Kejadiannya begitu cepat. Rasanya sedetik yang lalu Adelia masih berada di depan pintu kamar Dira, dan sekarang ia sudah berada di dalam kamarnya. Kamar Dira tidak lebih luas dari kamar Adelia, hanya saja barang yang ada lebih banyak dari barang - barang yang ada di kamar Adelia.
“Ada apa?” , tanya Dira berbalik setelah menutup pintunya.
Adelia berbalik menatap Dira. Jantung Adelia berdegup kencang, rasanya seperti masuk ke dalam kandang singa. Tidak ada tempat untuk lari untuknya. Ia mundur selangkah dari tempatnya berdiri saja sudah menabrak ranjang tempat tidur Dira.
“T--tidak ada.”
Dira mendekat pada Adelia dan meraih handuk yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Adelia menyingkir ke samping mengira Dira mendekat pada dirinya. Dira menatap Adelia dengan tatapan bingung, mengapa Adelia terlihat seolah - olah dirinya hendak berbuat sesuatu yang buruk padanya.
“Aku tidak berniat untuk melakukan apapun padamu.” , ujar Dira seraya memasangkan handuk pada gantungan baju dan menggantungkannya di belakang pintu.
Adelia terperanjat mendengar perkataan Dira seolah - olah Dira bisa membaca pikirannya, sekaligus malu karena ketahuan telah berpikir yang tidak - tidak.
“Iya, aku tahu.” , kata Adelia mengelak, “Orangtuamu..” , Adelia ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Orangtuaku kenapa?” , balas Dira cuek sambil memakai kaus kakinya.
Dahi Adelia mengernyit heran, “Kau tidak mendengarnya tadi?”
“Dengar apa?”
“Paman dan bibi bertengkar! Kau tidak mendengarnya? Sungguh?”
“Maksudmu ibuku yang terus mengomel dan mengoceh?”
Adelia memiringkan kepalanya sedikit. Ia penasaran mengapa Dira menganggapnya seperti itu. Memang sejak Adelia terbangun karena keributan tadi, yang terdengar hanya suara bibinya yang terus - terusan mengomel. Ia baru mendengar suara pamannya beberapa saat lalu sebelum keributan itu berakhir.
Melihat Adelia yang terdiam, Dira yakin perkataannya tadi pasti membuat sesuatu dalam diri Adelia berusaha melihat kejadian tadi dari sudut pandang yang lain, yaitu dari sisi ayahnya atau paman Adelia.
“Pamanmu-- maksudku ayahku, tidak berselingkuh.” , jelas Dira memberikan potongan puzzle lainnya dalam pikiran Adelia.
“Aku juga berpikir begitu.” , balas Adelia setuju.
Pandanhan Dira beralih pada Adelia, “Mengapa kau berpikir seperti itu?”
“Karena paman adalah orang yang baik. Kau tahu, kan? Paman memang tidak banyak bicara dengan orang lain sama sepertimu. Tapi aku yakin paman bukan orang yang jahat ataupun rendahan yang mau berselingkuh dengan wanita lain.” , jelas Adelia, “Sama seperti dirimu.”
Mendengar kalimat akhir Adelia yang menyebut dirinya, Dira malah mendecih.
“Kenapa? Apa ada yang salah dari perkataanku?”
Dira menggeleng, “Tidak ada. Sepertinya kau sudah mendapatkan apa yang kau mau.”
“Maksudmu?”
“Kukira kau ingin menanyakan kebenarannya? Tidak?” , tanya Dira beranjak berdiri setelah selesai dengan kaus kakinya.
Dahi Adelia mengernyit bingung, “Tidak, aku tadi--”
“Oh, kalau begitu,” , Dira membuka pintu kamarnya lebar - lebar, “Silahkan keluar.” , katanya.
‘Apa - apaan?!’ , tukas Adelia dalam hati.
sejak dulu Adelia tidak pernah bisa mengerti sikap sepupunya yang satu itu. Mereka sudah bersama sejak masih bayi. Walaupun sepupunya itu pernah masuk ke sekolah dengan asrama saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, jika dihitung maka kurang lebih sudah empat belas tahun mereka bersama - sama. Dan selama empat belas tahun itu, Adelia masih tidak bisa memahami Dira.
Semua tingkah laku dan sikap Dira padanya berubah total sejak mereka lulus dari sekolah dasar. Hubungan mereka pernah dekat saat kecil, sering main bersama dan Dira selalu menjadi ksatria pelindungnya yang senantiansa membela dan membalaskan jika ada anak - anak lainnya yang menangisi Adelia. Tetapi hubungan yang mulai merenggang sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar itu terus berlanjut hingga sekarang.
“Kau tidak bersiap untuk sekolah?” , tegur Dira pada Adelia yang hanya diam saja sejak tadi.
“Oh?” , pikiran Adelia masih dalam status memproses.
Bak disambar petir, Adelia terperanjat. Ia baru sadar dirinya sudah sangat terlambat melihat Dira yang sudah begitu siap dan hanya tinggal sarapan saja, sedangkan dirinya masih dalam baju tidurnya semalam.
“Aku terlambat!” , keluh Adelia seraya pergi keluar dari kamar Diara secepat yang ia bisa meninggalkan dira yang tersenyum kecil melihat tingkah Adelia.
Rangga sudah selesai dengan tali sepatunya, tetapi ia masih belum beranjak berdiri juga. Ia melepas ikatan tali sepatunya lagi dan kemudian memakainya kembali dengan simpul ikatan tali yang sama seperti sebelumnya. Hal itu terus ia lakukan berkali - kali seraya memeriksa jam di pergelangan tangannya seakan - akan sedang menunggu sesuatu.
ibunya yang sudah siap dengan blouse biru muda dan juga tas tangannya, keluar dari dalam rumah dan terkejut begitu mendapati putranya masih duduk di pinggiran teras depan rumah mereka, sibuk dengan tali sepatunya.
“Kamu kok belum berangkat juga, Rangga? Adikmu saja mungkin sudah sampai di sekolahnya sekarang. Apa yang kamu tunggu lagi? Apa kamu mau ibu antar sekalian ibu pergi ke kantor?” , tanya ibunya seraya mengunci pintu rumahnya.
Rangga selesai mengikat tali sepatunya dan melihat lagi pada jam tangannya. Kali ini ia beranjak berdiri dari duduknya, “Tidak perlu, bu. Aku berangkat.” , katanya.
“Eh? TIdak mau ibu antar saja?” , tanya ibunya dengan sedikit berteriak karena Rangga sudah sampai di pagar rumah.
Alih - alih menjawab dengan omongan, Rangga mengangkat tangan kanannya tinggi - tinggi dan melambaikannya dengan lambat, mengisyaratkan penolakannya.
Satu - satunya alasan mengapa ia melakukan hal itu adalah agar ia bisa naik bus yang sama dengan yang Adelia naiki. Sebelumnya ia selalu berangkat naik bus yang lebih awal, kali ini ia memilih untuk naik bus di jadwal selanjutnya dimana jika ia perhatikan, Adelia selalu naik jadwal bus yang satu itu. Kecuali Adelia memang berniat berangkat lebih awal atau lebih terlambat.
Hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima menit untuk Rangga sampai di tempat pemberhentian bus. Lima menit itu ia habiskan dengan berjalan santai, tentu akan berbeda lagi ceritanya jika ia berlari, sudah tentu akan memakan waktu lebih cepat dan juga akan lebih melelahkan.
Tidak lama setelah ia menginjakkan kaki di sana, bus menuju sekolahnya datang. Tetapi ia masih belum melihat kehadiran Adelia. Sesekali ia memeriksa ke arah Adelia datang, namun ia tak kunjung juga mendapati sosok yang ia nanti - nantikan itu muncul. Ia mulai ragu, apakah Adelia memang sedang dalam perjalanan kemari atau malah sudah sampai di sekolahnya karena berangkat lebih awal seperti beberapa hari yang lalu.
Keraguan itu Rangga jawab dengan memutuskan dirinya akan naik bus selanjutnya. Ia kembali mengeluarkan buku bacaannya dari dalam tas selagi menunggu. Namun rupanya, ia tidak benar - benar fokus membaca karena terus terpikirkan Adelia. Ia gelisah. Satu baris bacaan pun ia baca lebih dari tiga kali karena matanya tidak fokus melihat sudah sampai mana bacaannya.
Tak lama, busnya sudah datang lagi. Rangga kembali melihat ke arah datangnya Adelia namun masih belum mendapati Adelia datang berlari ke arahnya. Rangga berpikir mungkin Adelia datang lebih pagi seperti beberapa hari yang lalu saat ia mendapatkan jadwal piketnya hari tiu.
Tidak ingin menghabiskan waktunya menunggu dengan sia - sia, Rangga akhirnya memilih untuk naik bus yang baru datang ini saja dan menelan mentah - mentah kekecewaannya. Sebab, keinginan kecil dirinya yang ingin naik bus yang sma dengan Adelia gagal.
Di lain tempat, orang yang Rangga tunggu itu baru saja masuk ke kamar mandi dengan handuk di tangannya. Dalam waktu lima belas menit, Adelia sudah berlari keluar dari rumahnya dengan terburu - buru. Rambutnya masih basah sisa mandi singkatnya membuat dirinya tampak lepek.
Secepat apapun ia mencoba berlari, tetap tidak bisa mengejar bus yang dinaiki oleh Rangga. Meskipun begitu, ia tetap berlari menuju tempat pemberhentian bus. Dalam hatinya ia merasa jengkel pada Dira yang sudah jelas tahu ia akan terlambat, tetapi sama sekali tidak menawarkan bantuan sedikitpun untuk sekedar mengantarnya ke tempat pemberhentian bus ataupun jika ia mau ditumpangi sampai ke sekolah, tentu ia tidak akan terlambat. Jika Dira mau sedikit saja, berbaik hati padanya.
Sesampainya di tempat pemberhentian bus, Adelia duduk dengan pasrah menunggu bus selanjutnya yang merupakan dua jadwal kedatangan setelah jadwal bus yang biasa ia naiki. Jika begitu, artinya nantinya ia harus berlari sekuat tenaga agar bisa melewati gerbang sekolah sebelum bel berbunyi. Jika tidak, maka ia harus menerima kekejaman satpam penjaga sekolahnya yang ketegasannya tidak bisa dikalahkan oleh siapapun di sekolahnya, bahkan oleh kepala sekolah mereka sendiri.
Tanpa Adelia ketahui di seberang jalan tak jauh dari tempatnya menunggu bus, Dira lagi - lagi menunggu di atas motornya sambil sesekali melihat ke arah Adelia yang dilihatnya tengah menunggu dengan gelisah di tempat pemberhentian bus. Rupanya Dira sudah di tempatnya menunggu sejak beberapa saat lalu. Bahkan dari saat Rangga masih menunggu di tempat pemberhentian bus, dan hingga saat ini ia masih belum bergerak dari tempat pemantauannya. Padahal ia sendiri pun tahu dirinya bisa terlambat jika tidak pergi sekarang. Sebab keadaan jalan raya semakin siang maka akan semakin ramai, dan kemungkinan akan terjadi macet pun tidak dapat terhindarkan.
Tak lama, bus yang ditunggu - tunggu pun datang. Tetapi hal itu bukan berarti Adelia sudah bisa merasa lega, sebab tantangan yang sebenarnya masih menunggu di depan. Yaitu memaksimalkan kecepatan berlarinya agar setidaknya ia sudah berada di dalam gerbang sekolah sebelum bel sekolah berbunyi. Mau tidak mau ia harus memacu kekuatan kakinya dari tempat pemberhentian bus dekat sekolahnya hingga pintu gerbang sekolah. Adelia harus berpacu dengan suara bel sekolah yang selalu berbunyi tepat pukul delapan itu.
Beruntung bel tanda masuk semua kelas itu selalu berbunyi tepat pada waktunya. Sehingga Adelia bisa memperhitungkan berapa lama waktu yang masih tersisa dan juga tidak perlu khawatir bel tersebut akan berbunyi lebih awal.
Dira langsung memasukkan kunci motor kopling miliknya dan menyalakan mesin motornya. Begitu ia telah memastikan Adelia sudah naik ke dalam bus, ia menutup penutup kaca helmnya dan langsung melajukan motornya secepat yang ia bisa untuk mengejar waktu. Meskipun sikap Dira terlihat begitu tidak peduli dengan sekitarnya, namun ia tetap tidak ingin dikurung di luar gerbang sekolah oleh satpam penjaga sekolah. Tidak ada. Tidak ada murid di sekolahnya yang mau mengalami hal itu.
Dira dengan motor yang sudah bersamanya selama kurang lebih dua tahun itu, begitu mahir menyalip tiap kendaraan yang menghalangi jalurnya. Wajahnya yang tertutup kaca helm gelap tampak begitu tenang, tidak selaras dengan betapa gesit motornya menelusuri jalan raya dengan kecepatan yang lebih dari biasanya.