Belum sempat Adelia menjawab, tiba - tiba saja tetesan air mulai turun dari langit yang semakin lama semakin banyak dan semakin deras. Segera Adelia dan Rangga kompak berlari secepat yang mereka bisa mencari tempat berteduh seraya menutupi dahi mereka dengan kedua tangan untuk memastikan tidak ada air hujan yang menghalangi pandangan.
Mereka terus berlari sampai di tempat pemberhentian bus. Rambut Adelia sudah lepek karena air hujan begitu juga dengan Rangga. Tidak sedikit dari teman - teman sekelas mereka dan juga beberapa orang yang berlari ke arah mereka datang untuk bergabung dalam naungan pemberhentian bus yang tidak begitu besar.
Air hujan yang turun, sebelumnya hanya beberapa tetesan sekarang sudah berubah menjadi hujan besar hingga jarak pandang orang - orang jadi terbatas. Suara dari jutaan tetesan air hujan yang jatuh menghantam bumi setiap detiknya itu membuat telinga orang - orang seakan menjadi tuli suara dari orang di sebelahnya pun tidak bisa jelas terdengar.
Adelia kembali merasakan kecanggungan. Ia masih teringat kata - kata yang terakhir kali Rangga katakan padanya. Apa ia bersungguh - sungguh dengan kalimatnya? Tanya Adelia dalam hati. Ia merasa ragu sebab mereka saling mengenal satu sama lain dan bicara satu sama lain tidak lebih dari sebulan.
Ia mungkin akan langsung percaya jika Rangga seperti dirinya yang pendiam dan tertutup, sebab ia pun merasakan hal yang sama. Namun, Rangga bukanlah orang yang tertutup seperti dirinya. Rangga memiliki banyak teman yang mengenalnya, baik laki - laki maupun perempuan, tetapi mengapa dari semua orang - orang dia memilihnya? Hal itu membuatnya ragu dan sedikit tidak percaya.
Pasalnya Adelia sendiri pernah jadi korban sebelumnya. Dipermainkan oleh orang lain. Meskipun kejadiannya terjadi sekitar tiga tahun yang lalu, namun semua yang terjadi hari itu masih tergores dengan jelas dalam ingatannya. Saat itu ia sudah pendiam namun tidak sependiam sekarang ini, seorang laki - laki tiba - tiba saja mendekatinya dan terus muncul dalam hari - harinya, lalu tak lama menyatakan perasaan padanya. Adelia yang masih lugu saat itu, terperangkap begitu saja dalam kesenangan yang dirasakan atas semua sikap dan perlakuan laki - laki tersebut padanya. Hingga suatu hari, ia memergoki teman - temannya dan juga laki - laki tersebut tengah menertawakan dirinya. Di situlah ia menyadari dirinya hanyalah sebuah tantangan permainan belakang dan bukannya dicintai seutuhnya selayaknya manusia.
Oleh karena itu, ia bersumpah tidak akan lagi jatuh begitu mudah pada laki-laki. Dan saat inilah sumpahnya sedang diuji dengan kehadiran sosok Rangga dalam hidupnya. Yang sudah menorehkan banyak warna dalam kanvas hari - harinya sebulan ke belakang.
Tetapi saat memikirkannya kembali, dalam ingatan Adelia, ia tidak mendapati Rangga sama seperti laki - laki badjingan tiga tahun yang lalu. Semua kejadian yang terjadi antara dirinya dengan Rangga tidaklah selalu Rangga yang melakukannya dengan sengaja. Semua kejadian itu lebih sesuatu yang begitu alami terjadi. Seperti pertemuannya kemarin saat dibuntuti oleh orang tidak dikenal. Rangga disana bukan untuknya, tetapi ada disana menyelamatkannya. Pertemuan saat itu lebih seperti takdir semesta yang bermain.
“Ada apa?” , tanya Rangga tiba - tiba menginterupsi lamunannya.
“O-oh, tidak. Tidak ada apa - apa.”
“Apa kalimatku sebelumnya membebanimu?” ,tanya Rangga lagi.
Adelia tidak mengerti mengapa Rangga bisa sepeka itu, “Iya. Sejujurnya iya.” , kata Adelia.
Kali ini ia tidak ingin jatuh kembali pada lubang yang sama dua kali. Ia berniat terus terang dan menanyakan semua motif yang ada.
Rangga mulai khawatir, “Apa? Di bagian mana yang membebani mu?”
“Kau tahu, kalimat terakhir yang kau katakan padaku. Aku tidak tahu-- Tidak, tidak, bukan, maksudku aku tidak mengerti apa maksudmu.”
Heran, Rangga menaikkan satu alisnya, “Aku menyukaimu.” , kata Rangga mengulang lagi kalimatnya, “Kau pasti pernah bukan menyukai seseorang? Ya sesuatu seperti itu.”
Adelia masih menatapnya diam. Hati kecil Adelia berlari berputar - putar dalam ruangan kecilnya sambil berteriak frustasi.
"IYA AKU MENGERTI.. MAKSUDKU.. MENGAPA? MENGAPA KAU MENYUKAIKU?!" , teriak hati kecilnya mulai tidak terkendali.
Kedua ujung bibir Rangga tertarik keatas. Ia tersenyum geli menahan tawanya melihat ekspresi Adelia yang begitu polos ditambah rambutnya yang lepek karena hujan, "Kau ini lucu sekali sih!~" , katanya sambil mengacak - ngacak rambut Adelia dengan tangan kanannya.
Adelia terkejut, begitu juga dengan Rangga. Ia tidak menyangka akan melakukan hal itu pada Adelia padahal dirinya masih bukan siapa - siapa untuk Adelia.
Sedetik kemudian Rangga menyadari apa yang ia lakukan dan langsung menarik kembali tangannya, "Maaf." , katanya sambil menahan malu.
Bagaikan obat penenang yang bisa menenangkan pasien histeris di rumah sakit jiwa, hal yang sama terjadi pada Adelia. Hal yang Rangga lakukan padanya menenangkan hati kecilnya yang sebelumnya begitu histeris, berteriak - teriak dan mengacaukan ruangnya dalam pikiran Adelia. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab beberapa detik kemudian hati kecilnya kembali histeris oleh hal yang sama.
Mereka berdua diam beberapa saat. Tidak ada yang berani membuka suara. Tatapan mereka sama - sama menatap samar pada air - air hujan yang turun. Dalam pikirannya, Adelia kembali mempertimbangkan Rangga. Sedikit perdebatan terjadi antara logika dan instingnya yang jelas tidak memiliki alasan kuat atas argumennya untuk menerima Rangga.
“Kita masih tidak tahu bagaimana sifatnya yang sebenarnya.” , ujar logika dalam pikiran Adelia lebih dulu melontarkan argumennya.
Tidak ingin kalah, sang insting berdiri dari kursinya, “Tapi apa kau lupa semua sikap Rangga? Jelas sekali semuanya mencerminkan kepribadiannya yang baik dan terlihat jelas ia berasal dari didikan keluarga yang baik.”
“Ha! Lucu sekali. Dengar ya, kita tidak akan tahu bagaimana tabiat aslinya sampai kita melihat bagaimana dia di rumah.” Ujar logika dalam pikiran Adelia menyudutkan instingnya.
“Kau ini memang tidak bisa percaya orang lain, ya?” , balas insting menyerang sisi lain dalam diri yang berpihak pada logika dalam pikirannya.
“Tentu saja! Memangnya kau ingin bertanggung jawab jika terjadi hal yang sama seperti tiga tahun yang lalu? Pada masa itu sudah cukup mengerikan, kau tahu? Tentu kau menghilang begitu saja begitu mengetahui kebenarannya. Aku tidak ingin melihat diri Adelia mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya.”
“Aku tahu,” , ujar Rangga tiba - tiba, menghentikan sementara sidang yang terjadi dalam pikiran Adelia, “Aku tahu pengakuanku mungkin akan membebanimu. Tidak, jangan. Kumohon. Kau bisa menolakku. Bukan salahmu jika aku menyukaimu. Jadi jangan merasa keberatan.. Lagipula pilihanku untuk menyukaimu, meskipun kau sudah milik orang lain. Menyukai orang lain bukanlah sebuah dosa, kan?”
Tunggu.. Apa? Pernyataan yang baru saja Rangga lontarkan membuat seisi peserta sidang dalam pikirannya Adelia tertegun bingung dan heran. Mereka yang sebelumnya terpecah menjadi dua kubu itu, kini sedang berada dalam situasi yang sama.
Adelia menoleh pada Rangga dengan raut wajah bingung, “Apa maksudmu aku sudah milik orang lain? Siapa?”
Memiringkan kepalanya sedikit, kini Rangga menjadi sama bingungnya dengan Adelia, “Mengapa reaksimu seperti itu? Kau tahu ‘kan yang aku maksudkan?”
Adelia bersumpah dirinya sama sekali tidak mengerti apa yang Rangga maksudkan. Dirinya sudah milik orang lain? Dari semua orang yang dikenal oleh Adelia, ia merasa mungkin yang Rangga maksud adalah nenek, pikirnya mencoba menangkap apa yang Rangga maksudkan.
“Apa?” ,tanya Adelia terus terang.
“Yang aku maksud adalah Dira.” , tambah Rangga terus terang.
Mendengar nama sepupunya ikut disebut, membuat Adelia semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Ia ingat betul dulu saat ia mengikuti serangkaian tes IQ yang diselenggarakan oleh sekolahnya. Ia yakin angka yang tertera di sana, dalam laporan hasilnya adalah seratus tiga puluh tiga dan bukannya tiga belas koma tiga. Namun untuk hari ini, pada saat ini, kemampuan IQnya tidak sampai untuk mengerti apa yang Rangga bicarakan.
“Aku punya Dira? Begitu?” , tanya Adelia mencoba memastikan kesimpulan yang ia ambil benar.
Rangga mengangguk, “Memangnya bukan?” , tanyanya berlagak bodoh.
Bibir Adelia bergetar menahan tawa hingga semburat tawa akhirnya keluar dari mulutnya, karena tidak bisa menahan tawanya setelah mendengar lelucon yang Rangga katakan padanya, cukup lucu baginya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali orang lain memberi sebuah lelucon untuk ditertawakan.
Sedangkan Rangga di sebelahnya merasa bodoh sekaligus bingung melihat reaksi Adelia yang malah tertawa puas. Bahkan hingga menitikan air matanya, “Apa? Kenapa? Apa aku salah?”
Adalia berusaha keras untuk menghentikan tawanya sebelum menjawab pertanyaan Rangga. Beberapa kali ia menarik nafas untuk menenangkan dadanya yang bersemangat karena tawa yang keluar dari dalam dirinya. Rangga sabar menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir mungil Adelia.
“Aku bisa mengerti mengapa kau berpikir seperti itu. Karena memang kami merahasiakannya. Kami, maksudku aku dan Dira.” , Ujar Adelia sengaja menggantungkan kalimatnya untuk menghapus air mata yang sudah terkumpul pada sudut matanya terlebih dahulu.
Rangga menunggu Adelia menyelesaikan kalimatnya dengan agak khawatir.
“Aku akan memberitahukannya padamu dan hanya akan memberitahukannya padamu. Jadi kumohon kau akan merahasiakannya dari siapapun, termasuk teman - temanmu. Sebenarnya aku dan Dira adalah saudara sepupu. Yah, meskipun wajah dan penampilan aku dengannya tidak begitu mirip, tapi darah kami bisa membuktikannya bahwa aku dan dia adalah saudara sepupu.”
Senyum Rangga mulai merekah pada wajahnya. Air muka lega terukir jelas di sana. Tawa renyahnya pun terdengar keluar dari bibirnya, “Oh begitu rupanya..” , katanya.
Entah mengapa Adelia dan juga peserta dalam sidang pikirannya ikut merasa lega melihatnya.
“Kalau begitu sepertinya aku sudah salah paham padamu, hahaha. Oh iya.. Aku penasaran akan satu hal. Apa kau juga pernah ada salah paham denganku?” , tanya Rangga.
Adelia tidak langsung menjawab, Ia membuka kembali ingatan hari - hari sebelumnya dan catatan di mana ia merasa ada hal yang ingin ia pertanyakan pada Rangga. Begitu membuka halaman pertama yang berisi semua catatan dan ingatan akan hari kemarin, sebuah pertanyaan meragukan tertulis disana.
“Perempuan yang bersamamu semalam--”
Belum sempat Adelia menyelesaikan kalimatnya, Rangga menyela, “Itu adikku. Benar - benar adik. Kau tahu maksudku. Adik kandung. Jangan salah paham padanya.. Dan lagi yang terpenting, jangan biarkan kesalahpahamanmu kepadanya menjadi alasan untukmu menolakku ya, hahaha.”
Adelia tertawa garing ikut meramaikan tawa Rangga.
Sidang dalam pikiran adelia pun menjadi lebih jelas dan mulai melihat sebuah titik terang, dimana sang insting duduk dengan begitu percaya diri dan bangga bahwa dirinya akan menang.
“Aku tidak ingin ada kesalahpahaman diantara kita, jadi aku akan berterima kasih jika kau berterus terang padaku. Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku.. Kumohon jangan merasa terbebani dengan hal itu ya.” ujar Rangga menjelaskan sekaligus mengingatkan kembali.
Mendengar hal itu untuk yang kedua kalintya, membuat hati kecil Adelia akhirnya bisa duduk dengan nyaman tanpa khawatir lagi.
“Apa hari ini kau akan pergi bekerja di toko itu?” , tanya Rangga mengalihkan pembicaraan dengan topik lain.
Adelia menggangguk sekali, jeda sebentar, lalu mengangguk kembali beberapa kali.
“Apa ada yang akan menemanimu pulang malam nanti? Kau tahu ‘kan maksudku.. Sudah diberitahukan kepada semua orang di kota bahwa para wanita dihimbau untuk tidak pergi sendirian di malam hari.”
Belum sempat Adelia menjawab, Rangga sudah kembali bicara, “Ah iya. Ada Dira. Aku lupa.”
Adelia hanya merespon dengan tersenyum masam. Ia merasa tidak enak untuk mengatakan yang sebenaranya akan hal itu.
“Kalau begitu telpon lah aku.”
Adelia menoleh, “Menelponmu?”
“Iya, telpon aku.” , Jawab Rangga,”Aku akan langsung datang padamu dan mengantarmu pulang. Panggilan itu hanya sebagai tanda kau menerimaku saja. menerima perasaanku.”
Adelia tertegun.
“Aku akan menunggu panggilan darimu. Kau pasti akan menelponku ‘kan?” Tanya Rangga penuh harap.