“Bukan apa - apa.” , dengan cepat Adelia menarik tangannya kembali agar Rangga tidak sempat untuk menahannya kembali.
Dengan canggung, Rangga pun menarik tangannya kembali. Ia baru menyadari tindakannya barusan tidaklah sopan tiba - tiba menanyakan hal seperti itu padahal mereka tidak mengenal satu sama lain dengan baik. Adelia kembali melanjutkan untuk men-scan barang - barang belanjaan Rangga.
“Totalnya jadi seratus empat puluh lima ribu.” , ucap Adelia sambil menarik kantung plastik berwarna merah berukuran besar untuk memasukkannya semua belanjaan Rangga ke dalamnya.
“Tunggu.” , kata Rangga.
Ia kembali ke lemari es berisi berbagai minuman dan juga yogurt yang terjaga dalam suhu dingin. Membuka pintu lemari es besar tersebut, ia meraih dua botol minuman yogurt dengan rasa buah peach dan kembali ke meja kasir dimana Adelia baru saja selesai memasukkan semua belanjaan titipan ibunya ke dalam kantung plastik besar.
“Ini juga mau disatukan saja?” , tanya Adelia menerima dua botol yogurt yang dingin itu untuk men-scan nya juga.
“Iya, satukan saja.”
PIP
“Semuanya jadi seratus enam puluh lima ribu.” , ujar Adelia seraya ikut memasukkan dua botol tersebut ke dalam kantung plastik.
Rangga mengeluarkan dompet lipat berwarna hitam mengkilap dari kantung jaket besarnya dan menarik dua lembar uang seratus ribu dari dalam dompet itu untuk kemudian diserahkan pada Adelia.
Setelah menerima uangnya, Adelia mengetikkan beberapa nominal uang pada komputernya yang kemudian sebuah mesin kecil mengeluarkan secarik kertas bon belanjaan yang dibeli setelah ia mengetikkan tombol enter.
Adelia merobek kertas tersebut dan membuka laci yang berisi uang, yang kemudian memberikan kertas bon tersebut beserta dengan uang kembalian, “Kembalinya tiga puluh lima ribu. Terima kasih sudah berbelanja.”
Rangga menerimanya dan memberi sebotol yogurt yang tadi pada Adelia dengan meletakkannya di atas meja, “Untukmu.” , katanya tidak banyak bicara. Ia langsung menerima uang kembalian juga bonnya dan pergi dari sana sambil membawa kantung belanjaannya tanpa berkata apa - apa lagi.
Adelia tertegun. Ia menatap punggung Rangga yang semakin menjauh. Ia masih menatapnya sampai Rangga berbelok ke kanan jalan depan toko. Bahkan, Rangga masih menyempatkan dirinya untuk melihat ke arah Adelia sekilas sebelum ia menghilang dari pandangan Adelia.
Adelia beralih menatap sebotol yogurt dingin yang pada luar botolnya mulai mengembun karena suhu ruangan lebih tinggi dibandingkan suhu dalam lemari es tempatnya berada sebelumnya. Ia tersenyum. Adelia tidak mengerti bagaimana orang asing yang hanya sebatas teman sekelasnya yang tidak pernah berbicara padanya bisa memperlakukannya lebih baik dibandingkan kerabat dekatnya yang memiliki hubungan darahnya. Memikirkan hal itu menghangatkan perasaan Adelia sekaligus membuatnya merasa sesak. Ini ironi, kata hati kecilnya mencoba menyimpulkan apa yang terjadi padanya.
Dengan agak ragu, Adelia meraih sebotol yogurt tersebut dan mengelus lembut embun yang sudah berkumpul, “Terima kasih..” , katanya dengan mata berkaca - kaca.
***
Bibinya kembali saat sudah hampir waktunya untuk tutup toko. Suasana diantara mereka berubah menjadi canggung mengingat apa yang terjadi antara Adelia dan juga bibinya beberapa waktu lalu. Walaupun bibinya telah menyakitinya baik dengan kata - kata maupun dengan perbuatan kasar padanya, Adelia tidak bisa membencinya. Ia berpikir itu tidak seberapa dengan semua yang sudah bibinya berikan padanya hingga saat ini, mulai dari makanan enak yang bisa ia makan hingga waktunya untuk saat - saat tertentu seperti pengambilan raport hasil belajarnya. Bibinya selalu bersedia menutup tokonya sejenak untuk menjadi walinya. Yah, walaupun sebenarnya dia kesana untuk anaknya yang sekelas dengan Adelia, tetapi Adelia tetap berterima kasih karena sudah mau menjadi walinya. Sebab, Adelia tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa untuk menjadi walinya. Tidak mungkin ia meminta neneknya yang sudah renta untuk menghadiri pertemuan para orangtua dan guru.
Dengan jaket yang sudah dikenakannya, Adelia memberanikan diri untuk menghampiri bibinya, “Aku sudah memperbarui data barang - barang yang masih tersisa dan yang sudah habis terjual. Aku juga sudah memisahkan kardus - kardus mie instan di gudang belakang sesuai dengan masa kadaluarsanya.” , katanya melaporkan pekerjaannya seperti yang biasa ia lakukan sebelum pulang lebih dulu daripada bibinya.
Bibinya yang masih merasa tidak baik, tidak berani menatap Adelia dan berpura - pura sibuk dengan pembukuannya, “Baiklah.” , katanya singkat.
Adelia menggesek - gesekan kuku tangannya canggung, ia masih berdiri di tempatnya mencoba memikirkan apa yang harus ia lakukan agar suasana seperti ini menghilang, “Kalau begitu aku pulang dulu, bi.” , pada akhirnya kalimat yang ia lontarkan hanya kalimatnya seperti biasa.
“Hm.” , balas bibinya.
Adelia mengerti bibinya sedang tidak ingin berbicara ataupun melihatnya. Pasti bibinya juga merasakan suasana tidak menyenangkan di antara mereka sama seperti dirinya. Ia pun memilih untuk langsung pergi dari sana. Setelah melepaskan rantai di sepedanya, sejenak Adelia merasa bimbang. Jalan menuju rumahnya ada di sebelah kanan, tetapi ia khawatir pada Dira yang pergi ke jalan yang sebelah kiri dari toko. Untuk beberapa saat ia menatap ke arah jalan Dira pergi dan ganti menatap ke arah jalan menuju rumahnya. Berkali - kali Adelia secara bergantian menatap masing - masing jalan tersebut. Hatinya bimbang.
Untuk itu, ia berusaha memikirkan kemana kira - kira tujuan Dira dengan melewati jalan yang berlawanan arah dengan jalan yang menuju rumahnya. Sepengetahuan Adelia selama tinggal di daerah ini sejak ia berusia empat tahun, jalan yang ditapaki oleh Dira menuju mall di pusat kota dan juga ada beberapa taman disana. Tidak ada tempat yang aneh - aneh dan mencurigakan. Ah iya, jika ia terus berjalan selama kurang lebih empat jam, ia akan sampai di pantai. Tetapi menurut Adelia, tidak mungkin orang seperti Dira mau berjalan selama itu. Setelah mengesampingkan kemungkinan Dira pergi ke pantai, Adelia memikirkan kembali kemungkinan Dira pergi ke rumah teman - temannya. Adelia menyayangkan dirinya yang tidak mahir berteman dengan orang lain sehingga sama sekali tidak mengetahui dimana rumah teman - teman sekelasnya.
Pada akhirnya Adelia menyerah. Ia memilih jalan menuju rumahnya, sebab, ia sendiri tidak mau mengambil resiko dengan membuang - buang waktu dan tenaganya untuk melakukan perjalanan tanpa tahu harus pergi kemana. Dengan perasaan berat, Adelia menuntun sepedanya ke arah jalan menuju rumahnya dan memilih untuk tidak menaikinya. Bukannya tanpa alasan Adelia lebih memilih untuk mendorong sepedanya alih - alih menaikinya agar lebih cepat sampai, toh, ban sepedanya juga tidak bermasalah. Hanya saja, Adelia merasa dirinya butuh udara segar malam untuk meringankan beban yang berputar - putar di kepalanya. Seraya berjalalan dengan santai, Adelia menuntun sepedanya menyusuri trotoar di sisi yang dekat dengan jalan raya besar. Ia tidak ingin sepedanya mengganggu pejalan kaki lainnya jika ia menaikkan sepedanya ke atas trotoar.
Tidak terasa setelah beberapa lama ia berjalan, Adelia berhenti di depan sebuah tiang listrik yang sudah banyak selembaran - selembaran dan poster - poster kecil yang ditempel disana. Biasanya Adelia hanya akan melewatinya saja seperti biasa. Namun, kali ini ia berhenti dan menghampiri lebih dekat. Cahaya yang menyinari jalanan tidak cukup terang untuk menerangi tulisan - tulisan pada selembaran - selebaran tersebut. Ia pun berinisiatif menyalakan senter dari ponsel pintar miliknya dan menggunakannya sebagai penerangan agar ia bisa membaca apa yang tadi baru saja menarik perhatiannya. Rupanya, itu adalah sebuah poster pertunjukkan ballet dari balerina profesional yang membuka konser mini untuk pertunjukkannya. Sontak mata Adelia berbinar melihatnya. Sejak kecil Adelia sangat menyukai ballet.
Hanya dengan melihat posternya saja, Adelia langsung membayangkan dirinya adalah orang yang ada di dalam poster tengah berpose sama persis seperti yang ada di dalam poster. Sungguh indah, pikirnya. Dalam hatinya timbul rasa ingin menonton pertunjukkan tersebut ditambah tempat pertunjukannya juga tidak begitu jauh dengan rumahnya. Tetapi, ia sadar itu adalah hal yang tidak mungkin sebab mengingat kondisi keuangannya dan juga kesibukannya setiap hari.
Tidak ingin berlarut - larut dalam kesedihannya, Adelia mencoba melepaskan poster tersebut dengan hati - hati dan berniat untuk menjaga bentuk tubuhnya dengan olahraga. Dengan hati - hati Adelia berusaha melepaskan poster tersebut dari tiang listrik hingga pada akhirnya terlepas dengan lem bagian belakangnya yang sudah mengering dan tertinggal pada tiang listrik tersebut. Ia pun membawa selembaran tersebut pulang bersamanya.
Disebabkan oleh ia memilih untuk berjalan kaki, begitu Adelia sampai di rumahnya, ia melihat motor bibinya sudah terparkir di teras rumahnya yang artinya bibinya sudah sampai rumah terlebih dahulu. Adelia berjalan terus melewati rumah bibinya untuk sampai di rumahnya yang berada tepat di sebelah rumah bibinya. Saat memakirkan motor, Adelia bisa mendengar keributan dari dalam rumah bibinya. Ia bertanya - tanya apakah Dira sudah pulang, oleh karena itu bibinya kembali marah - marah?
Walaupun penasaran, Adelia tidak memiliki cukup keberanian untuk mengeceknya. Dirinya memang siapa pikirnya sadar diri. Status seorang sepupu atau anak dari kakakmu tidak berarti boleh ikut campur permasalahan mereka jika mereka tidak melibatkan kita. Ibunya pernah berpesan padanya dulu, sebisa mungkin menghindari permasalahan antara keluarga. Tanpa mengetahui alasannya, Adelia hanya melakukannya saja dan yah, sepertinya perlahan ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh ibunya.
Dengan berpura - pura tidak mendengar keributan di sebelah-- sama seperti para tetangga lainnya, Adelia berjalan masuk ke rumahnya dengan santai. Sebelum masuk ke kamarnya, lebih dulu Adelia mengecek neneknya. Belum sempat Adelia masuk ke kamar neneknya, ia sudah melihat neneknya tengah asyik duduk di depan televisi dengan volume besar sambil tertawa - tawa. Adelia memaklumi hal itu. Kemampuan pendengaran neneknya sudah menurun karena usianya yang sudah tidak muda lagi.
Sambil menghela nafas, Adelia menghampiri neneknya dan memeluknya dari belakang, “Nenek, aku pulang.” , katanya dengan nada biasa. Sebab Adelia memang tidak berniat mengatakan itu pada neneknya. Ia hanya ingin melakukannya.
“Eh Adel sudah pulang. Nenek tidak mendengar kamu datang.” , jawab neneknya sambil mengelus - elus tangan Adelia yang memeluk lehernya.
Mendengar jawaban dari neneknya yang memang kurang bisa mendengar, Adelia terkekeh miris, “Nenek menyalakan suara televisinya terlalu kencang.” , kata Adelia beralih duduk di samping neneknya, meraih remote disampingnya dan mengecilkan volume televisi tersebut.
“Eh, jangan dimatikan suaranya! Nenek jadi tidak bisa mendengar apa yang dia katakan.”
“Baiklah, baiklah. Tapi segini saja ya, jangan terlalu besar. Atau nanti akan ada tetangga yang protes.” , ujar Adelia memberi nasehat. Tetapi neneknya lebih memilih untuk mendengarkan televisi alih - alih mendengarkan cucunya yang masih duduk di sampingnya.
Adelia tahu perkataannya tidak digubris sama sekali, ia pasrah saja. Dengan satu helaan nafas panjang, Adelia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan menatap langit - langit. Matanya memperhatikan dengan seksama plafon rumahnya sementara pikirannya melayang - layang tak tentu arah. Ia mengeluarkan sebotol yogurt yang tadi diberikan oleh Rangga, kini sudah tidak dingin lagi. Tetapi Adelia masih belum membukanya dan meminumnya sama sekali. Ia mendirikan botol yogurt itu di atas perutnya dan mengingat kembali pertemuan - pertemuan tak terencana yang terjadi antara dirinya dengan Rangga. Bibirnya berkedut menahan tawa. Pasalnya, setelah Adelia pikirkan baik - baik, dirinya selalu bertemu Rangga dalam keadaan yang tidak terlalu baik, terutama hari ini. Di antara teman - teman sekelasnya yang lain, Rangga adalah orang pertama yang pernah sedekat itu dengannya. Bukan hanya dekat secara fisik karena insiden di dalam bus hari itu, Adelia juga menganggap Rangga sudah melihatnya terlalu jauh saat hari ini dia telah melihat Adelia dalam keadaan kacau.
“Mengapa kau terus bermunculan akhir - akhir ini?” , gumam Adelia pada dirinya sendiri seraya menelik - nelik sebotol yogurt itu seolah - olah botol tersebut adalah sesuatu yang berkaitan dengan Rangga.