Sudah setengah jam lebih, Bu Anis hanya menangis di pundakku. Sesekali beliau memelukku, sesekali pula beliau kembali meraba-raba wajahku. Terkadang beliau tersenyum, lalu menangis lagi. Seperti itu diulang berkali-kali. “Kamu begitu dekat, Ara, tapi kenapa Mama enggak tahu? Ternyata perasaan yang selama ini Mama rasakan tiap kamu tersenyum ke Mama, itu bukan tanpa alasan.” Sebenarnya aku masih agak canggung mendengar Bu Ani menyebut dirinya ‘Mama’. Dua puluh satu tahun terpisah, jelas bukan waktu yang singkat. Meski aku juga merasakan perasaan dekat itu, tetapi di mataku beliau masihlah Bu Anis, dosen pembimbingku sekaligus dekan fakultas. Di mataku, Bu Anis adalah sosok perempuan yang keren dan hebat. Aku selalu mengagumi beliau dari kejauhan. Boro-boro aku bermimpi jadi anaknya, d