Suara adzan yang berasal dari masjid belakang sekolahnya sudah berkumandang saat mereka sampai di terminal. Sudah banyak orang berdiri menunggu di tempat pemberhentian bus, sebagian dari mereka beranjak pergi dari sana untuk memenuhi seruan panggilan ibadah yang sedang berkumandang. Hal itu membuat tempat tersebut lebih leluasa. Adelia berhenti di sisi tempat duduk yang sudah terisi, begitu juga Rangga yang ikut menghentikan langkahnya, berhenti tepat di samping Adelia.
Rangga beberapa kali menengok ke arah jalan datangnya bus, namun ia masih belum melihat tanda - tanda satupun bus datang. Memang bus yang ada di kota ini bukanlah bus yang beroperasi sampai larut malam dan memiliki banyak armada seperti di kota - kota besar seperti Bandung dan Jakarta yang ada di pulau Jawa, tetapi bukan berarti mereka sudah tidak lewat lagi di jam ini. Rangga mulai memikirkan kemungkinan - kemungkinan yang mungkin terjadi pada busnya saat perjalanannya menuju kesini.
Berbeda dengan Adelia yang sorot matanya menerawang lurus ke depan. Dalam pikirannya hanya ada surat peringatan dari bank, rasa enggannya untuk pulang, apa yang harus ia lakukan, tiga hal itu terus berputar - putar dalam pikirannya. Rangga bisa melihat kegundahan yang Adelia rasakan hanya dari raut wajahnya. Melihat hal itu, ingin rasanya Rangga mengubah semua beban yang ada dalam pikiran Adelia menjadi berwujud dan kemudian ia akan menghancurkannya hingga berkeping - keping, agar tidak lagi ia melihat air muka seperti itu pada wajah Adelia.
“Adel?” , ucap Rangga, “Boleh aku memanggilmu Adel?”
Butuh waktu beberapa detik untuk Adelia merespon panggilan itu dan menoleh pada Rangga.
“Boleh saja.” , balas Adelia.
“Baiklah, sudah diputuskan. Adel. Aku akan memanggilmu Adel.” , ujar Rangga senang.
Satu - satunya alasan yang membuat Rangga senang adalah fakta bahwa hanya dirinya yang memanggil Adelia dengan panggilan Adel. Sebab, teman - teman di kelas mereka memanggil Adelia dengan panggilan Adelia. Merupakan suatu kebahagiaan tersendiri ketika ia bisa memanggil Adelia dengan panggilan yang berbeda dari orang lain. Hal itu membuatnya merasa istimewa.
“Sepertinya kau senang sekali bisa memanggilku Adel.” , ujar Adelia tidak tahan untuk berkomentar.
Ditanya seperti itu senyum pada wajah Rangga malah semakin terlihat jelas, “Ya, kau benar. Aku senang.” , katanya terus terang.
Melihat Rangga yang sejak tadi terus tersenyum membuat Adelia tidak bisa tidak ikut tersenyum, “Senyummu menular.” , kata Adelia.
“Banyak orang yang bilang begitu.” , balas Rangga mengiyakan dengan percaya diri.
“Itu hal bagus.” , balas Adelia lagi.
Senyum di wajahnya membuatnya lupa sesaat dengan kegelisahan yang dirasakan beberapa saat yang lalu. Rangga senang bisa melihat hal itu. Sejak saat itu ia bertekad ingin terus melihat dan mempertahankan senyum itu pada wajah Adelia.
“Busnya datang!” , ujar Rangga bersemangat.
Beberapa orang yang mendengar Rangga, ikut menoleh ke arah yang sama seperti Rangga, tidak terkecuali Adelia. Namun, ada sedikit perbedaan antara Adelia dengan orang - orang yang ada di sana. Senyumnya memudar kala bus datang, kontras sekali dengan respon Rangga yang justru bersemangat. Adelia teringat kembali perasaannya yang tidak mau pulang dan hanya ingin pergi jauh untuk sementara waktu.
Laju bus semakin melambat saat mendekati tempat pemberhentian bus. Selagi menunggu bus benar - benar berhenti di hadapan mereka, orang - orang yang menunggu sejak tadi langsung berkumpul dengan ke bagian depan, Sedangkan Adelia memilih untuk tetap di tempatnya. Ia tidak ingin ikut berdesak - desakan di antara kerumunan tersebut. Ia tidak ingin pulang.
Rangga yang terlalu bersemangat, tidak melihat ekspresi Adelia.
Saat bus tiba dan berhenti, orang - orang yang sudah berkumpul itu secara bergantian naik melalui pintu depan bus. Begitu juga dengan Rangga yang melangkahkan kakinya. Tetapi kemudian ia berhenti begitu menyadari Adelia masih diam tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri.
“Kau tidak naik?” , tanya Rangga.
Adelia tersenyum kecut, “Kau duluan saja. Aku akan menyusul nanti. Sepertinya busnya akan penuh sekali, jadi aku naik bis yang selanjutnya saja.”
Tentu saja Adelia hanya mencari alasan saja. Ia tidak ingin Rangga tahu alasan yang sebenarnya. Rasanya memalukan. Ia tidak ingin dirinya terlihat menyedihkan di depan Rangga.
Rangga diam menatap trotoar tempat Adelia berdiri. Ia berpikir sejenak beberapa saat dan kemudian kembali ke tempat dimana berdiri bersama Adelia sebelumnya.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak naik?” , tanya Adelia bingung melihat Rangga yang malah kembali.
“Kau benar. Sepertinya busnya akan penuh sekali. Aku akan naik bis yang selanjutnya saja.” , kata Rangga mengulang kalimat Adelia sebelumnya.
Sontak mendengar itu, Adelia hanya bisa menganga tidak menyangka. Ini akan menjadi semakin sulit, ujar Adelia dalam hatinya.
Pintu bus menutup dan bus pun melaju meninggalkan Adelia berdua bersama Rangga. Hanya mereka yang ada di sana dengan suasana petang yang sudah mulai gelap dan sudah sepi. Kendaraan yang berlalu lalang pun tidak sebanyak sebelumnya. Hal itu disebabkan bagi beberapa orang disini, pada jam - jam ini adalah jam untuk beribadah.
Adelia semakin tidak tahu apa yang harus ia lakukan, sebab kini rencananya semakin rumit dengan Rangga yang sejak tadi terus ada di dekatnya. Sebenarnya ia tidak ingin besar rasa dengan menganggap Rangga terus mengikutinya. Namun kenyataannya, sejak tadi di kelas, rasanya ia tidak bisa lepas dari Rangga yang selalu ada di dekatnya.
Bukannya ia tidak merasa senang, hanya saja untuk saat ini ia ingin punya waktu untuk sendirian saja seperti biasanya. Tidak ada pembicaraan yang terjadi diantara mereka selama beberapa saat. Adelia tidak sempat memikirkan topik pembicaraan apa yang harus ia ungkapkan.
“Kemarin,” , kata Rangga sengaja menggantungnya.
Adelia menoleh dan menunggu Rangga menyelesaikan kalimatnya.
“Apa yang terjadi dengan tanganmu? Kau tahu.. Aku melihat lenganmu merah - merah semalam.” , tanya Rangga tiba - tiba, “Apa seseorang menyakitimu?”
Deg! Adelia ingin mengeluh pada semesta saat ini juga. Ia masih tidak mengerti mengapa sesuatu yang ia takutkan, seringkali malah terjadi. Seperti saat ini. Beberapa saat yang lalu ia berharap Rangga lupa akan kejadian malam tadi di toko bibinya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya dan diingatkan dengan cara yang tidak ia duga sebelumnya. Langsung bertanya terus terang. Suatu cara yang bagus untuk menyudutkan orang lain.
Adelia langsung mengalihkan pandangannya dari Rangga, ia khawatir Rangga akan melihat tanda - tanda kebohongan pada sorot matanya, “Ah, kemarin itu.. Tidak, bukan apa - apa. Itu hanya ulah kucing di toko tempatku bekerja.” , ujar Adelia dengan kebohongan yang muncul di kepalanya.
Orang bodoh manapun juga pasti tahu itu bukan bekas cakaran kucing. Jelas - jelas itu adalah jejak bekas penganiayaan. Rangga ingin memastikannya lagi, tetapi sayangnya garis - garis kemerahan tersebut sudah menghilang dari lengan Adelia,.Rangga tidak bisa bertanya lebih lanjut lagi, sebab sesuatu yang ingin ia kuak itu sudah menghilang.
Jujur saja, Adelia masih belum bisa menceritakan tentang keluarganya ataupun apa yang mereka lakukan padanya. Dulu, ibunya pernah berkata bahwa permasalahan dalam keluarga tidak sepatutnya diberitahukan kepada orang lain. Nasehat tersebut terus diingat oleh Adelia dan ia praktekan selalu. Oleh karena itu apapun yang bibinya lakukan padanya, ia akan tetap tutup mulut. Karena itu merupakan masalah dalam keluarga.
Menceritakan hal seperti ini, terutama pada Rangga, sudah pasti Rangga tidak akan berdiam diri saja dan akan mengambil tindakan untuk hal itu. Adelia bisa merasakannya, aura keadilan yang begitu kuat dalam diri Rangga.
“Jika ada yang menyakitimu, katakan saja padaku.” , ujar Rangga.
Adelia menolehkan wajahnya ke samping untuk melihat Rangga, “Lalu, apa yang akan kau lakukan pada mereka?” , tanya Adelia penuh harapan.
“Aku akan mengatakan pada mereka untuk tidak menyakitimu lagi.”
Itu adalah salah satu kalimat yang ingin Adelia dengar sejak lama. Saat Rangga mengatakannya, ia menyadari sudah lama ia berdiri sendiri dan tidak memiliki seseorang yang melindunginya seperti sosok ayahnya.
Air mata Adelia mulai berkumpul di pelupuk matanya. Segera ia mengalihkan kembali pandangannya ke jalan raya di depannya agar Rangga tidak melihat matanya yang sudah berkaca - kaca. Ingin rasanya Adelia berlindung di balik tubuh Rangga yang sama artinya ia ingin Rangga menjadi ksatria yang siap membela dan melindunginya sepenuh hati.
Tiba - tiba saja suara nada dering ponsel salah satu dari mereka berbunyi. Itu adalah ponsel milik Rangga. Segera ia merogoh saku celananya dan tanpa menunggu lagi, ia langsung menjawab panggilan tersebut.
“Ada apa?” , katanya dengan nada malas begitu ia menempelkan ponselnya pada telinga kanannya.
“Kakak~” , terdengar rengekan yang sudah sangat familiar di telinga Rangga, “Kau dimana?~”
Suara rengekan itu begitu keras suaranya hingga Adelia di sampingnya pun bisa mendengarnya samar - samar. Meskipun Adelia tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan, tetapi ia bisa mengetahui itu adalah suara perempuan.
Rangga melirik pada Adelia yang tengah bersikap seolah -olah tidak mendengarnya panggilan yang tengah ia lakukan. Untuk kenyamanan Adelia maupun dirinya, Rangga berjalan agak menjauh dari Adelia agar ia bisa berbicara dengan bebas. Karena yang menelponnya adalah adik satu - satunya yang tentu akan membuatnya berbicara dengan nada yang tidak mengenakan. Rangga tidak ingin citra dirinya menjadi buruk hanya karena cara bicaranya dengan adiknya.
Adelia yang sebelumnya sudah merasa tidak nyaman begitu mengetahui yang menelpon Rangga adalah seorang perempuan, kini ia malah dibuat berprasangka dengan sikap Rangga yang malah menjauh untuk menjawab panggilan tersebut.
Tanpa sadar Adelia menatap Rangga dengan tatapan tidak senang. Beberapa detik kemudian ia baru tersadar akan posisinya. Hati kecilnya yang sudah terlanjur menaruh harapan pada Rangga membuatnya menjadi egois dengan menganggap Rangga adalah miliknya. Padahal kenyataanya, dirinya hanya terjatuh terlalu dalam pada kalimat Rangga yang mewujudkan keinginan hati kecilnya.
“Aku masih menunggu bus. Ada apa?”
“Aku diberi banyak tugas oleh guruku tadi di sekolah. Ibu dan ayah tidak ada di rumah, jadi aku tidak tahu harus bertanya pada siapa untuk menjawab soal - soal ini.” , jelas Kaila di seberang panggilan masih terus merengek seolah - olah dia adalah orang paling sengsara di dunia.
“Ya sudah, tunggu saja. Bus selanjutnya masih sekitar dua puluh menit lagi. Kau bersabarlah.”
“Tidak bisa kak, jam delapan nanti sudah harus dikirimkan melalui email.”
“Kau ini sebenarnya murid kelas berapa sih? Mengapa memiliki tugas yang harus dikirimkan melalui email?”
“Tidak tahu kak!~ Pokoknya kakak harus pulang sekarang juga! Jika aku tidak mendapat nilai untuk tugas kali ini, maka itu adalah salah kakak!” , ancam Kaila dan langsung menutup panggilannya secara sepihak.
“Halo? Halo? Kaila? Aish..” , Rangga menatap sebal pada layar ponselnya yang masih menampilkan tulisan panggilan diakhiri.
Rangga kembali dengan wajah bimbang. Ia merasa sebal karena tidak bisa pulang bersama Adelia hari ini. Padahal beberapa saat yang lalu ia baru saja merasa senang karena bisa berlama - lama dengan Adelia, tetapi sepertinya semesta tidak mengizinkannya hari ini.
“Sepertinya aku akan pergi lebih dulu.” , kata Rangga dengan wajah menyesal.
Seharusnya Adelia merasa senang karena memang ini yang ia inginkan sebelumnya. Tetapi yang ia rasakan saat ini malah sebaliknya. Ia tidak ingin Rangga pergi.
“Oh begitu, ya sudah.” , balas Adelia memasang topeng senyumnya lagi.
Tepat saat itu, sebuah taksi berwarna biru dengan lambang burung pada pintu kursi depan taksi tersebut, datang ke arah mereka. Segera Rangga maju selangkah ke sisi jalan dan mengulurkan tangannya untuk menghentikan taksi tersebut. Hati kecil Adelia merosot dari sofa nyamannya begitu melihat Rangga sampai memilih untuk pergi dengan taksi. Adelia langsung menyadari betapa dirinya telah salah paham dengan sikap Rangga, karena pada kenyataannya masih ada perempuan lain yang menjadi prioritasnya.
Begitu taksi tersebut berhenti di depan mereka berdua, segera Rangga membuka pintu penumpang di belakang dan masuk ke dalamnya. Sesaat setelah Rangga menutup pintunya, ia membuka jendela pintu taksi tersebut.
“Dia adikku.” , kata Rangga, “Sampai bertemu besok, ya. Hati - hati!~” , Rangga melambaikan tangannya bersamaan dengan melajunya taksi yang ia naiki menjauh pergi meninggalkan Adelia yang masih berdiri di tempatnya.
Pipi Adelia memerah. Bagaimana mungkin Rangga bisa menebak apa yang Sora khawatirkan. Ia merasa malu pada dirinya sendiri yang terus - terusan cepat menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan prasangka dan bukannya mencari tahu fakta kebenarannya.