Kirana menggigit bibirnya, ketika nafas hangat Yudistira masih bergerak di belakang lehernya. Jemari besar pria itu meremas payudaranya dengan tekanan sempurna, terlalu sempurna malah, seolah hafal setiap lekuk tubuhnya. Padahal baru satu jam lalu mereka saling memuaskan gairah di atas sofa di ruang tamu, tapi Yudistira masih terasa seperti api yang belum puas membakar. “Kamu lelah, ya?” Suara Yudistira menggelitik pipinya, diikuti oleh gigitan kecil di pundak yang membuat Kirana mengerang pelan. “Dan lapar,” tambahnya dalam hati—lapar yang bukan hanya untuk makanan. “Mmh ... bisakah kamu buatkan sesuatu untukku?” pinta Kirana, suaranya serak akibat kelelahan dan kepuasan. Yudistira menghela napas, menahan godaan untuk terus menyentuh. “Oke. Aku akan masak.” Sebelum pergi, dia