BAB DUA BELAS : PENGAKUAN (part 5)

1568 Kata
Hingga saatnya tutup toko, Dira masih belum terlihat dan masih tidak bisa dihubungi. Panggilannya tersambung yang artinya ponsel miliknya masih aktif. Hanya saja tak kunjung dijawab olehnya, panggilan dari siapapun termasuk ibunya sendiri. Sekali lagi Adelia masih mencoba untuk menelpon Dira saat bibinya mengunci pintu toko. “Masih tidak dijawab.” ,kata Adelia. “Mungkin dia sudah di rumah. Tidak apa. Dia laki - laki, sudah besar juga. kau berhati - hatilah saat perjalanan pulang nanti.” , balasnya, “Kau telponlah seseorang untuk menemanimu pulang.” , katanya lagi sebelum berjalan pergi meninggalkan Adelia berdua dengan sepedanya. Satu nama. Satu orang, yang terpikirkan oleh Adelia begitu perkataan terakhir bibinya yang menyuruhnya untuk menelpon. Inilah saatnya, pertama kalinya pada hari ini ini, ia bisa memikirkan Rangga sepuasnya untuk mempertimbangkan keputusan akhir yang akan mengubah segalanya. Di satu sisi, Adelia memang membutuhkan seseorang untuk menemaninya sepanjang perjalanan pulang khawatir akan terjadi sesuatu padanya. Tetapi di sisi lainnya, ia masih tidak begitu yakin akan perasaannya pada Rangga. Jika memikirkan resiko kedepannya, membuatnya berkecil hati. Siapa juga yang mau dengan seorang perempuan yang sudah tidak memiliki apapun selain dirinya sendiri, kan? Pikirnya. Isi pikiran dan apa yang ia lakukan, bertentangan layar ponselnya sudah menampilkan kontak Rangga yang diberikan oleh Rangga siang tadi saat mereka berdua masih menunggu hujan dan bus mereka datang. Hanya tinggal menekan icon dial untuk menelpon Rangga saja, namun rasanya begitu berat. Tanpa Adelia ketahui, Rangga sudah berdiri di seberang jalan, di bawah gelapnya lampu jalan di seberang yang sudah mati. Ia menunggu panggilan dari Adelia sambil memperhatikan gerak - gerik Adelia. Dirinya tidak bisa menahan terkekeh geli melihat kebimbangan pada wajahnya melihat Adelia yang masih berjalan mondar - mandir di depan toko tempat Adelia bekerja yang sudah tutup. Rangga senang Adelia mau mempertimbangkannya baik - baik. Itu artinya apapun keputusan Adelia itu adalah murni keinginan dari hatinya dan juga pikirannya. Di tengah kebimbangan Adelia, sebuah motor dengan knalpot modifikasi yang berisik, melaju cepat melintas di Jalan Raya sepi yang ada diantara dirinya dan juga Rangga. Sontak suara berisik itu membuat Adelia terkejut dan tanpa sadar ibu jarinya menyentuh ikon dial yang langsung membuat ponsel Rangga berdering. Tak ayal, hal itu membuat Rangga tersenyum sumringah melihat layar ponselnya menyala, menampilkan nama Adelia disana. Setelah menunggu beberapa detik ia langsung mengangkatnya. “Halo?” , katanya dengan tenang. Mendengar suara tak asing dari ponselnya, Adelia terkejut. Ia tidak menyangka dirinya menelpon Rangga. Ia sadar hal itu sudah pasti karena suatu ketidaksengajaan. Namun tidak mungkin juga ia mengatakan hal yang sebenarnya pada Rangga. Tentu itu hanya akan menyakiti hati Rangga dan juga akan membuatnya diliputi rasa bersalah setelahnya. “H-halo?” , balas Adelia dengan gugup. “Baiklah, diam di sana, ya.. Aku akan datang.” , ujar Rangga membuat jantung Adelia berdegup kencang dan tidak tahu harus menjawab apa. “Mengapa wajahmu terlihat tegang begitu?” , tanya Rangga. “A-apa?” , Adelia tidak begitu mengerti bagaimana Rangga bisa tahu akan hal itu. Artinya sekarang ini Rangga ada di sekitar sini. Adelia langsung melihat sekeliling mencari keberadaan Rangga. Suara tawa ringan terdengar dari ponsel Adelia, namun kali ini suara tersebut terasa lebih nyata. Terdengar juga langkah kaki mendekat ke arahnya, Adelia menoleh ke belakang dan benar saja itu adalah Rangga, masih dengan ponsel yang ia tempelkan pada telinganya. “Mengapa wajahmu terkejut begitu?” , tanya Rangga masih terhubung dengan panggilan di ponselnya membuat suaranya menjadi ada dua. . Adelia tertegun di tempatnya berdiri. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa ataupun membalas apa. Ia baru menyadari, ini artinya ia sudah menerima perasaan Rangga. “Terima kasih, karena sudah menelponku.” , ujar Rangga dengan senyum hangat saat sudah dua meter jauhnya di hadapan Adelia. Tanpa ia tahu, senyum di wajahnya telah berhasil melelehkan hati Adelia. Wanita mana yang tega menghilangkan senyum itu dari wajah Rangga. Begitupun dengan Adelia. Ia tidak tega memberitahukan yang sebenarnya pada Rangga. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana reaksi Rangga ketika ia memberitahunya bahwa dirinya menelpon Rangga karena sebuah insiden dan penuh ketidaksengajaan. “Sejak kapan kau ada di sana?” , tanya Adelia menunjuk dengan pandangan matanya, ke arah seberang jalan. Pandangan Rangga mengikuti, “Tidak lama ,Kok.” , katanya. Padahal kenyataannya Rangga sudah berdiri di sana kurang lebih sejak satu jam yang lalu. Ia lebih memilih untuk diam di tempat gelap itu daripada harus terus menunggu di rumah dengan gelisah. Rangga hanya diam di sana tanpa berpindah tempat, menatap jauh ke seberang, dimana ia bisa melihat Adelia yang sedang bekerja. Ia merasa bersyukur dirinya masih memiliki pandangan yang bagus, meskipun sudah malam hari. Tidak seperti adiknya-- Kayla, yang tidak bisa melihat dengan jelas pada saat malam hari. *** Sepulangnya Dira, ia tidak langsung pulang ke rumah. Tetapi memilih untuk pergi ke tempat teman sebangkunya yang sebelumnya pernah ia pinjamkan motornya. Rumah temannya itu tidak lebih jauh dari pada harus ke pulang ke rumah dengan pakaian yang masih basah ditambah terjangan angin dingin di jalan. Dira merasa tidak cukup kuat untuk menahan dinginnya sampai ke rumah, itu sebabnya ia memilih untuk singgah sebentar dan ganti baju di tempat tinggal temannya. Rumah teman dekat sekaligus teman sebangkunya itu adalah sebuah rumah kos - kosan biasa yang hanya memiliki sembilan kamar di dalamnya, sudah termasuk kamar pemilik rumah besar tersebut. Alasan mengapa ia tinggal di sebuah rumah kos, adalah tidak lain karena rumahnya yang terlampau jauh dan akan menghabiskan banyak waktu di perjalanan jika ia harus bolak - balik pulang ke rumah dari sekolahnya. Sebab daerah rumahnya tidak dilewati oleh bus. tidak seperti rumah Dira yang meskipun jauh dari sekolah, tetapi dekat dengan tempat pemberhentian bus. Di rumah kos itu cukup bebas. Ada beberapa juga yang pernah membawa pasangan mereka ke kamar mereka tanpa bilang terlebih dahulu pada pemuda pemilik kos yang bias dipanggil “Koh” , dari kata “Akoh,” Itu sebabnya. Dira pun bisa bebas keluar masuk tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik rumah kos. Hal itu tidak terlepas dari pemilik rumah kos - kosan yang merupakan seorang pemuda juga yang sudah pasti bisa paham betul bagaimana perasaan penghuni - penghuni di sini, yang isinya adalah pria dengan berbagai profesi dan status. Itu sebabnya para penghuni bisa dengan bebas menghabiskan waktu dengan pasangan mereka di dalam kamar. Hanya ada satu aturan yang sang pemilik rumah kos tersebut buat, dan harus ditaati oleh para penghasut. Yaitu, Jangan membawa masalah di luar ke dalam rumah kos - kosan. Itu merupakan aturan tersirat yang mana, memberitahukan para penghuni kos - kosan untuk tidak mencari masalah. Terlebih lagi jika masalah itu melibatkan orang di luar yang sampai marah - marah datang ke rumah kos. Misalnya saja, n*****a. Hal itu tentu akan membuat kepolisian dan beberapa pihak dari Badan Narkotika Nasional akan datang berkunjung, dan itu adalah sesuatu yang tidak diharapkan. Melanggar satu dan hanya satu aturan yang ada. Untungnya semua penghuni kos-kosan mengerti makna tersirat dari satu aturan yang sebenarnya mencakup semua hal. Rumah kos itu bukanlah sebuah rumah tingkat yang besar. Melainkan hanya sebuah rumah berbentuk persegi dengan panjang dan lebar yang sama, sehingga denah rumah tersebut tidaklah sulit untuk dihafal , tidak seperti rumah kos - kosan besar lainnya. Ada lima ruangan di sisi sebelah kiri rumah, saling berhadapan, dan di antara lima kamar tersebut sudah termasuk kamar pemilik kos - kosan. Lalu di sebelah kanan ada empat kamar yang saling berhadapan juga. Tempat mereka dekat dengan kamar mandi. Untuk dapur sendiri, berada di tengah. Luas dan besar, dengan peralatan masak yang cukup lengkap namun jarang dipakai oleh para penghuni. Sebab keseluruhan penghuninya adalah laki - laki dan sebagian besar adalah para mahasiswa sibuk yang harus melakukan berbagai penelitian untuk menyelesaikan skripsi mereka. Teman Rangga merupakan yang paling muda di sana dan paling banyak memiliki waktu luang, tetapi sama saja, ia juga tidak terlalu bisa memasak, Dapur biasanya akan digunakan sepenuhnya hanya ketika ibu dari pemilik rumah kost tersebut datang berkunjung.Beliau selalu memasak porsi besar untuk semua penghuni rumah kos milik anaknya itu. Hal itu ia lakukan sebagai bentuk rasa terima kasihnya kepada para penghuni. Selain karena telah memberikan pemasukan lebih untuk anaknya, dan juga terima kasih karena sudah menemani anaknya di rumah besar itu. Dira memarkirkan motornya di samping rumah kos dengan dinding yang di cat berwarna abu - abu tua dan pintu berwarna coklat kehitaman. Dari luar memang terlihat seperti rumah yang terawat meskipun isinya hanya ada laki-laki. Tanpa mengetuk, Dira langsung membuka pintu depan dan melangkah masuk menuju kamar temannya. Belum sempat ia sampai, langkahnya berhenti di persimpangan dapur dan juga lorong menuju kamar rekan sebangkunya yang berada pada deretan kamar sebelah kanan. Dilihatnya sahabat karibnya tersebut sedang meniup - niup mie instan yang baru masak, mencoba untuk menghilangkan uap panas yang ada agar bisa diterima oleh mulutnya. Baru menyuap sedikit dan belum sempat menyeruputnya, temannya itu sudah melihat kehadiran Dira yang basah kuyup dengan beberapa memar di wajahnya, tengah berdiri tak jauh darinya, juga sedang menatap ke arahnya. Sontak ia memuntahkan yang sudah masuk ke dalam mulutnya, kembali ke dalam mangkok. “Ewww.. Kau jorok sekali, Pan.” , ujar Dira menatap jijik pada temannya itu. Alih - alih menanggapi, teman sebangkunya yang memiliki badan lebih pendek namun lebih berisi dari Dira itu, meletakkan kembali sendoknya dan langsung bangkit berdiri , “Heh, Ada apa? APa yang terjadi padamu? Kau baru saja bertengkar dengan seseorang? Lihatlah wajahmu..!” , katanya dengan tatapan khawatir sekaligus bergidik membayangkan pertarungan macam apa yang baru saja dihadapi oleh temannya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN