Evan terdiam sejenak. Ia tidak menduga Dira mau membuka sedikit celah tentang dirinya, “Hahaha,” , tawa Evan tiba - tiba. Dia tidak ingin suasananya menjadi begitu serius, “Sudah kuduga. Aku tahu tidak mungkin kau tidak memiliki seseorang yang kau sukai. Syukurlah.. Aku senang kau normal.”
Melihat reaksi Evan, Dira menarik kembali niatnya yang ingin memberitahu lebih lengkap tentang seseorang yang ia sukai. Ia kembali kepada keputusan awal untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun.
“Siapa? Siapa?” , tanya Evan lebih penasaran lagi, “Apa aku mengenalnya? Apa dia salah satu siswi di kelas kita?” , Evan ingin menggali lebih dalam lagi.
Dira tidak langsung jawabnya. Hal itu berhasil membuat Evan tertegun, berpikir lagi.
“Perempuan , ‘kan?”
Dira diam saja menatap Evan dan memilih untuk tidak menjawab.
“Bukan? Lalu.. Laki - laki?”
Sungguh, Dira tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran teman dekatnya itu, yang terus - terusan meragukan dirinya yang menyukai perempuan.
“Aku tidak akan memberitahu. Biar kau coba tebak saja.” , Jawab Dira dengan sengaja membiarkan fakta tentang orang yang ia sukai menjadi semakin samar, layaknya sebuah jalan yang semakin tertutup kabut tebal hingga jarak pandang sangat sedikit.
Jawaban dari Dira itu berhasil membuat Evan terdiam. Pikirannya bepergian kemana - mana. Ada sedikit rasa khawatir dalam hatinya dengan kemungkinan Dira menyukai dirinya. Untungnya sisi lain dirinya mengingatkan di awal tadi, sudah jelas Dira mengklarifikasi bahwa itu tidak benar.
Dari kursinya, Dira tersenyum senang telah berhasil membuat teman itu berpikir keras. Menurutnya itu adalah balasan setimpal karena sudah terus memaksanya untuk membuka diri.
***
Rangga dan Adelia masih juga berdiri di depan toko ibunya Dira. Suasana canggung itu kental terasa di antara mereka, terutama dari sisi Adelia.
“Kau sudah mau pulang?” , tanya Rangga melihat pada sepeda yang terparkir di belakang Adelia.
Pandangan Adelia ikut menoleh kebelakang untuk memastikan yang Rangga lihat adalah benar sepedanya, “Iya.” , jawab Adelia singkat.
Ada jeda beberapa saat sebelum salah satu dari mereka kembali membuka suara. Di waktu itu mereka berdua memikirkan hal yang sama yaitu pulang bersama. Adelia menunggu dengan dulu Rangga melontarkan kalimat yang sudah tertulis dalam skenario kecil buatan hati kecilnya yang senang berharap.
“Sesuai janjiku, aku akan mengantarmu pulang.” , ujar Rangga pada akhirnya.
Meskipun kata per kata yang diucapkan Rangga tidak sama persis dengan baris kalimat yang ada pada skenario dalam pikiran Adelia, namun itu sudah cukup membuat hati kecil Adelia menjadi senang dan berguling - guling seraya menutupi wajahnya tersipu malu.
Belum sempat Adelia menjawab, sebuah cahaya lampu putih yang menyilaukan, menyorot keduanya. Dengan refleks Adelia maupun Rangga, mengangkat tangan kanan mereka untuk menutupi pandangannya sambil sesekali mencoba mengintip siapa yang datang,
Dari suara mesin motornya Adelia merasa sangat familiar. Begitu lampu depan motor tersebut mati seiring dengan berhentinya suara mesin motor, Adelia melihat orang yang mengendarai motor tersebut nampak asing, meskipun motor yang dikendarainya adalah motor yang sering ia lihat di rumah.
Orang tersebut membuka helmnya, masih duduk di motornya. Rupanya itu adalah Dira, hanya saja ia memakai pakaian Evan yang tampak kebesaran di badannya yang kurus. Membuatnya tidak bisa dikenali kecuali menampakan wajahnya.
“Dira?” , kata Adelia, “Ada apa denganmu?” tanya Adelia dengan sedikit khawatir melihat beberapa luka pada wajah Dira dan melangkah maju menghampirinya.
Rangga merasa tidak nyaman saat Adelia menunjukkan kepeduliannya pada Dira meskipun sebelumnya ia sudah diberitahu bahwa Dira adalah saudara sepupunya.
Tidak langsung menjawab, Dira memperhatikan dua orang di depannya. Dibalik sorot matanya itu, ada tersirat rasa tidak senang dalam hatinya. Tetapi wajahnya tidak cukup pandai untuk menunjukkan hal tersebut. Yang terlihat hanya wajah datarnya yang biasa ia tampilkan.
“Hanya terjatuh di sana.” , Jawab Dira dingin seperti biasanya, namun tatapannya menatap ke arah Rangga. Dalam hatinya ia bertanya - tanya apa niat Rangga datang kemari di jam ini.
“Maaf, tokonya sudah tutup. Lain kali jika ingin berbelanja, datanglah sebelum pukul delapan malam.” jelas Dira pada Rangga.
“Ah tidak,” , ujar Rangga dengan tersenyum geli, “Aku bukannya mau berbelanja. Aku datang ke sini untuk Adelia.” , katanya terus terang.
Pandangan keduanya kini beralih pada Adelia, membuat Adelia merasa kikuk.
“Oh begitu.” , balas Dira setelah diam sejenak memperhatikan Adelia, mencoba untuk melihat sebuah penolakan dari sorot mata Adelia.
Setidaknya ia berharap Adelia menafik pernyataan yang baru saja Rangga lontarkan padanya. Namn nihil. Meskipun ia sudah diam sejenak memberi kesempatan Adelia untuk bicara. Tidak selaras dengan yang Dira inginkan, Adelia hanya diam saja. Tersirat makna mengiyakan, yang jelas membuat perasaan Dira semakin berkecamuk.
“Bibi sudah pulang. Kau dari mana saja?” , tanya Adelia.
Dengan perasaan yang lebih kacau, Dira memundurkan motornya menjauh dari keduanya, “Bukan urusanmu.” , katanya dingin. Lebih dingin dari sebelumnya.
Kakinya mulai menginjak - injak starter manual motornya hingga akhirnya mesin motor menyala dan lampu depan itu kembali menyilaukan pandangan Adelia dan Rangga. Namun kali ini Rangga sudah mulai terbiasa dan hanya menyipitkan matanya saja untuk menghalau silau yang datang menusuk matanya itu.
Tanpa berkata apa - apa lagi, ia langsung tancap gas pergi meninggalkan keduanya dengan kecepatan tinggi nyaris ngebut.
Yang tersisa di tempat Adelia dan Rangga hanya aroma dari pembuangan pembakaran mesin yang dikeluarkan melalui knalpot motor Dira tadi.
“Kita jalan sekarang?” , tanya Rangga langsung mengalihkan perhatian Adelia agar tidak memikirkan Dira lebih lanjut.
Cara itu berhasil.
Adelia mengangguk, “Iya.” ,katanya kembali untuk mengambil sepedanya, sementara Rangga menunggu.
“Ayo. , kata Adelia sekembalinya setelah selesai membuka kunci rantai pada ban sepedanya dan meletakkannya ke dalam keranjang sepeda yang ada di bagian depan.
Dengan kecanggungan yang ada, mereka justru berjalan dengan lambat. Adelia berusaha menyesuaikan langkahnya dengan Rangga. Begitu juga dengan Rangga yang berusaha menyesuaikan langkah kakinya dengan Adelia, sehingga keduanya sama - sama melangkah dua kali lebih lambat dari biasanya mereka berjalan.
Sinar dari pantulan cahaya matahari oleh bulan menerangi jalan yang mereka lewati. Ditambah dengan lampu remang - remang yang ada di sepanjang sisi jalan. Suasana malam itu sudah cukup sepi. Meskipun terkadang ada beberapa kendaraan lewat di jalan raya dan beberapa orang yang mereka temui saat berpapasan di trotoar jalan.
Dengan keheningan di antara mereka itu membuat waktu terasa begitu lambat bagi keduanya. Jarak yang mereka tempuh pun rasanya lebih jauh dari biasanya. Terhitung sudah lebih dari lima kali Adelia terus mengeluh dalam hatinya, bertanya - tanya mengapa sampai sekarang masih juga belum tiba di persimpangan jalan dekat rumahnya, tempat mereka akan berpisah..
“Jujur saja, kau adalah orang pertama yang aku sukai.” , ujar Rangga tiba - tiba, memecah keheningan yang ada.
Adelia menoleh padanya, “Apa?” , katanya dengan cepat ingin memastikan apa yang baru sja ia dengar tidaklah salah.
“Iya, kau adalah orang pertama yang aku sukai.” , kata Rangga mengulang lagi kalimatnya.
Adelia tidak mengeluarkan suaranya untuk merespon. Ia menunggu Rangga untuk bicara lebih banyak lagi, khawatir dirinya akan tampak bodoh jika terus menimpalinya dengan sebuah pertanyaan.
“Bagaimana denganmu? Apa aku yang pertama juga bagimu?” , tanya Rangga.
Adelia tertegun tidal menyangka akan ada pertanyaan balik yang di lontarkan padanya.
“Tidak, tidak. Lupakan. Itu pertanyaan bodoh. Sejujurnya aku tidak peduli, aku yang pertama atau bukan, yang penting kau sudah menerima perasaanku padamu.”
Butuh waktu beberapa saat bagi Adelia hingga ia tersenyum menanggapi. Sebab dalam pikirannya banyak perdebatan terjadi saat itu juga. Dan salah satu diantaranya adalah mengenai dirinya yang tidak sengaja menelpon Rangga dan membawanya kepada situasi seperti ini.
“Bisakah kau tidak memberitahu teman - teman sekelas kita yang lain?” , pinta Adelia.
Rangga berpikir sebentar, “Baiklah. Itu tidak masalah bagiku.”
“Dan,, apa kau mau berpura - pura tidak mengenalku di sekolah?”
Tanpa perlu memikirkannya, Rangga langsung menjawab, “Kalau itu aku tidak bisa.”
Adelia menghentikan langkahnya dan menoleh pada Rangga. Dari sorot matanya terlihat jelas ia menuntut sebuah penjelasan.
Rangga ikut menghentikan langkahnya, “Jujur saja aku tidak bisa. Rasanya sia - sia aku mengungkapkan perasaanku padamu jika pada akhirnya harus berpura - pura tidak mengenalmu. Maaf tidak bisa memenuhi permintaanmu.”
Adelia tertegun. Hati kecilnya luluh, merosot dalam kursi malasnya. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan laki - laki yang begitu terus terang padanya. Ini benar - benar mendebarkan, katanya dalam hati.
Rangga kembali melanjutkan langkahnya, diikuti oleh Adelia setelahnya.
“Oh iya, aku ada satu permintaan. Apa boleh?” , tanya Rangga.
Tanpa berpikir, Adelia langsung menimpali, “Apa permintaanmu?” , katanya.
Rangga tidak langsung menjawab. Hal itu membuat Adelia berusaha menerka - nerka permintaan macam apa yang Rangga inginkan darinya. Apakah suatu barang, atau sesuatu seperti sebuah pelukan, atau apa?
Rangga tersenyum, namun masih belum memberitahu permintaannya. Adelia menunggu dengan tidak sabar akan kalimat apa yang keluar dari bibir Rangga. Hati kecilnya terus berteriak bahwa ia siap dengan permintaan apapun yang akan Rangga lontarkan.