BAB KETUJUH : CAHAYA MATAHARI DI TENGAH HUJAN (part 4)

1464 Kata
Pagi ini Adelia tidak memiliki cukup keberanian untuk sarapan bersama di rumah bibinya. Ia masih merasa tidak enak akan kejadian kemarin. Oleh karena itu Adelia memutuskan untuk berangkat lebih awal dari biasanya, atau lebih tepatnya setengah jam lebih awal dari biasanya. Adelia sudah siap dengan seragam dan tas di punggungnya saat matahari masih enggan untuk menunjukkan sosoknya pada dunia. Hanya berkas - berkas cahaya samar di ujung timur dan langit yang mulai terang. “Nenek, aku berangkat dulu ya.” , ujar Adelia muncul di pintu kamar neneknya, berpamitan pada neneknya yang terlihat tengah serius mencoba membaca tulisan yang ada pada secarik kertas di tangannya. Walaupun sudah dengan kacamata baca bertengger di hidungnya, ia masih menyipitkan matanya mencoba untuk memfokuskan tulisan yang masih tampak samar dalam penglihatannya. Merasa tidak digubris, Adelia menghela nafasnya dan masuk menghampiri neneknya, “Sini aku bacakan, nek.” , katanya dengan menyodorkan tangannya meminta kertas tersebut. “Oh, iya. Adel, bisa tolong bacakan ini untuk nenek? Mata nenek tidak bisa melihat tulisannya dengan jelas.” , ujar neneknya seakan tidak mendengar perkataan Adelia tadi. Adelia memaklumi dan sudah terbiasa dengan hal ini. Sudah kurang lebih setahun, neneknya mulai mengalami penurunan kemampuan pendengarannya. Dan dari hari ke hari sepertinya semakin parah seperti saat ini, Adelia sudah bicara di dekatnya, tetapi ia masih juga tidak mendengarnya. Perasaan sedih sudah pasti menggerayangi Adelia. Ia sejak lama memiliki keinginan untuk membelikan alat bantu dengar untuk neneknya itu, tetapi penghasilannya masih belum cukup untuk bisa membelikan alat bantu dengar yang tidak murah harganya. Sebenarnya bisa saja ia membeli yang termurah, tetapi ia lebih ingin membelikan yang berkualitas walaupun harganya mahal dan butuh waktu lebih lama untuk menabungnya. “Iya, nek. Adel akan bacakan.” , jawab Adel. Kali ini ia berbicara di dekat telinga neneknya agar ia bisa mendengarnya. Benar saja neneknya mendengar dan langsung memberikan secarik kertas tersebut. Sebelum membacakannya untuk neneknya, Adelia terlebih dahulu membacanya dalam hati dengan cepat. “Apa yang tertulis disana?” , tanya neneknya yang masih menunggu Adelia untuk membacakannya untuknya. “O-oh, iya.” , Adelia merasa sedikit ragu untuk membacakan isi dari kertas yang adalah surat resmi dari bank, “Ini… hanya surat tagihan listrik, nek. Karena kita belum membayar listrik untuk bulan ini.” , jelasnya mendekat pada telinga neneknya. “Masa sih, Del? Tadi nenek sekilas melihat ada tertulis ini surat dari bank.” “I-iya memang ini surat dari bank. Jaman sekarang ini kan membayar tagihan listrik bisa lewat bank, nek. Oleh karena itu mereka mengirimkan surat untuk mengingatkan tanggal jatuh temponya. Begitu, nek.” , terkadang Adelia bangga pada dirinya yang pandai mencari alasan. Yah, walaupun ia tidak melakukan hal itu di segala situasi. “Oh begitu..” “Suratnya Adel bawa ya, nek. Biar Adel langsung bayar tagihannya hari ini.” Neneknya mengerutkan keningnya yang sudah keriput mendengar pernyataan Adelia, “Memangnya kamu sudah ada uangnya?” Sambil memeluk pundak neneknya, Adelia menempelkan pelipisnya pada pelipis neneknya, “Tidak perlu khawatir, nek. Uang gaji ku bulan lalu masih ada. Adel berangkat dulu ya, nek.” “Lho, kamu gak sarapan dulu?” Adelia tersenyum garing, “Aku.. ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan hari ini. Jadi sebelum pelajaran dimulai aku dan teman - teman kelompokku janjian untuk menyelesaikan proyeknya sebelum kelas dimulai.” , lagi - lagi Adelia memberikan alasan palsu. “Oh, ya sudah. Jangan lupa sarapan, ya.” “Iya, nek. Adel berangkat dulu.” , ucapnya seraya mencium pipi neneknya yang sudah tidak kencang lagi sebelum pergi dari sana. Adelia keluar dari rumahnya dengan tenang sambil membaca kembali secarik kertas pemberitahuan dari bank tentang rumah mereka yang telah dijadikan jaminan peminjaman uang. Tentu saja Adelia terkejut bukan main. Pasalnya, selama ini ia tidak pernah meminjam uang ke bank, dan orangtuanya juga tidak pernah mengajarinya untuk berhutang sebab mereka sendiri pun telah sama - sama berkeyakinan bahwa berhutang adalah sesuatu yang harus dihindari sebisa mungkin. Saat memikirkan siapa yang telah berani memakai rumah yang menjadi satu - satunya peninggalan dari orangtuanya menjadi jaminan peminjaman uang, satu - satunya orang yang terlintas dalam pikiran Adelia adalah bibinya. Dirinya pun tidak mengerti mengapa instingnya menebak seperti itu. Hati nuraninya berpendapat, mungkin karena selama ini hanya bibinya yang bersikap kasar padanya oleh karena itu instingnya memilih bibinya menjadi tersangka utama. Dalam pikiran Adelia, semuanya berdebat saling menjatuhkan pendapat satu sama lain layaknya sedang sidang rapat. Semua pemikiran yang berbeda terus bermunculan mengemukakan pendapat dari hasil analisis mereka masing - masing. Mulai dari yang paling logis sampai yang paling nyeleneh seperti menduga pihak bank hanya sedang iseng ingin menakut - nakuti. Tidak ingin pemikiran nyeleneh lainnya ikut bermunculan, Adelia menggeleng - gelengkan kepalanya mengusir semua pemikiran - pemikiran aneh yang bermunculan di kepalanya. Ia tidak ingin berpusing - pusing di pagi hari ini, sebab tenaganya yang tersisa saat ini hanya cukup untuk perjalanannya menuju sekolah, ia tidak memiliki cukup energi untuk berpikir keras apalagi khawatir yang berlebihan. Ia memutuskan akan memikirkannya nanti setelah ia mengisi perutnya untuk mengisi kembali energinya untuk memikirkan hal ini. Seperti biasanya, ia akan berjalan kaki selama kurang lebih lima belas menit. Karena ia berangkat lebih awal, Adelia memutuskan untuk berjalan dengan santai sembari menikmati pemandangan yang ada di sekitarnya. Saat itulah Adelia menyadari ada banyak hal kecil yang terlewatkan karena ia tidak menikmati perjalanannya sebelum - sebelumnya. Ia baru menyadari pohon ceri yang dulu masih hanya setinggi dirinya, sekarang sudah berdiri kokoh menaungi jalan dan berbuah banyak. Tidak sedikit juga ceri - ceri merah yang berjatuhan karena sudah kelewat matang. Selain itu, Adelia juga baru menyadari bahwa rumah putih besar yang sebelumnya terkenal angker itu sekarang sudah dihuni walaupun tidak ada perubahan dari segi penampilan. Hanya saja poster tanda rumah di jual yang tadinya menggantung pada pagar rumah besar itu sekarang sudah tidak ada. Selagi menikmati segala hal yang ia lihat dan ia rasakan seperti jalan yang tidak rata, tahu - tahu saja ia sudah sampai di tempat pemberhentian bus. Saat ia datang, orang - orang sudah banyak yang berkumpul menunggu bus datang. Adelia ikut bergabung di antara mereka walaupun hanya berdiri di sisi, tidak ingin sesak dalam kerumunan. Tiba - tiba saja, ingatan tentang hari itu saat dirinya menubruk tubuh Rangga di dalam bus, melintas dalam pikirannya membuat dirinya mendadak merasa gugup. Bayangan itu terus berlanjut sampai saat kemarin, saat Rangga memberikannya sebotol yogurt padanya alih - alih terus bertanya apa yang terjadi pada dirinya. Menurut pandangan Adelia, itu semua sangat manis. Ia jadi penasaran dan bertanya - tanya mengapa Rangga masuk ke dalam kisah hidupnya saat ini. Padahal sebelumnya Rangga hanya mendapat peran sebagai salah satu dari sekian banyak teman sekelasnya yang tidak ia kenal dan tidak pernah ia ajak bicara sebelumnya. Di saat Adelia mulai asik dengan angan - angannya, bus yang biasa Adelia naiki untuk pergi ke sekolahnya, datang dari sebelah kirinya. Bus tersebut tampak melambat saat semakin mendekat pada tempat pemberhentiannya dan benar - benar berhenti pada tempat yang disediakan. Satu persatu, mengantri dengan tertib, para penumpang yang sudah menunggu sejak tadi mulai memasuki bus. Adelia yang merasa ia adalah orang yang datang terakhir, memutuskan untuk membiarkan mereka semua nak terlebih dahulu dan dia akan menjadi orang terakhir. Sayangnya, sepertinya Adelia memilih jam yang tidak tepat. Rupanya, penumpang busnya lebih ramai pada jam ini dibandingkan saat ia hampir terlambat kemarin. Begitu ia bersiap untuk naik, ia terkejut dengan orang - orang yang sudah berdiri di pntu karena sudah tidak ada tempat untuk duduk ataupun untuk berdiri di bagian tengah bus. Mau tidak mau, dengan berat hati Adelia memaksakan diri untuk berdesak - desakan dengan orang lain di pintu. “Tunggu! Tunggu!”, teriak seseorang dari belakang bus dan langsung muncul di hadapan Adelia. Itu adalah Rangga. Adelia tidak bisa untuk tidak membelalakan matanya begitu melihat Rangga di hadapannya. Mereka saling bertatapan sejenak hingga suara tanda pintu akan ditutup berbunyi. Tidak cukup terkejut dengan pertemuan mereka lagi hari ini, mereka sama - sama terkejut juga dengan suara gas penekan pintu berbunyi tanda pintu akan ditutup. Ruang yang tersisa sangat kecil dan tidak ada tempat untuk berpegangan. Tanpa sadar, Adelia mengulurkan tangannya membantu Rangga untuk naik secepatnya sebelum pintu tertutup. Dengan sigap, Rangga menerima uluran tangan dari Adelia dan berdiri tepat di sebelah Adelia hanya beberapa detik sebelum pintu tertutup. Pintu bus tertutup dan mereka berdiri tepat di depan pintu masuk. Rangga yang terlihat sedikit ngos-ngosan, memberikan senyum giginya untuk berterima kasih pada Adelia. Dengan canggung, Adelia pun membalas senyum tersebut dengan senyuman cangung. Tanpa mereka sadari, tangan mereka masih bergandengan. “Rangga.” , ujar Rangga memanfaatkan tangan mereka yang masih bergandengan sau sama lain untuk bersalaman memperkenalkan diri. “Adelia.” , balas Adelia dengan suara kecil dan senyum ragu. Rangga tidak masalah dengan hal itu dan masih tersenyum, “Senang bisa berkenalan secara langsung denganmu.” , katanya begitu yakin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN