar. Rasa jengkel dalam hati Rangga diiringi dengan lagu yang sama sekali tidak selaras dengan apa yang ia rasakan. Seperti biasa, Adelia berjalan kaki terlebih dahulu dari sekolahnya ke tempat pemberhentian bus terdekat yang jaraknya tidak kurang seratus meter jauhnya dari gerbang sekolah. Selama perjalanannya, Adelia berjalan dengan santai sehingga begitu ia sampai di tempat pemberhentian bus, pada waktu yang sama pula sebuah bus yang biasa ia naiki untuk pulang datang dari arah utara. Segera Adelia naik begitu pintu bus terbuka. Tidak terlalu ramai orang di dalam bus, namun walaupun begitu ia tetap tidak kebagian tempat duduk sehingga harus berdiri sambil berpegangan pada segitiga yang tergantung di langit-langit bus. Segitiga tersebut berfungsi sebagai pegangan bagi penumpang yang berdiri agar tidak jatuh saat ada guncangan - guncangan yang tidak terduga. Berhubung situasi di dalam bus yang memang agak longgar, Adelia menyempatkan untuk melihat sekelilingnya. Semua hal yang bisa ia tangkap dengan matanya, akan ia amati hingga menimbulkan pertanyaan - pertanyaan sederhana dalam pikirannya. Contohnya saja ketika ia melihat sepatu seorang pria muda yang pada sol sepatunya terlihat ada bekas - bekas lumpur kering yang menempel. Alih - alih bertanya langsung, Adelia justru mulai bertanya - tanya pada dirinya sendiri, kira - kira dari mana pria ini naik dan hendak pergi kemanakah ia? Adelia tahu, kebanyakan dari pertanyaan - pertanyaan seperti itu adalah hal yang tidak perlu dan bukan jadi urusannya. Walaupun begitu, ia terus melakukannya di mana pun ia berada. Biasanya kebiasaannya yang satu itu ia menyebutnya dengan mengamati dan menganalisis tanpa hasil. Mata Adelia masih terus melihat sekeliling, hingga pada akhirnya tatapannya berhenti saat bertatapan dengan seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu memakai jaket mantel berwarna coklat tua yang sudah agak lusuh dan juga memakai kacamata hitam. Posisi orang tersebut berdiri menghadap Adelia, padahal sepatutnya bagi penumpang yang berdiri adalah berdiri meyamping dengan menghadap ke arah kaca jendela bus. Tapi tidak dengan orang satu ini. Sontak Adelia memutuskan kontak mata dengan orang tersebut dan tidak berani untuk menengok ke arahnya lagi meskipun hatinya ingin dirinya mengamati lebih jelas orang tadi. Adelia mulai merasakan hawa tidak enak, teringat dengan informasi yang baru saja disampaikan oleh ibu guru ejarahnya saat istirahat makan siang tadi. Rasa cemas mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya dan ia mulai berkeringat. Dalam hati ia terus berdoa, berharap agar orang itu turun di tempat pemberhentian bus selanjutnya. Tetapi sepertinya tidak ada yang mendengar doa Adelia, sebab hal yang tidak diinginkan justru terjadi. Begitu bus sampai di tempat pemberhentian bus dekat rumahnya, Adelia buru - buru turun dari bus, berharap orang tadi tidak sempat melihatnya turun. Namun siapa sangka, begitu Adelia berbalik ke belakang untuk memastikan orang tadi tidak ikut turun bersamanya, ia malah mendapati orang tersebut menjadi orang terakhir yang turun beberapa saat sebelum pintu bus tertutup. Adelia panik, tidak mungkin ia langsung pergi ke rumahnya. Itu sama saja secara tidak langsung memberitahukan dimana ia tinggal pada orang itu. Di tengah kepanikan itu, Adelia melihat sosok Rangga di antara orang - orang yang ada di pemberhentian bus, tengah berdiri, bersandar pada tiang dekat papan informasi jadwal kedatangan bus. Dilihatnya Rangga bersandar sambil memejamkan matanya dengan earphone yang terpasang pada telinganya. Saat itu juga sebuah ide muncul dalam kepalanya bagaikan kan bohlam lampu yang tiba - tiba menyala. Adelia melihat sebuah jalan keluar untuknya melepaskan diri dari orang yang mencurigakan tadi. Segera Adelia berlari menghampiri Rangga dan langsung memeluk tangan kiri Rangga. Hal itu sontak membuat Rangga langsung membuka matanya karena terkejut. Lagi - lagi ia terlempar keluar dari ‘nothing box’ nya secara mendadak. “Ya ampun abang~ Sudah lama menunggu, ya? Maaf ya, tadi aku bertemu dengan temanku dulu.” , ujar Adelia dengan berpura - pura manja dan volume suaranya yang ia lantangkan. Hal itu sengaja Adelia lakukan agar orang mencurigakan tadi bisa mendengarnya. Benar saja, orang dengan kacamata hitam tadi berdiri terdiam di sisi jalan menatap ke arah Adelia. Rangga terdiam dan hanya mengedipkan matanya menatap Adelia dengan bingung. Adelia tahu ini adalah hal yang sangat tidak terduga dan begitu mendadak, sudah sewajarnya Rangga akan bereaksi seperti itu. Siapapun yang berada dalam posisi Rangga pun pasti akan bereaksi sama seperti Rangga, bingung dan terkejut. Dalam hati Adelia, ia terus - terusan memohon dan berharap Rangga bisa cepat menangkap situasi macam apa yang sedang terjadi. Tangan Adelia mencengkram dengan kuat tangan Rangga memberi kode bahwa ia sedang dalam bahaya dan butuh bantuanya. Rangga langsung bisa menangkap apa yang Adelia maksud dari sorot mata Adelia yang terlihat ketakutan meskipun bibirnya sedang tersenyum lebar padanya. Rangga menarik kedua ujung bibirnya ke atas dan menunjukkan senyum lebar yang menampakkan deretan gigi putihnya, “Tidak apa.” , katanya seraya membawa tangan kanannya menyentuh puncak kepala Adelia untuk mengelusnya. Kemudian tangan itu turun ke bawah menyusuri anak - anak rambut yang menghalangi pipi Adelia untuk ia sampirkan ke belakang telinga. Adelia hanya bisa terdiam kaku di tempatnya berdiri. Tangannya yang mencengkram tangan kiri Rangga mulai melonggar seiring bulu - bulu kecil nan halus pada wajahnya merasakan sentuhan lembut tangan Rangga. “Kau sudah makan? Abang yakin kau belum makan apa - apa lagi setelah makan siang tadi. Ayo abang akan mentraktirmu makanan kesukaanmu.” , ujar Rangga sembari mencubit pelan pipi kiri Adelia dengan tangan kanannya. Hati kecil Adelia menjerit. Ini tidaklah seperti yang ia harapkan sebelumnya. Ini terlalu jauh dan terlalu banyak untuk hati kecilnya. Rangga, seseorang yang berbahaya untuk hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN