BAB DUA BELAS : PENGAKUAN (part 4)

1917 Kata
“Oh! Hei, kau datang?” , sahut pria setengah mabuk di hadapan Dira tersenyum padanya. Dalam pandangan Dira, senyuman itu terlihat seperti sebuah senyuman meledek padanya. Dirinya merasa sedang benar - benar dipermainkan. “Mengapa kau tidak mengangkat telepon dariku?” , tanya Dira. Ia melangkah semakin mendekat dan berhenti tepat di depan meja rendah dengan banyak botol - botol kaca kosong, putung - putung rokok, juga sampah - sampah bekas makan mereka. Sementara itu orang - orang yang berada di tiap sudut ruangan besar itu, sama mabuknya dengan orang yang di atas sofa. Mereka hanya diam menonton dua orang yang sedang berbicara tepat di tengah ruangan. Pria yang ditanya oleh Dira menurunkan kaki malasnya dari atas meja. Ia mencondongkan badannya dan meraih gelas kaca berukuran sedang dan menuangkan air berwarna kuning pucat dari botol kaca bening di dekatnya. Ia menuangkan semuanya hingga tetes terakhir dari botol kaca tersebut, namun tidak cukup untuk memenuhi gelas. Dengan lemah tangannya meraih capitan es batu yang berada tak jauh di sisi kanan meja dan memasukkan tiga buah es batu berbentuk tabung kecil dengan lubang di tengahnya seperti donat ke dalam gelas tadi, kemudian ia mengangkat gelas itu dan meletakkannya di depan Dira. “Silakan diminum dulu. Kau sudah repot - repot basah kuyup seperti itu hanya untuk datang kemari. Silahkan, silahkan, ini bisa menghangatkan tubuhmu.” ujar pria tersebut dengan bersikap seperti seseorang yang menghargai tamu, “Oh iya, ini yang paling bagus dari bar yang biasa aku datangi. Kau pasti belum pernah merasakannya ‘kan? Cobalah.” katanya sambil kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangannya ia rentangkan merangkul kedua wanita cantik di samping kiri dan kanannya. Ingin rasanya Dira meraih gelas tersebut lalu menyiramkan isinya pada wajah orang di depannya dan setelah itu membanting gelasnya. Namun ia masih menahannya, Ia tetap berpegang pada prinsip bicara baik - baik terlebih dahulu seperti pria sejati. “Mana uang yang kau janjikan? Ini sudah lebih dari seminggu.” , tanya Dira dengan penuh penekanan dan mengabaikan minuman yang diberikan padanya. Seakan tidak cukup mengabaikan pertanyaan Dira di awal dengan memberikan minuman, kali ini ia mengabaikan pertanyaan Dira dengan mencumbu leher jenjang wanita di samping kirinya alih - alih menjawab pertanyaan Dira yang berdiri di depanya, sudah terlihat seperti seekor banteng yang sudah siap menyeruduk. “Kemana uangnya? Aku bertanya padamu, sialand!” , tanya Dira lagi. Kali ini ia mencoba mengungkapkan kekesalannya dengan menambahkan u*****n di akhir kalimatnya. Berharap orang di hadapannya mengerti betapa seriusnya ia saat ini. Sebenarnya siapa pun juga pasti bisa melihat keseriusan yang jelas terlihat pada wajah Dira, hanya saja memang pria lima meter di depannya sengaja mengabaikan dirinya. Mendengar kata u*****n dilontarkan pada dirinya, pria dengan kaos putih yang senada dengan warna celana jenis Chino yang dikenakan olehnya, menghentikan aktivitas cumbunya dan perlahan ia memutar kepalanya untuk melihat Dira namun tidak segera menjawab pertanyaan Dira. “Aku membutuhkannya sekarang. Uangku.” , jelas Dira dengan lebih tenang sebab orang yang ia ajak bicara sudah memperhatikannya. Senyum singkat muncul di wajah pria berkaos putih di atas sofa. Ia menarik kembali tangannya yang merangkul kedua wanita di sampingnya dan membiarkannya terkulai di atas tubuhnya hingga ke pahanya. “Apa ini sudah waktu yang aku janjikan?” Dira memejamkan mata sejenak dan menarik nafas, mencoba menahan dirinya yang rasanya sudah ingin melompat ke atas meja dan memberikan sebuah pukulan keras di wajah pria tersebut. “Kau menjanjikan seminggu. Dalam waktu seminggu aku bisa mendapatkan uangnya, katamu. Kau lupa? Dua kali lipat. Kau tahu aku percaya padamu.” Pria didepannya tertawa sampai menundukkan kepalanya. Raut wajahnya sudah berubah menjadi serius ketika ia mengangkat kembali kepalanya menatap lurus pada Dira, “Kalau begitu, kau pasti bisa untuk menahannya lebih lama bukan?.. Jika kau percaya padaku.” “Kau juga. Seharusnya berusaha menepati janjimu, bukan? Karena aku percaya padamu, kau juga sudah tahu betul apa masalahku..” , balas Dira tidak mau kalah. Pria dihadapannya mencondongkan tubuhnya untuk meraih sebatang rokok di tengah meja dan juga korek api. Batang rokok tersebut ia letakkan di antara bibirnya dan membakar ujung rokoknya dengan korek di tangannya. Kepulan asap tebal keluar dari kedua lubang hidungnya sesaat setelah ia menyesap dalam dalam rokok di mulutnya. “Minggu depan? Aku akan memberikannya padamu dua kali lipat.” , katanya singkat seraya melemparkan korek di tangan/nya kembali ke tempatnya semula meskipun meleset. “Tidak. Aku ingin uang itu sekarang! Aku tidak ingin menunggu lagi” , protes Dira, “Kau berjanji akan padaku akan mengembalikannya dalam waktu seminggu. Ini sudah hampir dua minggu dan kau masih belum mengembalikannya. Jujur saja, aku takut kau tidak bisa mengembalikannya. Siapa yang tahum kau akan kabur jika aku memberimu waktu lagi.” Jelas sekali pria tersebut merasa tersinggung dengan kata - kata Dira. Ia melepaskan rokok yang sudah tinggal setengahnya itu dan menyulutkannya ke atas meja. Menekan dan memutar - mutarnya hingga bara api mati dan rokoknya bengkok. “Bocah ini tidak paham bahasa manusia, ya? Aku bilang minggu depan.” , katanya penuh penekanan. “Kau juga tidak paham bahasa manusia, sepertinya.” , balas Dira, “Sudah kubilang aku ingin uangnya sekarang! keparatt sialand!” , Dira tidak ingin menahan diri lagi. Hal itu jelas memancing kemarahan pria tersebut. Pengaruh alkohol yang sebelumnya membuatnya setengah mabuk itu, kini sudah benar - benar sadar sepenuhnya. Dengan berpangku tangan pada lututnya, ia berdiri seraya bertepuk tangan dengan keras. Hal itu dengan sengaja ia lakukan untuk menarik perhatian orang - orangnya yang tersebar di ruangan besar tersebut, Hanya dengan tepukan tangan lambat dan keras itu sudah mampu membuat orang - orang itu bangkit dari duduknya dan datang mendekat, Sebagian dari mereka ada yang berjalan dengan sempoyongan dan sisanya masih bisa berdiri tegap. Pandangan Dira melihat sekeliling mengabsen mereka satu persatu. Dalam hitungannya terdapat delapan orang yang berjalan mendekati dirinya dan juga pria di hadapannya. Dira sudah tahu ini akan terjadi. Tanpa melepaskan pandangannya dari orang - orang tersebut perlahan, Dira mundur beberapa langkah dan berhenti di dekat helmnya yang ia banting sebelumnya. Ia sudah merasakan, sepertinya baku hantam tidak akan terelakkan di sini. “Dira, Dira.. Kau tahu ‘kan, teman - temanku itu tidak suka ada suara berisik. Tapi kau malah membangunkan mereka.” , kata pria di depannya dengan wajah memelas yang dibuat - buat. Sangat memuakkan bagi Dira. “Mau bagaimana lagi.. Sepertinya mereka sudah marah padamu. Maaf ya, aku tidak bisa membantumu.” , katanya lagi. Pria tersebut menoleh ke kanan dan kirinya. Lebih tepatnya pada orang - orangnya yang sudah siap berdiri di tempat mereka masing - masing dan hanya tinggal memberikan komando untuk membuat mereka bergerak. “Baiklah teman - teman.. Show time..” , katanya diiringi dengan seringai jahat di wajahnya. Orang - orang tersebut satu - persatu menghampiri Dira, sudah siap dengan kepalan tangan mereka, seolah - olah hendak menghancurkan wajah Dira. Tidak ingin dirinya hanya menjadi samsak sasaran untuk semua serangan mereka, Dira pun mengambil tindakan. Ia masih diam sejenak di tempat, menunggu orang yang pertama menghampirinya. Badan orang tersebut gemuk dan besar. Sangat berbeda dengan Dira yang kurus kerempeng. Namun hal itu tidak membuatnya gentar. Setelah jarak mereka sudah lebih dekat, Dira menurunkan tubuhnya sedikit berjongkok untuk meraih helmnya dan menghantamkan helm tersebut dengan keras pada wajah orang yang baru saja hendak melayangkan sebuah pukulan dengan tangan besarnya. Sontak, hal itu memicu tujuh orang lainnya ikut menghampiri Dira dan satu per satu maju untuk memberikan serangan - serangan yang mereka biasanya lakukan saat menagih hutang kepada mereka yang tidak membayarnya tepat waktu. Baku hantam ipun terjadi dengan Dira melawan tujuh orang lainnya. Tubuh kurusnya menguntungkan dirinya karena membuat dirinya lebih lincah dibandingkan orang - orang yang menyerangnya. Meskipun tenaganya tidak sekuat mereka. Tetapi setidaknya Dira sudah tahu dimana letak titik - titik kelemahan pada manusia. Ilmu itu ia dapatkan langsung dari gurunya saat ia masih belajar beladiri MuayThai beberapa tahun silam. Sementara itu di toko tempat Adelia bekerja, Adelia tidak benar - benar bisa fokus pada pekerjaannya. Semua yang Rangga katakan padanya terus - terusan mengiang - ngiang dalam pikirannya, menyita waktunya untuk memutar ulang dan malah membuat ingatan akan saat itu menjadi lebih kuat. Ini bukanlah yang Adelia inginkan. Sebelumnya, ia sudah memberitahukan kepada dirinya sendiri, untuk bekerja dengan giat pada hari ini. Terlebih lagi, Dira yang tak kunjung datang sejak tadi membuatnya harus kerja dua kali lipat. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh dua orang, kini hanya dilakukan oleh Adelia sendiri. “Kemana sih Dira ini?” , keluh Adelia meluapkan rasa frustasinya akan Rangga dengan hal lain. Bibinya yang berada di balik mesin kasir mendengar keluhan tersebut, “Sudah kau coba hubungi dia?” , kata bibinya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku catatan usang miliknya. Setuju dengan perkataan bibinya, Adelia merogoh saku celana jeansnya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Hanya karena melihat ponsel miliknya, hal itu mengingatkannya lagi pada Rangga yang mengatakan akan menunggu telepon darinya. Baru saja beberapa saat yang lalu ingatan akan hal itu memenuhi pikirannya. Dan kini ia sudah memikirkannya lagi. Jika bisa, Adelia ingin membuka kepalanya dan mengeluarkan otaknya sejenak untuk mengambil pemikiran - pemikiran tentang Rangga dan kemudian menyimpannya sebentar di dalam sakunya agar pikirannya tidak melulu dipenuhi oleh Rangga. Adelia menggeleng - gelengkan kepalanya dengan cepat dan langsung mencari kontak Dira. Tut.. Tut.. Tut.. Hanya ada suara berdering dan sampai akhir bila tidak menjawab panggilan tersebut. “Dira tidak menjawabnya bi, dia tidak menjawab panggilanku.” , kata Adelia. Mendengar hal itu, barulah bibinya mau mengalihkan sebentar perhatiannya dan menatap Adelia, berpikir, “Ke mana dia pergi?” , tanyanya. Adelia mengangkat kedua bahunya bersamaan sebagai jawaban ketidaktahuannya dan berlalu pergi melanjutkan pekerjaannya. Tanpa mereka ketahui, di suatu tempat yang jauh dari rumah maupun toko ibunya, Dira berhasil menghabisi delapan orang tadi yang mengeroyoknya. pria berkaos putih di hadapannya merasa kesal dan mulai terpancing. Sedangkan dua orang wanita cantik di kedua sisi kanan dan kirinya hanya bisa bergidik ngeri, takut pada Dira. Namun di sisi lain mereka merasa Dira benar - benar keren. Sebab dengan tubuh kecilnya saja bisa mengalahkan mereka semua yang proporsi tubuhnya lebih besar dari Dira. Dira yang sudah ngos - ngosan mengelap sudut bibirnya yang robek karena terkena hantaman kepalan tangan dari salah satu mereka yang menyerangnya. Wajahnya meringis, tetapi berbangga diri dan menjadikan luka itu sebagai sebuah piagam penghargaan untuknya. Untuk mengingatkannya akan hari ini, dimana ia berhasil menghabisi delapan orang sekaligus tanpa bantuan siapapun, meskipun sebagian dari mereka ada yang sudah setengah mabuk. Berjalan saja sudah sempoyongan sehingga ia bisa dengan mudah menghabisinya. Dira terlihat sudah lelah. Tenaganya sudah habis untuk baku hantam tadi. Sebenarnya ia bisa saja sekaligus menghabisi pria di hadapannya yang menjadi sasaran utama kemarahannya, namun melihat kondisi dirinya yang sudah lelah, ia memutuskan untuk mundur. “Aku akan memberimu waktu tiga hari. Jika kau tidak bisa memberikan uangnya padaku dua kali lipatnya, berikan saja padaku sama seperti jumlah awal aku saat memberikannya padamu.” , jelas Dira. “A-apa?! Kau sedang mengancamku sekarang?!” “Tidak. Aku hanya memberitahu, aku tidak minum minuman seperti itu," , kata Dira sambil melirik gelas kaca berisi minuman keras yang disajikan langsung oleh pria di hadapannya. "Dan.. Kau harus memberikan uangnya segera dalam waktu tiga hari. Atau aku akan melaporkanmu ke polisi. Dan pada saat itu tiba, aku ingin melepaskan diriku dari hubungan kita. Aku pergi.” , ucap Dira yang langsung berjalan pergi menghampiri helmnya yang sudah retak pada bagian kaca depannya dan berbalik pergi untuk keluar dari rumah itu. Tidak bergerak sedikitpun, pria tersebut masih berdiri tertegun di tempatnya, menatap kepergian Dira dengan wajah kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN