BAB KEDELAPAN : SALAH KIRA (part 4)

1861 Kata
Sejak tadi Dira tidak berhenti memeriksa ponselnya setiap lima menit sekali. Saat melayani pembeli yang hendak melakukan pembayaran pun ia menyempatkan diri untuk memeriksa ponselnya. Tidak hanya itu, bahkan saat ia sedang memasukan barang - barang ke dalam rak pun ia sesekali memeriksa ponselnya. Ada sebuah kabar yang ia tunggu - tunggu sejak tadi, namun tak kunjung datang. Ibunya sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi ia tetap melakukannya. Dira tidak menggubris perkataan ibunya. Hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Sampai malam saat toko tutup, Adelia masih tak kunjung datang. Selagi ibunya mengunci toko, Dira sudah menunggu di motornya sambil terus mencoba menelpon Adelia. Sebab sejak beberapa menit yang lalu, ia tidak bisa menghubungi Adelia. “Maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan--” Tut. Dira langsung menutup panggilannya. Ia terus mendapatkan jawaban yang sama sejak tadi. “Ayo pulang.” , kata ibunya menginterupsi. Dira tidak mengerti mengapa ibunya bisa tetap merasa tenang setelah semua yang ia lakukan pada Adelia kemarin. Walaupun begitu, ia tetap diam saja. Dan hanya melakukan apa yang ibunya suruh. Sesampainya di rumah, ibunya masuk terlebih dahulu sedangkan Dira harus mendorong motornya masuk. Saat ia turun dan melepas helmnya, matanya menangkapnya Adelia yang baru masuk gerbang. Mereka berpapasan dengan canggung. Adelia menatap Dira beberapa saat menunggu jika ada sesuatu yang ingin Dira katakan padanya. Ada banyak yang ingin Dira tanyakan pada Adelia saat ini. Ia ingin mengungkapkan betapa khawatirnya ia pada Adelia sejak tadi. Tetapi semua kata - kata itu tercekat dalam tenggorokannya, tidak sampai tersampaikan langsung pada Adelia melalui mulutnya. Setelah beberapa saat mereka hanya saling bertatapan tanpa ada yang bicara, Adelia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju rumahnya yang tepat berada di samping rumah Dira. Ia melewati Dira begitu saja tanpa menoleh lagi padanya. Pandangan Dira mengikuti gerak bayang Adelia yang lewat di belakangnya. “Kau sudah makan?” , tanya Dira pada akhirnya membuka suaranya. Adelia berhenti dan berbalik. Belum sempat ia menjawab, Dira sudah kembali berbicara, “Mampirlah untuk makan malam.” , katanya. Tanpa menunggu respon dari Adelia, Dira langsung mendorong motornya masuk ke dalam rumah meninggalkan Adelia yang masih berdiri di tempatnya. Adelia yang sudah terlalu lelah hari ini, tidak ingin menanggapi ucapan Dira dan melanjutkan langkah kakinya menuju rumahnya. “Aku pulang nek~” , ujar Adelia dengan semangat yang dipaksakan begitu ia membuka pintu rumahnya. *** Pagi itu Adelia terbangun oleh keributan yang ada di rumah sebelah. Itu adalah suara bibinya yang berteriak - teriak. Suara teriakan yang adalah bentakan kemarahan bibinya, begitu keras terdengar sampai tiga rumah di sekitarnya. Sora yang kamarnya berseberangan langsung dengan rumah bibinya itu, membuat suara itu terdengar begitu jelas. Neneknya yang tuli pun sampai terbangun oleh suara bising tersebut. “Ada apa itu, Del?” , tanya neneknya yang baru saja masuk ke kamarnya. Adelia mengangkat kepalanya dengan mata yang masih tertutup, “Hm? Adel juga tidak tahu, nek.” , katanya yang masih setengah sadar. Dalam satu bulan ini terhitung sudah dua kali bibinya berteriak pagi - pagi seperti ini. Namun kali ini berlangsung lebih lama dari sebelumnya. Adelia dan neneknya pun khawatir, mereka bergegas pergi menengok keadaan di rumah sebelah. Para tetangga - tetangga sekitar yang mendengar keributan itu tidak ada yang berani untuk melihat lebih dekat. Memang bibinya sudah terkenal sebagai orang yang berperangai kurang baik. Tetapi walaupun begitu, tokonya tidak pernah sepi dan selalu menjadi pilihan bagi warga di sekitar untuk berbelanja kebutuhan sehai - har, sebab toko bibinya memiliki harga yang paling murah dibandingkan dengan toko - toko lain yang ada di sekitar sini. Adelia masih setengah ngantuk, matanya belum terbuka sepenuhnya, rambutnya acak - acakan, dan juga sandal yang dipakainya pun bukan pasangannya, ia tetap pergi ke rumah bibinya yang hanya keluar dari pintu samping rumah Adelia, ia sudah bisa melihat pintu dapur bibinya yang terbuka. Adelia terperanjat, ia langsung sadar dari setengah tidunya begitu melihat wajah murka bibinya yang begitu menyeramkan. Bahkan neneknya pun yang notabenenya adalah ibu dari bibinya, tidak berani untuk mendekat ataupun melerai pertengkaran bibinya. Saat Adelia masuk, bibinya tengah berkacak pinggang seraya membentak - bentak suaminya yang tengah makan dengan tenang. Adelia tidak habis pikir, bagaimana mungkin pamannya itu bisa makan dengan tenang seolah - olah tidak ada apa - apa yang terjadi, padahal jelas - jelas bibirnya itu berteriak dengan begitu keras, sampai - sampai Adelia saja ingin menutup telinganya. Adelia tahu betul paman satu - satunya miliknya itu sedang menahan diri. Meskipun Adelia sudah mengetahui bagaimana karakter pamannya yang memang dikenal seperti air sungai yang dalam, ia tidak habis pikir betapa kuatnya pamannya itu menahan semua ocehan - ocehan ini sejak tadi, dan hanya makan dengan tenang. Adelia membayangkan jika dirinya yang berada di posisi itu, mungkin dirinya bahkan tidak akan berselera hanya untuk melihat makanan diatas meja saja. “Aku sudah bekerja keras dari pagi sampai malam mengurus toko, dan kau yang kerjanya hanya berdiri, duduk, dan membuka gerbang untuk orang yang masuk, tidak bersyukur memiliki istri yang pekerja keras seperti aku! Beraninya kau bermain di belakangku!” , bentak bibinya yang sudah berkacak pinggang seraya menunjuk - nunjuk suaminya dengan jari telunjuk kanannya. “Ini sudah kedua kalinya! Kau tidak akan bisa mengelak lagi! Dasar laki - laki tidak tahu diuntung!” , tekan bibinya tersebut. Adelia dan juga neneknya mundur sedikit. Mereka bisa merasakan aura tidak enak saat mendengar perkataan bibinya barusan. Kata - kata terakhirnya itu menurut pandangannya adalah kata - kata yang sangat menyakiti harga diri seseorang. Benar saja, ayah Dira, pamannya itu meletakkan sendoknya kembali ke atas meja dengan kasar. “Kau sudah selesai dengan ocehanmu?!” , katanya dengan pelan namun penuh penekanan. Tangannya menggenggam erat di atas meja. Terlihat jelas ia tengah berjuang menahan emosinya untuk tidak berbuat sesuatu yang kasar pada istrinya itu. “Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak berbohong! Kau berselingkuh! Kau selingkuh di belakangku!?" , teriak bibinya. Merasa sudah muak terus dituduh berselingkuh, paman Adelia berdiri seraya menggebrak meja dengan tangannya, “Aku tidak berselingkuh!” Adelia dan neneknya yang sejak tadi masih berdiri di dekat pintu dapur, saling mendekat nyaris berpelukan karena takut. Beruntung neneknya Adelia agak tuli, setidaknya ia tidak akan terkena serangan jantung karena kaget. Di tengah situasi panas tersebut, Dira keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai celana boxer dan juga handuk yang ia sampirkan di lehernya. Suasana yang ada berubah menjadi hening. Bibi dan paman Adelia yang adalah kedua orangtua Dira berhenti berteriak. Adelia beralih menatap Dira dengan tatapan -kau ke mana saja? Lihat apa yang terjadi dengan orangtuamu- Dira juga melihat kehadiran Adela dan juga neneknya di sana. Ia bisa menangkap apa yang ingin Adelia katakan padanya hanya melalui sorot matanya, tetapi ia menggubrisnya dan berlalu meninggalkan mereka semua untuk kembali ke kamarnya. Adelia melongo tidak percaya. Bagaimana bisa Dira tidak peduli dengan apa yang terjadi pada kedua orangtuanya yang bertengkar tepat di depan matanya. Dengan hal ini Adelia semakin yakin Dira membawa semua sifat ayahnya. Satu - satunya yang ia warisi dari ibunya hanyalah rambut dan matanya. Rambut Dira sama seperti Adelia yang hitam, halus, dan lurus mati. Sedangkan matanya tidak terlalu besar sama seperti Adelia. Hal itu wajar terjadi. sebab Ayah Adelia dan juga Ibu Dira pada dasarnya adalah kakak beradik. Kembali ke pertengkaran tadi, dari yang Adelia bisa tangkap tentang apa yang terjadi, rupanya keributan itu disebabkan pada baju kerja ayah Dira terdapat tapak bekas bibir dengan lipstik merah pada bagian d**a kiri atasnya. Sebelumnya ibu Dira juga pernah memergoki suaminya yang tercium bau parfum seorang wanita muda dari pakaiannya. Itu sebabnya bibinya menuduh suaminya itu telah berselingkuh darinya dan marah besar. Karena pada kasus yang pertama saat ia mendapati aroma parfum badan suaminya tersebut pun, suaminya tidak mengaku dan mengatakan ini adalah parfum dari seseorang yang tidak sengaja ia temui dan tertinggal pada bajunya. Pada awalnya bibi percaya saja, namun ketika ia menemukan bekas bibir dengan lipstik merah pada baju suaminya beberapa saat lalu, ia tidak bisa lagi menahan dirinya. Dan lagi - lagi suaminya itu tidak mengakui. Ia terus berkata dirinya tidak berselingkuh. Berkali - kali pun suaminya tersebut mengatakan hal yang sama, bibi sudah tidak bisa percaya lagi. Pikirannya masih kacau. Hutang yang ia miliki pada bank saja belum selesai, ditambah lagi dengan suaminya yang malah menambah stress pada dirinya. Hal itu membuatnya berada dalam tahap emosi yang tidak bisa terkendali lebih - lebih daripada sebelumnya. Adelia merasa bersyukur bibinya itu mendapatkan seorang pria yang begitu tenang dan penyabar seperti pamannya. Tidak terbayangkan olehnya bagaimana jika bibinya bertemu dengan pria yang memiliki temperamen sama seperti bibinya, mungkin dua rumah itu sudah menjadi puing - puing. Pada akhirnya, pertengkaran itu berakhir dengan bibinya yang duduk tersungkur seraya menangis. Nenek Adelia segera menghampiri putrinya tersebut dan memeluknya. Sedangkan paman Adelia memilih untuk pergi keluar menenangkan diri. Adelia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan pada saat ini. Pergi bicara dengan Dira agar Dira mengubah sikapnya, ikut memeluk bibinya yang suka memukulinya, kembali ke rumahnya, atau pergi mengambil piring dan sarapan saja? Tentu Adelia tidak akan memilih opsi yang terakhir jika ia ingin tetap hidup. Adelia memilih opsi yang pertama. Setidaknya itu adalah pilihan terbaik yang bisa ia lakukan daripada kembali ke rumahnya dan tidak membantu apa - apa. Akhirnya setelah menguatkan mental dan memberanikan diri, Adelia pergi menuju kamar Dira yang tepat berada di seberang tempatnya berdiri sekarang. Setiap kakinya melangkah, Adelia teringat dengan sikap dingin Dira padanya akhir - akhir ini. Hal itu membuat langkahnya terasa semakin berat saat dirinya sudah semakin dekat menuju pintu kamar Dira. Skenario yang mungkin akan terjadi nantinya, sudah terputar dalam kepalanya. Dan itu bukanlah suatu skenario yang bagus. Hal itu malah membuatnya semakin ragu dan berpikir kembali ke rumahnya mungkin adalah pilihan terbaik. Meskipun terlihat ia tidak membantu apapun, setidaknya ia tidak akan menambah masalah dan dirinya tidak perlu bersusah payah menghadapi manusia es itu. Siapa yang menyangka, apa yang Adelia pikirkan tidak sejalan dengan apa yang ia lakukan. Disinilah ia berada sekarang, tepat di depan pintu kamar Dira. Adelia menelan ludahnya berat saat merasakan aura yang timbul dari dalam kamar Dira. Pintu di hadapannya pun terasa semakin membesar menahan semua aura yang tidak menyenangkan itu. “Ayo Adelia, hanya tinggal beberapa ketukan, bicara sebentar, lalu kita pergi. Iya. Benar begitu.” , ujar Adelia pada dirinya sendiri, mencoba untuk mensugesti. Adelia mengangkat tangan kanannya yang sudah mengepal setinggi dadanya, bersiap untuk mengetuk pintu. “Tidak! Aku tidak bisa!” , teriak Adelia dalam hatinya ingin mengurungkan kembali niatnya seraya memejamkan matanya kuat - kuat berusaha untuk melawan dirinya sendiri. Belum sempat Adelia membuka matanya, tiba - tiba pintu kamar Dira terbuka. Adelia segera membuka matanya saat angin yang membawa aroma parfum maskulin familiar menyapa hidungnya. Tangan kanannya yang mengepal masih mengambang di udara. Di hadapan Adelia, Dira berdiri menjulang sudah dengan seragam sekolahnya. Berbeda dengan Adelia yang masih memakai baju yang ia kenakan saat tidur semalam dan juga wajah bangun tidurnya yang belum tersentuh air sama sekali. Adelia mendongak menatap Dira, sedangkan Dira sedikit menunduk menatap Adelia yang menatapnya dengan wajah terkejutnya. Ia melihat tangan kecil Adelia yang mengepal di udara terlihat seperti hendak melayangkan pukulan padanya. Tidak disangka, Dira malah meraih tangan Adelia dan menariknya membawanya masuk ke dalam kamarnya kemudian menutup pintunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN