Kini Dira dan temannya itu sudah berada di dalam kamar. Tidak lain adalah milik sahabat karibnya yang biasa ia panggil dengan sebutan ‘papan’ hanya karena nama aslinya Evan dan seringkali teman - teman sekelas memanggilnya hanya dengan suku kata belakangnya, ‘Pan’. Dan lagi, tidak hanya Dira, teman - tema lainnya juga selalu memanggilnya tidak cukup sekali, sehingga terdengar seperti kata ‘papan’. Meskipun postur tubuhnya tidak tipis seperti papan. Justru Dira lah yang lebih terlihat seperti papan, namun tidak dipanggil dengan sebutan itu.
Dira terduduk di atas kasur yang sama besarnya dengan kasur miliknya di rumah, dan sudah mengganti bajunya dengan baju Evan. Dengan telaten Evan mengoleskan kapas yang telah diberi cairan obat merah pada sudut bibir Dira yang robek untuk membersihkan lukanya sebelum darah yang tercampur dengan kotoran itu menggumpal disana.
Ia meninggalkan mie instan miliknya yang berharga di dapur begitu saja, dan lebih memilih untuk merawat temannya yang datang dengan kondisi yang tidak cukup untuk disebut baik.
Salah seorang penghuni kos yang kamarnya berada di sisi sebelah kanan rumah kos, dekat dapur, keluar dari kamarnya dengan penampilan masih kusut seperti orang yang baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya berdiri acak - acakan dan matanya masih setengah tertutup dibalik kacamata bulat besarnya. Sementara itu, kaos putih kebesaran dan celana training hitam kebesaran, menambah kesan lesu pria yang yang merupakan mahasiswa hukum tahun ketiga di salah satu universitas yang tak jauh dari rumah kos ini.
Semua tugas yang diberikan oleh dosen lah yang membuat penampilannya seperti itu di sore hari. Tetap terjaga sepanjang malam hingga matahari terbit karena batas waktu pengumpulan tugas yang begitu dekat dengan waktu pemberian tugas merupakan rutinitas mingguannya yang terjadi beberapa kali dalam seminggu.
Perlakuan seperti itu sudah biasa ia terima dari dosennya dan sudah tidak membuatnya terkejut ataupun marah ingin protes kepada dosen yang memberikan tugas. Hal yang ia lakukan hanya pasrah mengorbankan waktu tidur berharganya untuk mengerjakan tugas yang ia kerjakan semampunya, dan kemudian dia akan meminta pemuda pemilik rumah kos yang biasa dipanggil ‘Koh’ untuk memeriksa tugas miliknya sebelum ia serahkan kepada dosen.
Langkah kakinya cepat dan bahunya agak bungkuk begitu ia keluar dari kamarnya dengan membawa satu botol air besar kosong menuju dapur. Pengerjaan tugasnya yang memakan banyak waktu dan membutuhkan banyak konsentrasi, membuatnya tidak bisa bolak - balik dari kamar ke dapur hanya untuk mengambil minum. Itu sebabnya ia selalu mengambil dalam jumlah banyak agar tidak perlu bolak - balik.
Langkahnya berhenti saat melewati meja makan.matanya langsung membuka begitu melihat semangkuk mie rebus hangat lengkap dengan telur dan juga sawi hijau menganggur di atas meja. Ia menelan ludahnya yang membuat jakunnya bergerak turun naik. Kepalanya celingak - celinguk ke kanan dan ke kiri untuk melihat kiranya milik siapa mie tersebut. Tanpa ada tanda - tanda sebelumnya, tiba - tiba saja perutnya bergerak meronta meminta diberi makan. Sontak tangan kanannya yang bebas mengelus - ngelus perutnya yang bergetar, memintanya untuk tenang. Dirinya tahu betul perut kesayangannya itu minta diisi dengan mie rebus di hadapannya. Namun otaknya meminta menahannya sebentar, untuk melihat siapa gerangan orang yang sudah meninggalkan santapan sederhana nan lezat ini begitu saja.
Untuk mengalihkan perhatian perutnya , ia melanjutkan tujuannya ke dapur yaitu untuk mengisi botol air minum besarnya. Suara gelembung air besar yang naik saat dispenser mengisi botol minumnya, rupanya tidak cukup untuk bisa mengalihkan perhatian perutnya yang lapar. Matanya masih menoleh ke belakang di mana meja makan berada. Ia menurunkan bahunya lesu dan kepalanya mendongak ke atas meratapi kondisi keuangannya yang benar - benar terbatas, padahal masih tengah bulan dan orang tuanya baru akan memberikan uang saku untuk semua kebutuhannya pada awal bulan selanjutnya.
Hal ini bisa terjadi, tidak lain adalah karena tugas dari kuliahnya yang terus - terusan mengharuskannya menggunakan kertas cetak dan bukannya melalui email. Sehingga ketika diminta revisi atau perbaikan jawaban, itu artinya ia harus mencetak ulang dengan jumlah halaman yang sama. Padahal untuk satu tugasnya saja bisa menghabiskan tidak kurang dari lima puluh lembar kertas berukuran A4. Dan hal terburuk terjadi pada awal bulan ini ketika ia diminta untuk merevisi jawabannya sebanyak dua kali. Hal itulah yang membuat keuangannya sudah menipis meskipun hari ini masih terhitung pertengahan bulan.
Untuk membeli satu bungkus mie instan saja ia harus berpikir lima kali. Sebab jika ia lalai atau membiarkan dirinya berfoya - foya sedikit saja, itu sama artinya dengan dirinya akan berpuasa selama beberapa hari pada akhir bulan nanti. Sebenarnya bisa saja ia meminta uang lebih pada orangtuanya dengan menjelaskan bagaimana situasinya, tetapi ia tidak cukup tega melakukan hal itu kepada kedua orangtuanya yang hanya berprofesi sebagai petani jagung di kampungnya. Ia malu karena sudah sebesar ini masih harus bergantung pada ada uang saku yang diberikan oleh orangtuanya. Itu sebabnya ia lebih memilih untuk menahan lapar daripada meminta uang lebih.
Setelah mengisi botol minum besarnya sampai penuh, ia tidak langsung kembali ke kamarnya, melainkan duduk di meja makan menanti pemilik mie tersebut kembali. Sudah cukup lama waktu berlalu saat ia mengisi botol minum airnya sampai penuh, tetapi tidak ada satupun penghuni kos yang keluar dari kamarnya. Membuatnya berpikir seakan - akan mie tersebut memang dengan sengaja ditinggalkan di sana untuknya.
Hati kecilnya meluluh dan setuju dengan keinginan perutnya. Dengan gugup, otaknya juga menjadi bimbang dan pasrah saja mengikuti keinginan perutnya. Di antara penghuni kos yang lain, dirinya memang sudah terkenal sebagai orang yang tidak segan untuk mengambil makanan jika ditawarkan. Namun melakukan hal ini adalah hal pertama baginya dan membuatnya gugup. Ia menegak air dari botol minumnya sampai mulutnya penuh dan menahan sebentar sebelum menelannya. Kepalanya kembali celingak - celinguk ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada yang mencari mie tersebut.
Merasa memang itu untuk dirinya, dengan menahan air liur di mulutnya ia menggeser mangkuknya tersebut. Dari tangannya ia bisa merasakan mangkuknya masih terasa hangat dan langsung melahapnya.
Sementara itu, pemilik mie yang masih di dalam kamarnya, masih sibuk mengobati luka temannya sambil terus bertanya yang lebih mirip seperti wawancara. Ia terus menanyakan semua pertanyaan secara mendetail sementara Dira yang ditanyai hanya menunjukkan ekspresi wajah meringis menahan rasa perih yang ia rasakan saat kapas menyentuh luka di bibirnya.
“Aku tidak tahu kau suka berkelahi, siapa yang menang?”
“Kau yang menang ‘kan? Aku akan sangat malu jika kau kalah. Serius.”
“Dengan Siapa kau bertengkar?”
“Apa alasannya? Ini pertama kalinya bagiku untuk melihat wajahmu babak belur seperti ini. Dan pertama kali bagiku juga mengetahui kau suka bertengkar. Kupikir kau orang yang sangat cuek. Maksudku, kupikir kau cuek sampai tahap tidak peduli dengan situasi apapun yang terjadi di sekitarmu. Eh, ternyata kau memiliki sisi yang semua laki - laki miliki juga. Hahaha.”
Dira hanya menanggapinya semua pertanyaan dan juga ocehan Evan dengan tatapan datar. Ia tidak mengerti mengapa laki - laki seperti Evan, bisa lebih cerewet dari Adelia. Hal lain lagi yang lebih tidak ia mengerti adalah, bagaimana mungkin ia bisa tahan berteman selama dua tahun dengannya dan malah merasa nyaman dengan hal itu.
Padahal ia sendiri merasa risih dan juga tidak suka dengan sifat cerewet ibunya. Dan Evan ini sebelas dua belas dengan ibunya, hanya saja ia merasa tidak terganggu jika Evan yang melakukan hal itu padanya.
“Nah, sudah. Coba buka mulutmu lebar - lebar. Apa masih terasa sakit?” , tanya Evan meletakkan kapas yang sudah kotor dengan sedikit darah dari sudut bibir Dira yang robek.
Dira menurut dengan apa yang diminta Evan. Perlahan ia mencoba membuka mulutnya lebar - lebar. Namun baru setengahnya ia membuka mulutnya, ia sudah merasakan robekan kecil di sudut bibirnya itu tertarik dan menimbulkan rasa nyeri yang masih tersisa meskipun ia sudah menutup mulutnya kembali.
Dari ekspresi wajah Dira Evan sudah bisa mengetahui bahwa itu pasti sakit, “Ya sudah, kalau begitu kau jangan buka mulutmu lebar - lebar dulu.” , jelas Evan memberi tahu apa yang sudah Dira ketahui.
Kini ia beralih pada lebam biru bawah mata kiri Dira. Meskipun tidak terlalu besar namun terlihat jelas bahwa itu adalah lebam karena sebuah pukulan. Dia mencoba untuk menyentuh luka tersebut pelan, namun baru satu jari telunjuk menyentuhnya, Dira langsung memundurkan wajahnya sedikit untuk menghindari sentuhan. Evan bisa menebak rasanya pasti sakit. Sama sakitnya dengan luka terbuka pada sudut bibir Dira.
“Ah, kau ini lebay sekali! Aku baru menyentuhnya sedikit saja.” , keluh Evan sembari membereskan kembali peralatan P3K yang ia pinjam dari kamar sebelah, “Ya sudah tunggu di sini. Aku akan mengambilkan es batu untuk mengompres lukanya.” , kata Evan bangkit berdiri, mengangkat kota P3K untuk ia bawa dan mengembalikan langsung pada pemiliknya sembari ya pergi ke dapur untuk mengambil es batu.
Begitu Evan menutup pintu kamarnya dan berbalik, ia berhenti sejenak, begitu mendapati seseorang sedang duduk di tempat dimana ia duduk sebelumnya saat menikmati mie instan miliknya. Tanpa ragu ia langsung menghampiri untuk melihat lebih jelas siapa dia.
Evan tertegun. Orang tersebut telah memakan mie miliknya benar - benar habis sampai tetes terakhir. Untuk kuahnya pun bahkan diminum olehnya dengan cara mengangkat mangkuknya dan meneguknya seolah itu adalah air es buah.
Orang yang telah mencuri mie instan yang masih belum menyadari kehadirannya. Bahkan ia masih sempat untuk bersendawa keras keras di hadapannya. Dilihatnya orang tersebut duduk bersandar pada kursi sambil memegangi Perutnya. Dari wajahnya, bisa terlihat orang itu puas dan terlena dalam kekenyangan. Memang Evan sengaja memasak dua porsi mie untuk mengenyangkan perutnya. Tetapi kini yang kenyang rupanya perut orang lain.
“Oh! Hai,” , sapa orang tersebut ramah dengan bibirnya yang nyengir lebar tanpa merasa bersalah karena telah memakan makanan orang lain.
“H-hai..” , sapa Evan balik. Matanya tertuju pada mangkok yang sudah kosong di depan orang itu.
“Oh? Apa ini milikmu?” , tanya orang tersebut.
Evan tersenyum kecut, “Tidak apa. Lagipula kau sudah menghabiskannya.” , katanya pasrah.
Ia melanjutkan langkahnya menuju kulkas untuk mengambil beberapa bongkahan es batu yang tersisa di dalam freezer lalu memasukkannya ke dalam handuk kecil yang ia bawa dari kamarnya.
Pria dengan kacamata yang sudah kenyang itu menggaruk rambutnya yang acak - acakan, membuatnya lebih acak - acakan lagi, merasa bersalah, “Wah, Maaf. Habisnya tidak ada yang datang sejak tadi, jadi aku memakannya.”
“Iya, iya, iya, iya.” , balas Evan malas.
Ia tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada orang yang bisa memakan makanan yang sudah jelas bukan miliknya. Kecuali jika ditawarkan, itu hal yang wajar. Namun untuk kasus ini, dia baru menemukan orang seperti itu di rumah kos pertamanya ini.
Beberapa kali ia memang pernah mendengar dari sebagian penghuni lain, yang menceritakan tentang mahasiswa berkacamata itu. Rupanya ia memang sudah terkenal tidak sungkan untuk memakan makanan orang lain saat ada yang menawarkan makanan. Meskipun hanya untuk sekedar basa - basi, dianggap olehnya serius dan pasti menerimanya. Tidak pernah menolak. Namun alih - alih menghakimi, Evan berusaha untuk memahaminya. Sebab menurut kacamatanya, orang tersebut pasti memiliki alasan khusus mengapa ia melakukan hal itu.
“Ada apa? Mengapa wajahmu ditekuk seperti itu?” , tanya Dira begitu Evan kembali ke kamarnya. Ia meletakkan kembali buku milik temannya di tangannya ke atas meja belajar Evan.
“Tidak ada. hanya Mie ku yang hilang di makan kucing.” , jawab Evan dengan malas.
Dahi Dira mengernyit bingung, “Memangnya ada kucing yang suka mie instan?” , tanyanya polos.
Evan yang sudah malas untuk menjawabnya, menyodorkan langsung pada memar di pipi kiri atas Dira, handuk yang berisi es batu, “Kompres luka lebammu dengan itu. Berharap saja beberapa jam kemudian sudah bisa hilang tidak berbekas.” , jelas Evan yang langsung berbaring di tempat tidurnya sambil melihat - lihat ponselnya. Cahaya dari ponsel yang menyala membuat wajahnya tampak lebih putih dan bersinar.
Dira tidak bertanya lagi dan hanya melakukan apa yang Evan Minta. Tangan kirinya terus memegangi handuk berisi es batu di atas luka lebamnya, sambil sesekali ia angkat dan tempelkan kembali.
Baru beberapa saat Evan memmainkan ponselnya, ia sudah menggerutu, “Ada apa sih dengan perempuan? Mudah sekali tersinggung..!” , katanya langsung mematikan ponselnya dan melemparnya pelan pada kasur di bagian atas kepalanya.
Ia memiringkan posisi tidurnya dan menatap Dira, “Ceritakanlah. Bagaimana kau bisa terlibat perkelahian itu?” , katanya mencoba untuk mengalihkan rasa sebal dalam hatinya.
“Biasa saja, tidak ada yang menarik.” , kata Dira cuek.
Evan sudah hafal betul Dira bukanlah seseorang yang mudah berbagi kisah hidupnya, terutama bagian - bagian sedih yang pernah dialami. Bertentangan sekali dengan prinsipnya yang menurutnya menceritakan cerita sedih pada orang lain penting untuk mengurangi rasa sedih itu.
“Hei, kau ‘kan sudah aku obati. Sudah kupinjamkan juga baju dan tempat yang hangat, berceritalah sebagai imbalannya. Ah kau ini!”
Dalam hatinya, Dira setuju dengan kata - kata temannya itu. Pada akhirnya ia mengalah dan menceritakan yang diminta. Namun tidak semuanya ia ceritakan, hanya pada bagian perkelahiannya dan untuk bagian awalnya ia hanya mengarangnya saja, agar terdengar lebih umum seperti perkelahian anak remaja lainnya. Meskipun begitu, Evan tetap mendengarkannya dengan penuh perhatian seakan itu adalah memang kebenarannya. Hal itu membuat Dira sedikit merasa bersalah sekaligus merasa lucu karena temannya itu begitu percaya dengan cerita karangannya.
“Wah, aku tidak menyangka teman dekatku cukup keren. Hahaha.” , ledek Evan begitu Dira selesai bercerita.
“Sayang sekali kau baru menyadari hal itu sekarang.” ,balas Dira dengan senyum percaya diri.
Namun senyumnya tidak bertahan lama karena rasa sakit yang timbul dari luka di sudut bibir dan juga lebam pada wajahnya.
“Cih, untuk apa keren begitu jika tidak memiliki pasangan, hahaha.”
Dira menyempitkan matanya menatap Evan dan beberapa detik kemudian berubah menjadi tatapan licik, “Hei apa kau tidak pernah dengar ungkapan pelatih tidak bermain?”
“Tidak, tidak, tidak, tidak. Hal ini tidak sama dengan itu. Jangan kau coba - coba mengaitkannya!” , protes Evan tidak terima.
Kemudian ia bangun dan duduk masih di tempat yang sama “Eh iya, benar. Aku jadi penasaran.. Apa kau tidak memiliki seseorang yang kau sukai? Tidak, tidak. Jelas tidak mungkin. Pasti ada. Kau cukup keren untuk disukai. Ya. kau tahu, di zaman sekarang ini mana ada remaja seumuran kita tidak punya orang yang disukai.”
Dira terdiam sejenak ingin mendengar lebih banyak ucapan Evan. Namun Evan juga diam menunggu jawaban dari Dira.
“Siapa?” , Tanya Evan penasaran, “Selama ini aku selalu menceritakan apapun padamu, tapi kau tidak melakukan hal yang sebaliknya padaku. Teman macam apa..”
Dira mulai malas jika Evan sudah mengungkit - ungkit hubungan pertemanan mereka. Ia tahu Evan pasti akan menuntut keadilan yang dalam arti sama rata.
“Kau pasti punya, ‘kan?” , tanya Evan mendesak.
“Apa?”
“Seorang yang kau sukai..?! Aku tidak akan bertanya soal siapa pacarmu. Aku hanya bertanya orang yang kau sukai, tidak peduli apa hubungan kalian. Kau punya, ‘kan?”
“Memangnya kenapa?” , Dira balik bertanya alih - alih menjawabnya langsung.
“Ya setidaknya untuk memastikan kau tidak menyukaiku.” , balas Evan dengan wajah polos yang dibuat - buat.
Dira yang sudah pindah tempat duduk di atas kursi belajar, dengan kakinya, ia menendang udara ke arah wajah Evan, “Kau gila?!” , katanya.
“Makanya beritahu aku!” , Desak Evan tidak sabar.
Dira diam sejenak, berpikir. Dalam kepalanya yang muncul adalah sosok Adelia, yang merupakan sepupunya sendiri. Tetapi ia merasa tidak sepatutnya dirinya menyukai saudara sedarahnya, jadi ia memilih untuk menutupinya bahkan pada dirinya sendiri. Ia menolak untuk menerima perasaan itu, namun terkadang Dira ingin sekali saja memberitahu orang lain bahwa dirinya menyukai Adelia untuk membuat hatinya merasa lebih lega. Karena setidaknya ia tidak perlu memendam lagi. Meskipun ia tidak mengungkapkannya pada Adelia melainkan pada orang lain yang tidak ada hubungannya dengan orang yang ia sukai.
“Siapa? Siapa?” , tanya Evan menginterupsi pertimbangan Dira.
Mata Dira kembali menatap lurus pada Evan yang sudah tidak sabar mendengar jawaban darinya, “Iya, kau benar. Aku punya,” , katanya, “Seseorang yang aku sukai.”