Adelia tersenyum kecut, “Apa kau sedang mencoba untuk menekanku?” , balas Adelia terus terang.
Gelak tawa kecil keluar dari mulut Rangga, “Maaf.” , katanya masih dengan wajah sumringah.
***
Dira pulang ke rumahnya dalam keadaan basah kuyup,. Wajahnya terlihat kesal. Rahang bawahnya terlihat tegas, mengeras, menahan kekesalan dalam dirinya. Ia bahkan tidak peduli dengan suara guntur yang menggelegar. Kilatan putih yang menyambar langit di atas kepalanya pun ia abaikan.
Segera setelah ia turun dari motornya seusai mematikan mesin, ia menginjakkan kaki pada rumput yang sudah tergenang air, dan melangkah dengan cepat masuk ke dalam rumahnya. Pintu rumah yang terkunci membuat kekesalannya semakin menjadi, namun tidak jadi alasan untuknya mendobrak pintu seperti yang biasa dilakukan dalam film.
Dengan sabar ia tetap mengambil kunci cadangan yang disembunyikan di dalam sepatu usang, yang berjejer pada rak sepatu di samping kirinya. Tanpa melepaskan sepatunya terlebih dahulu Dira memasuki rumahnya dengan langkah yang tegas dan cepat. Jejak kaki basah dan berlumpur terlihat jelas pada ruang depan sampai ke depan kamar mandi. Tasnya ia lemparkan begitu saja ke atas meja makan sedangkan dirinya masuk ke kamar mandi.
Di sana ia melepas baju, celana, dan juga sepatunya, hingga tidak ada sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Ia meraih handuk yang tergantung di balik pintu kamar mandi dan melilitkan pada pinggang kurusnya untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Tanpa berlama - lama lagi di dalam sana, Dira langsung keluar dari kamar mandi, segera menuju kamarnya untuk berganti baju.
Suara petir masih menggelegar di luar terdengar sampai ke dalam kamar yang tertutup. Kilatan - kilatan putih yang masuk kedalam kamarnya seolah menggambarkan kekesalan yang ia rasakan. Dengan cepat ia memakai kaos hitam dengan gambar tengkorak besar di bagian depan yang dipadukan dengan celana jeans berwarna abu-abu. Ia membiarkan rambutnya yang basah, acak - acakan begitu saja.
Masih dengan rahang yang mengeras, ia kembali ke meja makan untuk menghampiri tasnya yang sudah basah dan mengambil ponselnya dari dalam sana. Beruntung tas miliknya adalah jenis tas laptop yang tahan air. Sehingga semua buku - buku dan barang - barang lainnya yang ada di dalam tas nyaris tidak tersentuh air meskipun bagian luarnya basah kuyup terkena hujan.
Begitu kunci pin ponsel terbuka, jari Dira menekan opsi panggil dan memilih nomor ponsel tanpa nama bagian atas yang tertera panggilan keluar lima belas menit yang lalu. Tangan kirinya berpegangan pada meja sedangkan tangan kanannya meletakkan ponsel pada telinganya. Matanya terpejam menunggu dengan sabar seraya berharap orang di seberang sana mau mengangkat panggilan darinya. Ini merupakan panggilan ke tiga belas sepanjang hari ini yang ia lakukan pada nomor yang sama. Hujan dan petir Diraa abaikan meskipun dulu ibunya pernah memperingatkannya untuk tidak menggunakan ponsel saat hujan deras apalagi hujan yang disertai dengan petir.
“Maaf nomor yang anda tuju--”
Belum selesai layanan operator menjelaskan alasan mengapa orang di seberang sana tidak menjawab panggilan darinya, Dira langsung memutus panggilan tersebut dan kembali menekan dial panggil. Hal itu ia lakukan terus berulang sebanyak lima kali hingga akhirnya Dira kehabisan kesabaran. Masih dengan kekesalan yang terlihat jelas pada wajahnya, ia menyambar kunci motor dan juga helm kesayangannya.
Dira kembali membiarkan dirinya mengebut dengan motornya tanpa memakai jas hujan sehingga tubuhnya kembali basah kuyup diterjang hujan. Ia mengabaikan dingin yang dirasakan jari - jari dan juga kulitnya karena dingin dari air hujan ditambah angin kencang dari jalanan. Pandangannya lurus menatap ke depan seolah - olah sedang menembakkan laser kepada setiap kendaraan di depan yang menghalangi jalurnya. Namun tatapan tajamnya itu tentu tidak membuat kendaraan yang dipandangnya menyingkir, sehingga ia tetap harus menyalip mereka semua.
Langit sudah berhenti menangis saat Adelia juga Rangga telah sampai di pemberhentian bus dekat rumah mereka, dan hanya menyisakan rintik - rintik gerimis kecil. Adelia sudah siap dengan tas miliknya yang ia jadikan payung, sama seperti yang dilakukan beberapa orang yang ada di sana. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh sekali ke belakang untuk melihat Rangga.
Rupanya Rangga masih berdiri di sana, juga sedang melihat ke arahnya. Begitu melihat Adelia tengah menatap dirinya, Rangga langsung mengembangkan senyumnya sambil mengangkat tangan kiri yang jari telunjuk hingga jari manisnya ia tutup hingga membentuk simbol sebuah telepon, kemudian ia dekatkan pada telinganya, memberi kode, mengingatkan Adelia.
Tanpa menjawab ataupun bereaksi apa - apa Adelia langsung berbalik pergi dan berlari kecil, pulang. Rangga masih di tempatnya berdecih geli melihat tingkah seseorang yang ia sukai untuk pertama kali dalam hidupnya. Masih dengan senyuman di wajahnya, Rangga mendongak menatap langit, kedua tangannya kini sudah berada di dalam kedua saku celananya.
Ia bersyukur dalam hatinya atas perasaan bahagia yang tengah ia rasakan dan bersyukur pula atas keberanian yang telah diberikan padanya. Kini semuanya hanya tinggal bergantung pada Adelia. Entah mendapat keyakinan darimana, Rangga merasa dirinya tidak perlu khawatir akan hal itu. Ia merasa semuanya akan berakhir dengan baik.
Adelia menghentikan langkahnya begitu ia telah berbelok di tikungan. Dalam pikirannya masih terbayang saat Rangga memberi kode untuk menelponnya beberapa detik yang lalu. Hal itu membuat harapan yang ia miliki menjadi semakin besar. Tidak ingin membuat keputusan yang salah, sementara waktu Adelia tidak ingin memikirkan semua hal itu. Ia menggelengkan kepalanya keras - keras berusaha agar semua pikiran - pikiran dan gagasan tentang Rangga keluar sejenak dari dalam pikirannya. Dirinya harus fokus bekerja untuk hari ini. Tentu ia tidak ingin omelan dari bibinya merusak hari bahagianya.
Hujan sudah berhenti saat Dira telah sampai di sebuah rumah bertingkat dua yang halamannya tidak terawat. Pintu gerbang besarnya saja tidak dikunci. Mencirikan sekali pemiliknya yang tidak peduli atau tidak tahu bagaimana caranya merawat rumah.
Tanpa turun dari motornya Dira membuka pintu gerbang jenis tarik dorong tersebut, dengan menabrakkan motornya begitu saja hingga gerbangnya terbuka. Setelah motornya masuk pun, ia tidak menutup kembali pintu gerbangnya.
Dira memarkirkan motornya sembarangan pada halaman rumah tersebut. Sebab ia tidak bisa lagi membedakan mana tempat untuk parkir dan juga mana tempat untuk tanaman hias yang biasanya ada pada rumah - rumah besar. Ia tidak meninggalkan helmnya bersama dengan motornya dan justru membawa serta masuk ke dalam.
Suara berdecit samar - samar terdengar dari sepatu Dira yang sudah basah kuyup oleh hujan. Sejak pulang sekolah tadi, baju dan celana yang dikenakannya pun tidak kalah basah dengan sepatunya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu ataupun mengucapkan salam, Dira langsung nyelonong masuk begitu saja. Didukung dengan pintu depan bermodel dua pintu besar yang dalam keadaan tidak terkunci.
Dengan sepatunya yang basah dan juga berlumpur karena menginjakkan kaki di halaman tadi, Dira membuat jejak - jejak sepatunya sendiri yang terus mengikuti kemanapun langkahnya pergi, seolah - olah menemani dirinya ke tempat yang sebenarnya tidak aman. Ia sudah pernah pergi ke rumah ini sebelumnya dan pada saat kedatangannya itu, ia melihat orang lain yang dipukul habis - habisan di depan matanya.
Mungkin ini adalah pemandangan yang biasa bagi laki - laki, namun baginya itu adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Kendati demikian, pada saat itu Dira tidak melakukan tindakan apapun. Ia lebih fokus pada urusannya sehingga tidak begitu memperdulikan orang yang babak belur itu. Dan hari ini mungkin giliran untuknya merasakan hal yang sama. Namun kali ini Dira tidak merasa takut sama sekali. Rasa kesal dalam dirinya lebih mendominasi isi pikirannya sehingga mempengaruhi juga gerak tubuhnya.
Baru beberapa langkah masuk, Dira sudah bisa mencium aroma alkohol yang begitu menyengat. Dalam hatinya ia bertanya - tanya, orang kurang kerjaan mana yang minum - minum pada siang hari bolong begini.
Pada ruang depan rumah tersebut, Dira tidak mendapati satupun perabot disana. Begitu juga pada saat ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Interior bagian dalam rumah tersebut tidak semewah bagian luarnya. Cat dinding berwarna coklat muda dan juga lampu - lampu berwarna kuning mendominasi ruangan - ruangan di lantai satu rumah tersebut. Tidak banyak barang di rumah tersebut kecuali barang - barang inti. Seperti halnya di dalam kamar, hanya ada sebuah ranjang dan juga lemari kecil untuk tempat baju. Di kamar mandi pun hanya ada toilet, wastafel, dan shower untuk mandi. Ia tidak menemukan adanya sabun, tirai mandi, ataupun pasta gigi di dalam kamar mandi yang pernah ia masuki sebelumnya. Untuk ruangan lain, Dira belum pernah menelusurinya. Namun ia yakin keadaan tidak akan jauh berbeda.
Dira terus berjalan lurus dengan langkah tegas dan cepat, menuruni tiga anak tangga yang membawanya langsung pada sebuah ruangan besar dengan sofa besar di tengahnya. Di sofa tersebut ada seorang pria yang pada waktu itu menjemput dan mengantarnya pulang ke toko milik ibunya. Di samping pria tersebut, terdapat dua orang wanita berpakaian minim yang terus mencoba menggoda pria yang sudah setengah mabuk itu.
Dira semakin kesal karena merasa diremehkan. Sejak di sekolah tadi, dirinya terus mencoba menghubungi orang di hadapannya tersebut, namun oleh orang tersebut malah diabaikannya. Padahal ponselnya jelas berada di atas meja rendah yang oleh pria tersebut jadikan sebagai sandaran kaki malasnya.
Beberapa pria juga ada disana. Posisi mereka tersebar di mana - mana dengan banyak botol alkohol berada didekat mereka. Sebagian dari mereka sudah setengah sadar karena mabuk. Dengan kencang Dira melemparkan helmnya membentur lantai marmer putih dengan corak abu-abu, mengejutkan semua orang yang ada di sana karena suaranya begitu menggema hingga terdengar sampai ke lantai atas. Dua orang dengan satu wanita dan satu pria yang sedang b*********a di dalam salah satu kamar di lantai dua pun terkejut di tengah aktivitas mereka.
Orang yang Dira cari - cari pun akhirnya menyadari kedatangan Dira. Ia menyeringai begitu melihat Dira tengah berdiri di hadapannya basah kuyup dengan tatapan amarahnya.