BAB KEDELAPAN : SALAH KIRA (part 1)

1410 Kata
Banyak pertanyaan menyeruak di kepala Adelia yang merasa malu. Belum pernah ia memperlihatkan penampilan baletnya kepada orang lain sejak terakhir kali ia menunjukkannya kepada ibunya sekitar dua tahun yang lalu. Tidak hanya Adelia, Rangga juga ikut terkejut melihat Adelia yang tiba - tiba melihat ke arahnya, menyadari kehadirannya. Seharusnya Rangga sudah menduga hal ini akan terjadi, namun kenyataannya, ia benar - benar tidak siap untuk menjawabnya. Melihat tatapan Adelia ke arahnya, membuatnya bertanya - tanya apa yang Adelia pikirkan tentangnya. Apakah ia terlihat seperti seorang messum yang suka mengintip gadis - gadis? Kenyataannya tidak seperti itu. ini adalah pertama kalinya Rangga melakukan hal seperti ini dan itu pun bukan atas dasar alasan yang tidak senonoh. “Sejak kapan.. kau berdiri di sana?” , tanya Adelia dengan wajah sedikit panik. Wajah panik Adelia nampak begitu cantik bagi Rangga. Banyak anak rambut Adelia yang mencuat keluar dan ada juga yang menangkup pipi lembut itu. Sampai - sampai Rangga tidak bisa memikirkan jawaban yang bagus untuk menjawab pertanyaan yang Adelia ajukan padanya. “Aku, aku tidak bermaksud apa - apa. Sungguh. Aku tidak berniat jahat padamu meskipun tadi itu indah sekali--” Baik Adelia maupun Rangga sama - sama terperanjat dengan kalimat yang baru saja Rangga ucapkan. Bahkan Adelia merespon dengan segera meletakkan kedua tangannya menutupi dadanya seolah - olah ingin melindungi auratnya dari pandangan Rangga. “Tidak, tidak! Maksudku.. Bukan indah yang seperti itu,” , Rangga tergagap. Dalam hatinya ia tahu bahwa dirinya pasti sudah dianggap orang messum yang sukanya berpikiran kotor. “Tidak. Bukan tubuhmu, tapi, ya tubuhmu memang indah. Tapi maksudku, itu, gerakan - gerakanmu, tadi sangat indah, maksudku, posemu, ah tidak!” , Rangga menggaruk kepalanya frustasi. Ia kesal sendiri pada dirinya yang terus mengucapkan kata - kata yang malah semakin menekankan bahwa dia adalah seorang yang messum. Jika bisa, Rangga ingin langit runtuh menimpanya saat ini juga. Tidak disangka, Adelia malah tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanannya melihat kegugupan Rangga yang berusaha menjelaskan alasan keberadaannya di sana, tetapi yang terus keluar dari mulutnya hanyalah pendapatnya tentang penampilan Adelia tadi. Hal itu membuat Adelia tersipu malu. Belum pernah ada yang mengatakan hal seperti itu padanya. Sejujurnya Adelia sudah tahu, meskipun ia tidak mengerti mengapa, hanya saja Adelia merasa Rangga ini adalah laki - laki baik - baik dan tidak akan melakukan hal seperti mengintip seorang gadis. Dan Adelia pun di awal tidak menanyakan alasan Rangga berada di sana, ia hanya menanyakan sejak kapan laki - laki itu berdiri disana. Rangga berhenti. Ia heran melihat Adelia yang tertawa, “Mengapa kau malah tertawa?” , tanya Rangga penasaran. Apakah dirinya baru saja mengatakan sesuatu yang lucu sebelumnya? pikir Rangga mencari - cari jawabannya sendiri. “Tidak. Kau yang lucu.’ kata Adelia. Tawa yang keluar dari bibir mungil Adelia menular pada Rangga. Dia ikut terkekeh dengan jawaban Adelia. Tepatnya. mereka tertawa di tempat mereka berdiri masing - masing. Angin dari luar bertiap ke dalam ruang kelas, mengisi ruang yang ada di antara mereka. Seakan menjadi teguran yang menyadarkan mereka, sesaat setelah angin yang meniup tirai - tirai yang ada disana, keduanya sama - sama terdiam dengan canggung. Rangga melihat tumpukan bangku dan juga meja yang ada di belakang Adelia, “Kau yang melakukan semua itu?” , tanyanya seraya menunjuk dengan matanya pada tumpukan tersebut. Adelia berbalik untuk melihat apa yang Rangga maksud dan tersenyum kecut malu. “Iya. Tapi jangan khawatir, aku akan membereskannya nanti. Tenang saja.” “Aku akan membantumu.” , kata Rangga dengan tersenyum. Belum mendapatkan jawaban dari Adelia, Rangga melangkahkan kakinya begitu saja melewati Adelia dan langsung menuju ke tumpukan meja. Sejujurnya memang inilah yang sedang Adelia butuhkan, seseorang untuk membereskan semua itu. Sebab, akan memakan banyak waktu jika ia sendiri yang melakukannya. “Kau sudah selesai ‘kan?” , tanya Rangga, “Kita harus selesaikan ini sebelum penjaga sekolah melakukan patroli. Kau tahu kan, betapa galaknya orang tua itu?” Adelia mengangguk dengan cepat mengiyakan apa yang dikatakan Rangga. Penjaga sekolah yang sudah berumur setengah abad itu memang terkenal keras, bahkan ia tidak segan - segan untuk mengunci mereka yang terlambat di luar gerbang sekolah dan baru akan membukakannya ketika guru mereka mengkonfirmasi untuk mengizinkan mereka masuk. Adelia tentu tidak ingin hal serupa terjadi padanya jika ketahuan telah membuat ruang kelasnya jadi seperti ini. Entah teguran atau hukuman macam apa yang akan diberikannya nanti jika ia ketahuan. Adelia pun bergegas memasukkan bagian bawah seragam kembali ke dalam roknya, ia tidak ingin orang lain yang melihatnya, berpikir dirinya telah berbuat hal yang tidak - tidak dengan Rangga. Apalagi jika tertangkap basah oleh penjaga sekolah, itu adalah sebuah bencana yang lain. Rangga sebagai lelaki, memilih untuk mengambil pekerjaan yang lebih berat, yaitu memindahkan semua meja - meja kembali ke tempat asalnya. Sedangkan Adelia memindahkan bangku - bangkunya. Mereka melakukan semuanya dengan tenang dan tanpa ada pembicaraan lagi. Sesekali Rangga memperhatikan Adelia saat Adelia sedang tidak melihatnya. Diam - diam senyum malu - malu terlukis pada wajahnya. Begitu juga dengan Adelia. Sesekali mencuri - curi kesempatan untuk menatap Rangga saat Rangga sedang sibuk menggeser meja. Di tengah kesibukan mereka dengan bagian mereka masing - masing, tiba - tiba saja ponsel Adelia yang tergeletak di atas mejanya berdering mengejutkan keduanya. Adelia sampai - sampai memegangi d**a kirinya saking terkejutnya dengan suara dering teleponnya sendiri yang membuat jantungnya seakan melompat dari tempatnya. “Ah itu ponselku.” , kata Adelia. Rangga yang sempat terhenti saat sudah mulai mengangkat bangku - bangku kembali melanjutkan memindahkan ke tempatnya semula. Tidak ingin menarik perhatian orang lain dengan nada dering ponselnya yang terdengar begitu berisik di ruang kelas yang sepi ini, Adelia bergegas menghampiri mejanya dan melihat siapa yang menelponnya. Rupanya itu adalah panggilan dari Dira. Mengingat pembicaraan dirinya dengan Dira pagi tadi membuatnya merasa tidak enak untuk mengangkat panggilan tersebut, hingga pada akhirnya panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Tetapi bukan berarti itu sudah berakhir. Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berdering dari orang yang sama. Kali ini Adelia memilih untuk mengangkat panggilan tersebut, takut - takut ada sesuatu yang penting terjadi. “Halo?” “Kau di mana?” , tanya Dira di seberang sana dengan nada bicara datar. Sebelum menjawab Adelia menoleh pada Rangga seolah meminta Rangga untuk memberitahunya apa yang harus ia katakan untuk menjawab pertanyaan Dira. Rangga juga sedang melihat ke arahnya, tetapi ia tidak bisa menangkap maksud dari tatapan Adelia. “Aku di sekolah.” , jawab Adelia setelah jeda beberapa detik untuk melakukan rapat darurat dalam otaknya, mendiskusikan mana yang lebih baik antara menjawab jujur atau berbohong saja. Dan ya, kejujuran selalu menang. Dira yang tengah menyusun kaleng - kaleng sarden dari kardus ke rak, tangannya terhenti di udara kala mendengar jawaban dari Adelia. Sedang apa dia masih di sekolah jam segini? Tanyanya dalam hati. “Kapan kau akan pulang? Toko sedang ramai. Banyak barang yang datang dan harus disusun.” , katanya di seberang panggilan. Ia berbohong. Padahal kenyataannya, toko ibunya sedang biasa saja, tidak begitu ramai seperti yang ia katakan. Terlihat hanya ada tiga orang saja yang berbelanja saat ini. Inilah tantangan yang Adelia hindari. Perdebatan antara rasa empati dan juga keinginan hatinya sangat bertentangan. Empatinya selalu tidak tega dan tidak ingin orang lain kesulitan karena dirinya. Sedangkan keinginan yang saat ini muncul dalam benaknya adalah ingin menjauh sejenak dengan orang - orang di rumah, kecuali neneknya. Tentu yang Adelia maksud adalah Dira dan keluarganya. Sejak kepergian kedua orangtuanya, ia merasa keluarga Dira selalu mengambil apapun yang bisa mereka ambil darinya. Awalnya ia mengutuk dirinya sendiri dengan label ‘tidak tahu terima kasih’ karena telah berpikiran negatif tentang keluarga Dira yang sudah mau berbaik hati mengurusnya. Tetapi semenjak ia mengetahui soal rumah peninggalan orangtuanya yang ia jadikan jaminan pinjamannya pada bank, saat itulah ia menyadari intuisinya tidaklah salah selama ini. “Aku tidak bisa,” , kata Adelia, ‘Aku.. Masih tidak bisa bertemu dengan ibumu.” Rangga yang tak begitu jauh dengan Adelia, telinganya bergerak seakan - akan sebuah radar yang langsung merespon begitu mendeteksi ada sinyal yang masuk dalam jangkauannya. Begitu juga dengan Rangga yang mendekat perlahan untuk mencuri dengar dengan berpura - pura seperti sedang membetulkan posisi meja yang ada tepat di belakang Adelia. “Aku masih belum berani untuk bertemu dengan ibumu. Sungguh, meskipun itu bukan yang pertama bagiku.” , tambah Adelia seraya menggesek - gesekan kuku ibu jari dengan kuku jari telunjuknya tanda dirinya tengah gugup saat ini. Sementara itu, di belakang Adelia, Rangga terkejut mendengar kalimat Adelia. Ibu? Ibu siapa? gumam Rangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN