BAB KEDELAPAN : SALAH KIRA (part 2)

1603 Kata
Sebelum menjawab Adelia menoleh pada Rangga seolah meminta Rangga untuk memberitahunya apa yang harus ia katakan untuk menjawab pertanyaan Dira. Rangga juga sedang melihat ke arahnya, tetapi ia tidak bisa menangkap maksud dari tatapan Adelia. “Aku di sekolah.” , jawab Adelia setelah jeda beberapa detik untuk melakukan rapat darurat dalam otaknya, mendiskusikan mana yang lebih baik antara menjawab jujur atau berbohong saja. Dan ya, kejujuran selalu menang. Dira yang tengah menyusun kaleng - kaleng sarden dari kardus ke rak, tangannya terhenti di udara kala mendengar jawaban dari Adelia. Sedang apa dia masih di sekolah jam segini? Tanyanya dalam hati. “Kapan kau akan pulang? Toko sedang ramai. Banyak barang yang datang dan harus disusun.” , katanya di seberang panggilan. Ia berbohong. Padahal kenyataannya, toko ibunya sedang biasa saja, tidak begitu ramai seperti yang ia katakan. Terlihat hanya ada tiga orang saja yang berbelanja saat ini. Inilah tantangan yang Adelia hindari. Perdebatan antara rasa empati dan juga keinginan hatinya sangat bertentangan. Empatinya selalu tidak tega dan tidak ingin orang lain kesulitan karena dirinya. Sedangkan keinginan yang saat ini muncul dalam benaknya adalah ingin menjauh sejenak dengan orang - orang di rumah, kecuali neneknya. Tentu yang Adelia maksud adalah Dira dan keluarganya. Sejak kepergian kedua orangtuanya, ia merasa keluarga Dira selalu mengambil apapun yang bisa mereka ambil darinya. Awalnya ia mengutuk dirinya sendiri dengan label ‘tidak tahu terima kasih’ karena telah berpikiran negatif tentang keluarga Dira yang sudah mau berbaik hati mengurusnya. Tetapi semenjak ia mengetahui soal rumah peninggalan orangtuanya yang ia jadikan jaminan pinjamannya pada bank, saat itulah ia menyadari intuisinya tidaklah salah selama ini. “Aku tidak bisa,” , kata Adelia, ‘Aku.. Masih tidak bisa bertemu dengan ibumu.” Rangga yang tak begitu jauh dengan Adelia, telinganya bergerak seakan - akan sebuah radar yang langsung merespon begitu mendeteksi ada sinyal yang masuk dalam jangkauannya. Begitu juga dengan Rangga yang mendekat perlahan untuk mencuri dengar dengan berpura - pura seperti sedang membetulkan posisi meja yang ada tepat di belakang Adelia. “Aku masih belum berani untuk bertemu dengan ibumu. Sungguh, meskipun itu bukan yang pertama bagiku.” , tambah Adelia seraya menggesek - gesekan kuku ibu jari dengan kuku jari telunjuknya tanda dirinya tengah gugup saat ini. Sementara itu, di belakang Adelia, Rangga terkejut mendengar kalimat Adelia. Ibu? Siapa? gumam Rangga. “Maaf, aku tetap tidak bisa hari ini. Aku juga melakukannya seorang diri kemarin, kau juga pasti bisa.” Dira pun memutuskan teleponnya secara sepihak, sedangkan Adelia hanya bisa menghela nafas berat. “Ada apa?” , tanya Rangga. Ya, Rangga mungkin terlihat seperti orang yang suka ikut campur. Tetapi ia hanya ingin memastikan apakah semuanya baik - baik saja, atau ada sesuatu yang terjadi dengan Adelia. Ia ingin tahu semuanya semua tentangnya. Dan semua yang terjadi pada Adelia, Rangga ingin terlibat di dalamnya, seolah - olah seperti melihat sebuah danau yang jernih airnya, yang menghipnotisnya untuk menceburkan diri padanya serta menyelam lebih dalam. “Bukan apa - apa.” , kata Adelia menghindar. Ia teringat saat Rangga melihatnya yang baru saja dipukuli oleh bibinya. Jika bisa, ingin rasanya ia menghapus ingatan Rangga pada saat itu agar ia tidak perlu merasa tidak enak seperti ini untuk bicara padanya. Di antara semua orang, Adelia tidak mengerti mengapa harus Rangga yang mengetahui hal itu. Seolah - olah Rangga adalah orang yang dikirim untuknya, hanya saja ia masih belum mengerti untuk apa. Itu menjadi sebuah pertanyaan lain yang hanya bisa dijawab oleh sang waktu. Rangga tidaklah sebodoh itu untuk langsung percaya begitu saja dengan jawaban Adelia karena kenyataannya sorot mata dan raut wajah Adelia tidak menunjukkan apa yang bibirnya katakan. Walaupun begitu, Rangga tetap memilih untuk menghargainya dengan berpura - pura mempercayai jawaban tersebut. Hanya dalam waktu sepuluh menit, semua meja - meja dan bangku sudah kembali ke tempatnya masing - masing. Kali ini mereka selesai dua kali lebih cepat dari sebelumnya saat Adelia melakukan semuanya sendiri. Mereka berdiri di depan kelas melihat hasil kerja keras mereka dengan wajah puas seakan - akan telah melakukan pekerjaan besar. “Kerja bagus! Kita melakukannya dengan baik!” , ujar Rangga bersemangat. Ia mengulurkan tangan kanannya yang mengepal pada Adelia untuk melakukan fist bump atau adu kepalan tangan. Adelia mengerti kode tersebut, tetapi ia merasa terlalu gugup untuk melakukannya. Sebab ini adalah pertama kalinya baginya setelah sekian lama. Dilihatnya Rangga tetap menunggu untuk dibalas kepalan tangannya, Adelia pada akhirnya memberanikan diri untuk melakukan hal yang sama. Boom. Ini adalah adu kepalan tangan pertamanya dengan Rangga. Keduanya tersenyum senang hanya dengan melakukan hal itu. Seperti semua kerja keras mereka tadi sudah terbayarkan dengan lunas. Tanpa Rangga ketahui, ketika buku - buku tangan Adelia menyentuh buku - buku tangan Rangga tadi, ia merasa ada hantaran listrik kebahagiaan yang menghilangkan semua kegundahan yang ia rasakan sebelumnya. Ini menyenangkan, hati kecil Sora melompat girang. “Aku tidak menyangka, hanya membereskan seperti ini saja cukup membuat pinggang terasa pegal.” , ujar Rangga seraya menggerakkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan. Tanpa ia duga sebelumnya, terdengar suara ‘krek’ setiap kali Rangga menggerakkan pinggangnya seolah - olah tulang - tulang pinggangnya remuk. Adelia terkejut mendengar suara itu, begitu juga dengan Rangga. Mereka saling bertatapan dengan ekspresi wajah terkejut dan tertawa. Tidak terasa hari sudah semakin sore. Langit yang tadinya berwarna jingga terang, kini sudah menjadi jingga kemerahan. Hanya tinggal beberapa puluh menit saja untuk warna jingga tersebut lenyap berganti dengan gelapnya malam. “Sepertinya kita harus pulang sekarang.” , kata Rangga melihat jam yang melingkar pada tangannya. Spontan Adelia menatap langit di luar, “Kau benar.” , katanya dengan raut wajah menerawang sedih. Beruntung waktu mereka pulang sama seperti waktu bubarnya adik kelas mereka yang hari ini pulang lebih lambat karena tugas praktek tambahan dari guru mereka. Itu adalah suatu kebetulan bagus lainnya, karena setidaknya tidak akan ada yang menuduh mereka macam - macam. Tidak tahu apa jadinya jika mereka berdua tertangkap basah sebagai satu - satunya siswa dan siswi yang belum pulang. Mereka berbaur dengan adik - adik kelas mereka yang berhamburan keluar. Dilihatnya tidak ada yang berjalan dengan tenang. Mereka semua berjalan dengan terburu - buru ingin segera sampai di rumah mereka, terutama mereka yang sudah ditunggu oleh jemputan yang datang. Hanya Rangga dan Adelia saja sepertinya yang berjalan dengan santai. Rangga berjalan tepat di sisi jalan raya sedangkan Adelia berjalan di sampingnya. Melihat betapa bersemangat dan tidak ada santainya adik - adik kelasnya, Rangga tidak bisa tenang fokus melihat ke depan saja, matanya awas melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Sejak mereka keluar dari kelas tadi, tidak ada satupun yang bicara di antara mereka berdua. Rangga sibuk memperhatikan sedangkan Adelia gundah dipenuhi oleh rasa yang bercampur aduk dalam hatinya. Rasanya ia enggan untuk pulang hari ini. Memang bukan pertama kalinya ia merasa enggan untuk pulang tetapi untuk hari ini, rasa enggan itu lebih besar dari sebelumnya. Dari arah belakang Adelia, tiga orang laki - laki berlari kejar - kejaran satu sama lain dengan gaduh. Rangga melihat mereka dan was - was. Benar saja, salah satu dari mereka bahkan berlari sambil melihat ke belakang ke arah temannya yang tengah mengejarnya. Ia tidak melihat ke depan dimana ada Adelia di jalurnya. Rangga yang menyadari hal itu, langsung menarik lengan Adelia mendekat padanya. Adelia yang tengah termenung itu, sontak terkejut ketika tangan Rangga mencengkram lengannya dan menariknya. Rasanya kejadiannya cepat sekali. Adelia bahkan masih tidak mengerti apa yang terjadi. “Lihat - lihat kalau sedang lari!” , teriak Rangga pada tiga orang laki - laki tadi. Tanpa ia sadari tangannya masih memegangi lengan Adelia yang sekarang sudah di sampingnya. Detak jantung Adelia berdegup dengan begitu cepat saat itu juga. Hanya saja ia tidak tahu pasti apa penyebabnya, mungkinkah karena gerakan tiba - tiba tadi atau karena Rangga. Matanya melihat pada wajah Rangga yang terlihat begitu berbeda dengan sebelumnya. Kini rahangnya terlihat mengeras dan saat berteriak tadi terdengar begitu tegas. Layaknya seorang ksatria. Hati kecil Adelia berteriak kegirangan terpesona karena hal itu. “Kau tidak apa - apa?” , tanya Rangga beralih pada Adelia. Yang ditanya diam mematung di tempatnya masih berusaha mengembalikan dirinya kembali kepada kenyataan dan bukannya berdiskusi dengan hati kecilnya, “I-iya, aku baik - baik saja.” Rahang Rangga kembali melemas, bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman yang menunjukkan kelegaan pada wajahnya, “Syukurlah.” Adelia tidak menjawab lagi. Matanya menatap tangan Rangga yang masih di lengannya, membuat Rangga ikut melihat hal itu juga dan langsung menarik tangannya dari sana. “Maaf. Aku tidak bermaksud.” Tawa kecil keluar dari bibir Adelia, “Tidak apa.” , katanya dan melanjutkan kembali langkahnya. Kali ini ia berjalan di jalur yang sama dengan Rangga, atau lebih tepatnya ia berjalan di depan Rangga sekarang. Lembut sekali, gumam Rangga dalam hatinya. Ia masih mengingat betapa lembutnya lengan Adelia tadi. Ia menatap tangannya dan kemudian menatap Adelia yang berjalan di depannya. Senyum di wajahnya semakin tinggi dan ritme jantungnya kembali bersemangat seperti tadi saat ia melihat Adelia yang sedang menarikan balet. Mereka melanjutkan langkah mereka tanpa bicara lagi. Adelia berjalan dengan santai di depan Rangga dengan wajah tersipu mengingat kejadian beberapa saat lalu dan juga yang terjadi sejak pagi tadi. Ia terus - terusan mengalami insiden dengan Rangga. Begitu juga dengan Rangga, berjalan dengan irama langkah yang sama dengan Adelia meskipun ia bisa mengambil langkah lebih lebar dan lebih cepat. Ia terus - terusan menatap Adelia dengan senyum hangat terlukis di wajahnya. Rasanya ia merasakan sesuatu yang berbeda pada gadis yang berjalan di depannya ini. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sesuatu yang aneh dari dalam dirinya. Perasaan yang membuat matanya tidak bisa melepaskan pandangannya sedetikpun darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN