“Maafin Mas ya, Dek, harusnya Mas temuin kamu lebih cepat.” Aku benar-benar tidak bisa berkomentar apa pun lagi. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menangis sembari memeluk Mas Agas erat. Ternyata perasaan dekat yang kurasakan waktu duduk bersama Mas Agas di resto mie bukan tanpa alasan. Tangisku yang langsung keluar begitu melihat Faris bersimbah darah juga bukan tanpa alasan. Semua itu terjadi secara naluriah karena ikatan batin kami yang begitu kuat. Mas Agas mendorongku pelan, lalu mengusap air mataku dengan sebelah tangannya. Dia tersenyum. “Ternyata adikku tumbuh jadi secantik ini. Satu-satunya yang mirip Mama ya cuma kamu.” “S-saya harap i-ini bukan mimpi, Mas.” Mas Agas menggeleng. “Enggak, ini bukan mimpi, Ara. Mulai sekarang jangan bicara terlalu formal. Aku ini kakakmu