BAB KETUJUH : CAHAYA MATAHARI DI TENGAH HUJAN (part 2)

1849 Kata
“Thanks, ya.” , ujar Dira seraya memberikan helm pada seorang pria yang baru saja memboncengnya dengan sepeda motor berjenis naked berwarna hitam. Pria tersebut membuka kaca helmnya dan tersenyum dengan matanya, “Bukan masalah.” Di tengah - tengah pembicaraan mereka, suara teriakan dan omelan dari bibinya Adelia atau ibunya Dira terdengar dengan begitu jelas, “BAGAIMANA BISA HAL INI TERJADI?! APA YANG KAU PIKIRKAN DENGAN MENCURI UANGKU?! SETELAH SEMUA USAHAKU UNTUK MERAWATMU SEPENINGGALAN IBU DAN AYAHMU, DAN INI BENTUK TERIMA KASIHMU PADAKU?!” Dira dan temannya sama - sama terkejut mendengarnya. Terutama saat mereka mendengar kata ‘mencuri’ , temannya Dira langsung mematikan mesin motornya berniat untuk masuk dan melihat apa yang terjadi. “Bang, kau pulanglah. Ini bukan masalah besar, aku akan mengatasinya.” , ucap Dira buru - buru saat temannya tersebut menurunkan standar motornya. “Akan lebih baik jika orang yang lebih dewasa yang menyelesaikannya.” , elak temannya tersebut dan tetap turun dari motornya. Dira sungguh tidak ingin mempermalukan dirinya dengan orang lain menila bagaimana sikap ibunya, “Tidak, tidak. Aku serius. Ini, ini hanya masalah keluarga yang biasa terjadi. Abang tidak perlu ikut campur, ya, begitu.” Melihat Dira yang benar - benar tidak ingin ada orang luar yang ikut campur, temannya itu mencoba mengerti dan menuruti saja permintaan Dira, “Baiklah. Kalau begitu kau telpon saja aku jika ada sesuatu yang terjadi, oke?” Dira mengangguk mengerti. Ia menunggu hingga temannya tersebut melaju pergi sebelum ia masuk ke dalam toko. Saat dirinya di luar tadi saja suara omelan dari ibunya sudah terdengar begitu keras, begitu ia memasuki toko, suaranya berkali - kali lipat lebih keras hingga sanggup membuat detak jantungnya melompat. Ia menghampiri ibunya yang sedang naik pitam dengan Adelia yang menunduk sambil menangis. Dilihatnya Adelia memegangi lengan tangan sebelah kirinya dengan erat dan ia juga bisa melihat garis - garis merah samar pada tangan kirinya yang ia duga Adelia baru saja disabet dengan sapu lidi atau sesuatu yang tipis dan panjang. “Mah! Apa yang terjadi?!” , tegur DIra ikut naik pitam. Adelia langsung mendongak ke sumber suara dengan air mata yang sudah bercucuran dan pipinya yang memerah sebelah. Dira menatap Adelia dengan kasihan, ia sudah bisa menebak bahwa selain dilukai dengan sapu lidi, Adelia juga ditampar oleh ibunya. “ANAK INI MENCURI UANG MAMAH, DIR! BAGAIMANA BISA DIA MELAKUKAN ITU SETELAH SEMUA YANG TELAH KITA BERIKAN PADANYA?!” , jelas ibunya dengan wajah yang memerah karena marah. Adelia menggeleng pelan pada Dira seraya menahan tangisnya, berharap Dira tidak akan percaya begitu saja dengan ucapan ibunya. Dira yang sudah mengetahui betapa baik hatinya sifat Adelia, tentu tidak langsung termakan begitu saja dengan perkataan ibunya yang benar - benar memojokkan juga merendahkan Adelia. “Apa sudah ada buktinya?” , tanya Dira mendesak ibunya. “Untuk apa bukti! Yang ada di toko cuma dia sendiri! Siapa lagi memangnya yang akan mencurinya? Kucing jalanan?” , balas ibunya tidak ingin didesak. “Bisa saja pembeli yang datang. Bisa saja aku, kan? Karena aku kembali ke toko sebelumnya saat Adelia sendirian menjaga toko.” Bibinya Adelia tiba - tiba merasa gugup. Apalagi orang yang membantahnya adalah putranya sendiri, “A-apa maksudmu? Bagaimana mungkin kau yang mengambilnya? Tidak mungkin..” “Mengapa Adelia mungkin menjadi pelakunya tetapi aku tidak?” “Kau anakku! Bagaimana mungkin kau mencuri uang ibumu sendiri?” Dira menghela nafas panjang, sudah lelah dengan sikap ibunya yang entah sejak kapan begitu tidak menyukai Adelia, “Itu aku. Aku yang mengambil uangnya.” Sontak pengakuan dari Dira itu membuat bibinya terkejut. Terlebih lagi Adelia. “Apa maksudmu?” , tanya bibinya Adelia pada putranya. Yang ditanya maju selangkah, “Aku. Aku yang mengambil uangnya. Ayo, pukul aku.” , tantang Dira sudah muak dengan sikap ibunya pada Adelia yang memperlakukannya seperti anak tiri. Bibinya Adelia bisa merasakan bahwa Dira sedang menyindirnya dan berusaha mempermalukannya. Tidak ingin terlihat kalah dan bisa diremehkan, ia maju selangkah dan langsung melayangkan sebuah tamparan pada pipi kiri Dira. Mulut Adelia menganga melihat apa yang baru saja terjadi. Ia tidak berani berkata - kata sama sekali. Aura yang terasa di dalam toko begitu hening dan mencekam dirasa. Dari dalam toko, Adelia bisa melihat beberapa orang yang berlalu lalang sedang melihat ke arah mereka karena pintu dan jendela toko yang terbuat dari kaca tembus pandang. “Anak kurang ajar..” , kata bibinya Adelia dengan penuh penekanan dan berlalu pergi dari sana meninggalkan Adelia dan Dira masih berdiri di tempatnya. Baik Adelia maupun Dira tidak ada yang bergerak sampai si pemilik toko yang tengah diliputi amarah dan emosi itu benar - benar pergi dari sana. Adelia langsung bergegas menghampiri Dira yang masih mematung di tempatnya dengan pipinya yang memerah akibat tamparan tadi. “Ya ampun, kau baik - baik saja? Pipimu memerah, apa terasa sakit? Mau aku ambilkan es batu untuk mengkompresnya? Aku yakin rasa sakitnya akan menghilang dengan es batu.” Dira menepis tangan Adelia yang berusaha mendekat karena khawatir pada bekas tamparan dari ibunya, “Urusi saja lukamu sendiri.” , katanya dan beranjak pergi dari sana menuju pintu keluar dan berjalan menyusuri jalan ke kiri. Adelia merasa menyesal sudah membuat Dira terlibat dan bahkan hubungan Dira dan ibunya menjadi tegang. Adelia menatap punggung Dira yang semakin menjauh, keluar dari pintu dan pergi ke arah yang sebaliknya dari jalan menuju rumahnya yang seharusnya berjalan ke arah kanan jalan. Adelia tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi bibinya dan juga Dira esok hari. Tetapi kenyataannya memang bukan dirinya yang mengambil uangnya. Ia juga tidak tahu pasti berapa jumlah uang yang ada di dalam buku tersebut. Ia hanya memindahkannya saja dan tidak membukanya. *** Di lain tempat dalam waktu yang bersamaan, di rumah keluarga Rangga hanya ada ibunya yang tengah sibuk menulis sesuatu di dapur dan juga Rangga bersama adiknya tengah belajar bersama di ruang tengah, masing - masing mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mereka di sekolah. Sebenarnya yang benar - benar belajar hanya Rangga, sedangkan adiknya asyik berselancar sosial media pada ponselnya dan menghiraukan tugas - tugas di hadapannya. “Nah, sepertinya sudah semuanya.” , ujar ibunya dengan raut wajah puas, “Baiklah, siapa yang mau membantu ibu pergi berbelanja?” , katanya dengan suara lebih keras agar anak - anaknya yang berada di ruang tengah mendengarnya. Rangga mendongak begitu mendengar pertanyaan ibunya sebab ia tidak begitu mendengar jelas karena fokusnya tadi sedang pada tugas karya tulisnya. Sedangkan Kaila, adiknya, yang tidak ingin ditunjuk untuk melakukan tugas itu langsung mematikan layar ponselnya dan meletakannya di samping bukunya untuk kemudian berpura - pura sibuk dengan tugasnya. Rangga yang sudah hapal betul tingkah Kaila, menatapnya datar. Ia tidak percaya seseorang seperti Kaila adalah adiknya. Tak kunjung mendapatkan jawaban, ibunya Rangga membawa kertas yang baru saja ia selesai tulis tadi dan memutuskan untuk menghampiri kedua anaknya di ruang tengah. Jejak sandal lembut yang bertepuk dengan lantai semakin keras terdengar seiring ibunya Rangga semakin mendekat pada ruang tengah. Kaila mempertahankan sikap pura - pura sibuknya dengan menyalin soal dari buku tebal di hadapannya pada buku tulis tugasnya. Sesampainya ia di ruang tengah, dilihatnya Kaila begitu sibuk dengan tugasnya hingga tidak menatapnya. Berbeda dengan Rangga yang beralih menatap padanya begitu ia sampai di ruang tengah. Saat itu juga ia tahu siapa yang bisa ia mintai tolong. “Rangga,” , panggil ibunya. Meskipun yang dipanggil adalah kakaknya, Kaila berhenti menulis dan melirik pada kakaknya. “Tolong ibu pergi belanja dong, kak.” , ujar ibunya seraya menyodorkan kertas berisi daftar barang belanjaan yang harus dibeli. “Tapi, bu, aku sedang mengerjakan tugasku.” , elak Rangga berusaha untuk menolak dengan halus. “Ibu meminta tolong karena sedang tidak enak badan, kak. Sekali ini saja.” , rengek ibunya tidak mau kalah. Rangga menurunkan kedua bahunya lemas karena pasrah. Ia beranjak berdiri untuk mengerjakan apa yang ibunya minta. Sebelum pergi, ia melirik tajam sekilas pada adiknya yang masih berpura - pura sedang mengerjakan tugas. Kaila melirik pada kakaknya dan ia tertawa tanpa suara melihat kakaknya tengah menatapnya dengan raut wajah kesal. *** Merasakan rasa nyeri yang masih timbul, Adelia mengangkat tangannya dan melihat semua bekas sabetan sapu lidi yang dihantamkan padanya tadi. Tanpa perintah, air mata Adelia sudah mengalir di pipinya. Ia menangis bukan karena rasa sakit akibat kekerasan yang dilakukan bibinya padanya tadi. Ia menangis karena disaat seperti ini ia benar - benar merindukan sosok ayah dan ibunya. Ia tidak masalah dengan perlakuan kasar bibinya selama ayah dan ibunya ada di sisinya disaat - saat seperti ini. Ia merasa sendiri. Adelia tidak tahu harus pergi ke siapa untuk mengadu dan berkeluh kesah atas semua hari - hari sulit yang ia lalui. Suara pintu toko terbuka menginterupsi kesedihannya dan ia segera langsung menyeka semua air matanya, tidak ingin orang yang baru saja masuk ke dalam toko, melihatnya kacau seperti ini. “Selamat datang..” , sapa Adelia mencoba bersikap seperti biasanya walaupun dari suaranya bisa terdengar ia baru saja menangis beberapa saat yang lalu. Dilihatnya seorang pria muda tengah memeriksa daftar belanjaan pada secarik kertas yang ia bawa dan melihat - lihat pada rak - rak barang dan juga bahan pokok makanan untuk memastikan yang ia ambil adalah belanjaan yang sama dengan yang tertera pada kertas di tangannya. Adelia bergegas kembali ke meja kasir dan mengipas - kipaskan matanya dengan kedua tangannya berharap mata sembab dan merahnya segera hilang. Sesekali ia menyentuh pipinya sambil memeriksa penampilannya pada cermin kecil yang terpajang tepat di samping mesin kasir. Sungguh Adelia tidak ingin dilihat orang lain saat dirinya sedang seperti ini. Ia pun memutuskan untuk terus menunduk selama melayani pembeli yang datang tadi. Pembeli yang datang tadi terlihat masih memilih - milih produk yang tertera pada daftar belanjaannya. Selagi menunggu, Adelia mengelus - elus bekas kemerahan yang ada di tangan kirinya berharap segera menghilang sebelum pembeli tadi datang untuk melakukan pembayaran pada barang belanjaannya. Namun, belum sempat bekas kemerahan itu hilang, pembeli tadi sudah meletakkan semua belanjaannya yang ada di dalam keranjang belanja tadi ke atas meja untuk segera di scan oleh Adelia. Segera Adelia mengambil satu per satu belanjaan yang ada di dalam keranjang tersebut dan mendekatkan barcode yang ada pada masing - masing kemasan pada cahaya merah yang keluar dari alat scan. Tanpa diduga, tiba - tiba saja tangan Adelia ditahan oleh pembeli tadi yang berhasil membuat Adelia mengangkat kepalanya untuk melihat wajah orang yang menahan tangannya. Betapa terkejutnya Adelia begitu mengetahui orang itu adalah Rangga. Teman sekelasnya. Orang yang menahan tangannya saat ia hampir terjatuh di dalam bus beberapa waktu lalu dan orang yang secara tidak sengaja memeluknya saat di bus. Adelia menatap Rangga beberapa saat dengan matanya yang masih memerah tanpa bicara apapun. “Apa yang terjadi dengan tanganmu?” , tanya Rangga masih menahan tangan kiri Adelia saat hendak meraih belanjaan lainnya yang masih berada di dalam keranjang. Sungguh, Adelia merasa terlalu malu untuk membuka suaranya, untuk menjawab pertanyaan dari Rangga. Dengan pelan ia berusaha menarik kembali tangannya yang ditahan oleh Rangga. Tetapi, Rangga tidak mengijinkannya. Ia menahan tangan Adelia lebih kencang dari sebelumnya. Adelia merasakan penolakan itu, ia pun menatap Rangga mencoba mengerti apa yang diinginkan oleh Rangga dengan melakukan ini. "Apa yang terjadi padamu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN