Rangga dan Adelia bertemu, dulu saat pertama kali saat di upacara penerimaan siswa dan siswi baru di salah satu sekolah menengah atas yang cukup bergengsi di Singkawang, salah satu kota terindah di pulau Kalimantan. Daerah tempat tinggal Adelia cukup jauh dari sekolahnya, oleh karena itu ia lebih memilih untuk menggunakan bus. Padahal, umumnya orang - orang yang tinggal di Singkawang lebih suka menggunakan sepeda sebagai alat transportasi mereka. Adelia juga ingin seperti itu, tetapi mengingat jarak rumah dan sekolahnya cukup jauh, ia memikirkan ulang berkali - kali hingga memutuskan untuk naik bus. Dira, sepupunya Adelia, atau lebih tepatnya anak bibinya Adelia yang memiliki hubungan keluarga kandung dengan ayahnya saja, baru dibelikan sepeda motor saat ia memasuki sekolah menengah atas. Benar, tidak lain dan tidak bukan adalah agar lebih mudah untuk pergi dan pulang sekolah.
Sebenarnya bisa saja Adelia meminta tumpangan pada Dira, mengingat rumah mereka yang bersebelahan dan selalu sarapan juga makan malam bersama sejak ayah dan ibu Adelia meninggal dunia. Tetapi hati kecil Adelia menolak untuk melakukannya. Bukan karena ia enggan ataupun gengsi untuk meminta tumpangan. Justru hal gratis adalah hal yang paling Adelia sukai. Adelia tidak melakukan hal itu, tidak lain dan tidak bukan dikarenakan, yang pertama, sepupu laki - lakinya yang satu ini benar - benar dingin sedingin es. Tidak hanya dirinya yang menjadi orang yang didinginkan oleh Rangga, pasalnya, Dira juga dingin kepada orang lain. Alasan yang kedua adalah, Adelia tidak ingin hanya karena dirinya meminta tumpangan pada Dira, bisa menambah daftar celotehan dan keluhan untuk meninggi dari bibinya. Sudah cukup kematian ayah dan ibunya, neneknya yang sudah tua, dan juga kedua orangtuanya yang tidak meninggalkan warisan apapun kecuali rumah kecilnya. Belum lagi ditambah dengan dirinya yang sering dibilang lambat, ceroboh, dan merepotkan, katanya. Mendengar semua keluhan yang sama setiap harinya sudah cukup membuat Adelia merasa lelah di pagi hari.
Pernah suatu hari ada sebuah kehebohan besar terjadi di toko. Buku pencatatan yang berisi uang penghasilan hari itu hilang. Dan kejadian itu terjadi saat Adelia sedang berjaga toko seorang diri sebab bibinya tengah pergi ke distributor barang untuk melihat - lihat barang baru yang bisa ia jual di toko serba ada miliknya. Toko milik bibinya menjual banyak barang, mulai dari bahan - bahan makanan, sembako, dan juga perabotan rumah tangga yang sederhana dan tidak terlalu rumit. Satu - satunya hal yang tidak bibi Adelia jual adalah makanan basah, sebab ia tidak ingin merepotkan diri untuk memilah - milah dan mengganti stok makanan - makanan tersebut dengan yang baru.
Biasanya, setiap sepulang sekolah Adelia akan pergi membantu bibinya bersama dengan Dira di toko. Hari itu seperti biasanya, setelah selesai berganti pakaian, makan sore, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah, Adelia langsung pergi ke toko bibinya dengan menaiki sepeda kesayangannya yang sudah ia gunakan sejak ia masih duduk di sekolah menengah pertama. Hanya membutuhkan kurang lebih lima belas menit dengan bersepeda untuk sampai di toko milik bibinya yang berdiri kokoh di antara toko - toko lainnya yang berjejer di dekat pasar induk.
Sesampainya disana, ia langsung memakirkan sepedanya tepat di samping toko dan tak lupa ia menguncinya dengan rantai yang dikaitkan pada pagar besi milik toko sebelah. Saat itu keadaan toko sedang tidak ada pembeli, dalam hati Adelia merasa senang karena ia jadi lebih santai dibandingkan toko mereka kedatangan banyak pembeli. Dengan menyembunyikan senyumnya, Adelia langsung menghadap bibinya yang sedang sibuk di meja kasir. Ia tengah menulis - nulis pemasukkan dan pengeluaran, dan juga daftar barang - barang yang sudah terjual dan yang masih tersisa. Semuanya benar - benar ia cantumkan di buku bersampul tebal yang sudah agak usang itu. Setelah itu, tak lupa ia menghitung uang yang ada di dalam mesin kasir dan mengelompokkannya menjadi beberapa bagian untuk membayar hutang barang. Sebab, untuk beberapa produk, bibinya Adelia memilih untuk membayar setengah harga dan melunasinya saat sudah laku terjual nantinya.
Mendengar suara langkah kaki mendekat, bibinya Adelia mendongak melihat ke depan, ke arah sumber suara, sekilas sebelum kembali fokus pada uangnya.
“Adel, bisa kau tolong mengangkut beberapa kotak kardus air mineral kemasan yang menumpuk di depan toko dan memindahkannya ke dalam gudang? “ , ujar bibinya Adelia tanpa menatap Adelia.
Adelia yang belum sempat untuk duduk setelah mengambil plastik dengan ukuran untuk takaran satu kilo, menghela nafasnya dengan pelan, sebab ia takut helaan nafas yang mewakili rasa jengkelnya tidak terdengar. Bukan tugasnya untuk mengangkut - angkut barang. Itu adalah pekerjaan Dira.
“Memangnya Dira kemana, bi?” , tanya Adelia takut jika ingin protes.
“Dia mau pergi. Sudah ada janji dengan temannya.”
Mendengar jawaban dari bibinya, Adelia mengernyitkan keningnya, ‘hah?! Seorang Dira memiliki teman yang bisa ia ajak bertemu? Benar - benar bukan dirinya.’ , protes Adelia dalam hati.
Belum selesai Adelia dengan protesnya dan baru beberapa langkah ia berjalan menuju pintu depan, pintu toko bibinya terbuka dan menampilkan sosok Dira yang sangat berbeda dengan biasanya. Kali itu, bisa Adelia pastikan Dira menata rambutnya hari itu. Terjawab sudah pada akhirnya alasan Dira begitu lama di kamar mandi saat sore tadi. Parfum yang sepertinya baru pun Dira pakai. Aroma cokelat yang menenangkan tercium dengan jelas saat Dira berlalu melewati Adelia begitu saja.
‘Jelas sekali, ini bukanlah aroma parfum yang biasa ia pakai. Ini adalah parfum baru!’ Ujarnya dalam hati.
Sayangnya, hari itu Dira datang bukan untuk bekerja membantunya. Ia benar memiliki janji temu dengan orang lain, hanya saja, Adelia tidak mengetahui siapa orangnya dan merasa tidak punya hak untuk bertanya ataupun mengorek hal itu padanya kecuali dirinya dan orang yang ia maksudkan. Adela tidak bisa memaksanya untuk memberi tahu siapa yang akan ia temu walaupun dirinya benar - benar ingin.
“Kau sudah mau pergi?” , tanya bibinya Adelia pada satu - satunya putra kandungnya.
Tidak berharap banyak, bibinya tidak bertanya lagi setelah pertanyaan yang pertama tadi. Ia sudah mengetahui tepatnya bagaimana sikap putranya.
Adelia mengangkut kardus yang berisi air kemasan dan membawanya masuk untuk di letakkan di bagian gudang, tepat seperti yang dimintai tolong oleh bibinya yang jelas itu adalah sebuah perintah dibandingkan sebuah permintaan untuk dimintai tolong. Saat ia dalam perjalanan kembali masuk segera menuju Gudang, berpapasan dengan Dira yang sudah mau pergi lagi.
“Abang sudah mau pergi? Pastikan rambutmu ditata lagi sesampainya di tempat tujuanmu nanti. Sebab, sudah pasti helm akan merusaknya.” , ujar Adelia mencoba untuk membebaskan.
Dira diam sejenak, sepertinya ia menerima beberapa nasihat yang Adelia berikan.
“Aku akan pulang jam tujuh.” , katanya sambil menatap ke depan, tepatnya keluar pada seseorang yang sudah menunggunya di seberang jalan dengan motor kerennya dan bergegas keluar.
‘Iya, nak! Hati - hati!” , balas bibinya Adelia yang adalah ibunya DIra dengan wajah agak senang karena setidaknya putranya itu memberikan kabar padanya dan berjanji akan pulang pukul tujuh.
Adelia kembali melanjutkan perjalannya menuju gudang yang adalah sebuah ruangan di belakang meja kasir. Dalam pikirannya ia bertanya - tanya pasal Dira yang tadi mengabarkan jam pulangnya. Ia tidak yakin Dira mengatakan itu untuk ibunya atau untuk dirinya. Sebagian besar ego dan perasaan tinggi hati Adelia yang jarang beraktifitas itu memilih untuk berpikir itu adalah untuknya. Dira memberitahunya ia akan membantu Adelia bekerja nanti setelah jam tujuh. Membayangkan hal itu sudah cukup membuat Adelia tersenyum - senyum beberapa saat hingga bibinya yang sudah memakai jaket dan juga helmnya masih bersiap - sap di meja kasir.
“Adelia, bibi akan pergi sebentar. Tolong kau jaga toko ini seorang diri, kau bisa, kan?” , pamitnya sambil memeriksa kembali tas kecil yang biasa ia gunakan untuk menyelam lebih dalam kemampuan berpikirnya lagi.
Melihat situasi yang sedikit pengunjung, Adelia mengiyakan saja dan tidak mengajukan syarat apapun.
“Ingat, jangan lupa data kembali barang - barang yang baru datang hari ini dan periksa jumlahnya. Aku sudah menghitungnya adil, tetapi, aku khawatir jika hitunganku salah.” , katanya menambahkan seraya memakai sarung tangan kain miliknya yang biasa ia gunakan saat mengendarai depends motornya.
“Baik, bi.” , balas Adelia singkat. Ia tidak menyangka hari ini pun datang juga,
“Buku administrasi toko ada di samping mesin kasir. Dan di dalamnya ada uang untuk membayar tagihan dari distributor yang akan datang nantinya. Jaga baik - baik, ya.” tambah bibinya lagi sebelum benar - benar pergi dari sana.
Adelia terus melanjutkan pekerjaannya yang tadi disebutkan dan juga melayani pembeli - pembeli yang datang. Untuk menjauhkan pembeli dari buku administrasi kantor yang bibinya maksud tadi, Adelia memindahkan buku tadi di atas tumpukan kertas - kertas tak bermakna dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Beberapa menit setelah itu, Dira kembali dengan sedikit terburu - buru. Adelia yang masih mengerjakan pekerjaannya hanya melihat sekilas dan kembali melanjutkan pekerjaannya memeriksa stok produk gel lidah buaya.
Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar. Ia yakin itu adalah Yuri sebab ia bisa mencium aroma parfum Dira saat Dira melintas di belakangnya tanpa bicara sepatah kata pun. Semuanya berjalan lancar. Pekerjaan - pekerjaan yang tadi disebutkan oleh bibinya pun telah ia selesakan sepenuhnya, bahkan, sebelum pukul tujuh.
Tentu dengan semua hal baik itu, Adelia merasa hari ini adalah hari beruntungnya. Suasana hatinya begitu senang sebab semuanya berjalan dengan baik. Ia kembali ke meja kasir untuk duduk - duduk. Sebelum itu, ia memutuskan untuk membereskan barang - barang disitu agar terlihat lebih rapi dan ia bisa duduk - duduk dengan nyaman karena semuanya sudah tampak beres.
Tetapi hal itu pun datang juga. Petir di siang hari yang baik. Adelia begitu terkejut sekaligus panik saat ia membuka buku administrasi rokok dan melihat tidak ada uang sepeserpun yang diselipkan disana. Perasan khawatir dan cemas langsung menggerayangi tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Belum sempat ia menenangkan diri, terdengar suara motor dari bibinya Adelia yang saat itu juga membuat Adelia bak tersambar petir di siang bolong.
“Sial! Kemana uangnya?” , tanyanya dengan khawatir pada dirinya sendiri.