2. Pengganggu

1204 Kata
Clarie melipat kedua kakinya ke atas sofa sembari menikmati cokelat hangat buatan Daniele. Matanya menatap pada layar empat puluh lima inci di depannya yang tengah menayangkan acara drama komedi percintaan. “Jadi, bagaimana rasanya menjadi sekretaris yang memiliki bos tampan?” tanya Daniele yang mengambil duduk di sebelah Clarie. Clarie sudah menceritakan pada Daniele sejak lama kalau dia memiliki bos yang sangat tampan di kantor. Ketika Clarie mendapat bagian menjadi assisten sekretaris, sahabatnya itu menceritakan dunia per-sekretaris-an yang katanya sering kali dijadikan simpanan bos mereka. Namun, Clarie sama sekali tidak mempercayai hal itu, dia berpikir tidak semua sekretaris menjadi simpanan. Buktinya, Rebecca, sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris Lucas Henderson, mereka tidak ada hubungan apa-apa. “Biasa saja,” balas Clarie tak acuh, tanpa mengalihkan tatapannya pada layar di depan sana. “Ck! Kau kurang menarik mungkin untuknya makanya dia tidak melirikmu,” cetus Daniele. “Maksudmu?!” Clarie menatap Daniele tak paham. “Oh, ayolah, Clarie! Jangan sok polos, deh!” Daniele menaruh mug yang masih tersisa cokelat hangat ke meja. “Kita semua tahu, kalau pekerjaan sekretaris itu seperti apa,” ucap Daniele seraya mengkode dengan dua jarinya. Clarie menggeleng cepat. “Tidak seperti itu, Danny, Sayang. Bahkan aku baru saja memulai selama tiga hari, dan belum apa-apa,” kata Clarie mengingatkan. “Lagi pula dia sudah memiliki istri yang sempurna. Sudah pasti dia tidak membutuhkan wanita lagi, ya kan?” “Marion Larsen, ya?” Daniele menyebut sebuah nama yang adakah seorang model. Clarie mengangguk, membenarkan. “Iya sih, dia wanita yang sempurna. Dia memiliki apa pun yang diimpikan setiap wanita di dunia. Keluarga kaya raya, anak tunggal, karir yang cemerlang, dan suami tampan bak dewa Yunani. Kurang apa lagi, coba?” “Dan sangat cantik,” kata Clarie menambahkan. “Dia seorang model sudah pasti cantik, bodoh!” Clarie memberengut. *** Clarie sudah datang ke kantor lebih awal, dia tidak ingin mengecewakan Rebecca bila harus terlambat lagi. Gadis itu membereskan ruangan milik Lucas, merapikan lembaran-lembaran file yang masih tercecer di meja. Mungkin bosnya itu terburu-buru pulang kemarin sehingga mejanya sampai berantakan seperti ini. Saking sibuknya, Clarie sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang yang baru saja masuk ke ruangan itu. Lucas menelan ludah ketika melihat pemandangan di depannya. Gadis itu menungging di mejanya membuat rok sepan yang dikenakannya naik menampilkan paha dalam gadis itu yang nampak putih mulus. “Argh!” Clarie terpekik terkejut begitu membalikan tubuhnya mengakibatkan lembaran-lembaran yang ada di tangannya berhamburan kembali di lantai. Lucas berdiri bersandar pada pintu dengan kening berkerut. “Ck!” Lucas berdecak seraya melangkah menghampiri Clarie dan membantunya memunguti lembaran kertas di lantai. “Maafkan, saya, Sir,” ucap Clarie tergagap. Usai memberesi lembaran itu, Clarie izin untuk keluar dari ruangan Lucas. “Permisi, Sir,” pamit Clarie yang di balas oleh Lucas dengan dehaman. Clarie menutup pintu di belakangnya dengan perasaan yang campur aduk. Rasa keterkejutan masih menyelimuti dirinya. “Hai, sedang apa kau di sana, Clarie?” tanya Rebecca yang baru saja datang. “Oh, hai! Kau sudah datang, Bec.” Clarie berjalan ke arah mejanya, lalu duduk dan mencoba menetralkan degup jantungnya yang bergemuruh. Ini adalah hari terakhir Rebecca bekerja di kantor, setelah ini wanita berusia dua puluh delapan tahun itu akan cuti melahirkan hingga enam bulan lamanya. Clarie akan memegang penuh semua jadwal kerja bosnya dan mengatur segala keperluan pria itu. “Kau pasti bisa melakukannya, Clarie. Aku yakin itu,” ucap Rebecca memberi dukungan semangat pada rekan kerjanya. “Tentu, aku harus bisa melakukannya. Toh, Tuan Henderson tidak terlalu rewel, benarkan?” tanya Clarie memastikan. “Well, dia memang berbeda dengan Tuan Kendrick yang banyak maunya. Untung saja beliau sudah pensiun dini,” kata Rebecca seraya tergelak, menyinggung bos lamanya sebelum Lucas Henderson. Sore harinya, sebelum pulang Rebecca berpamitan pada Lucas di ruangannya. “Semoga lancar untuk kelahiran buah hatimu, Bec. Bila ada waktu aku akan berkunjung,” ucap Lucas. “Terima kasih, Tuan Henderson. Sampai jumpa lagi untuk enam bulan ke depan, aku titip Clarie,” balas Rebecca. Lucas hanya mengangguk dan melempar senyum tipis. Setelah dari ruangan itu, Rebecca menemui Clarie yang sudah menunggunya untuk turun bersama. Clarie membantu Rebecca membawa beberapa barang dan hadiah dari rekan-rekan kantornya hingga ke lobby, karena di sana suami wanita itu sudah menunggu. “Kau akan baik-baik saja kan?” tanya Rebecca sekali lagi. Clarie menoleh ke arah wanita di sampingnya. “Tentu saja, kau tak perlu khawatir, Bec,” balas Clarie yakin. “Kalau perlu bantuanku hubungi aku kapan saja, Clarie,” pesannya kemudian. “Oke,” balas Clarie pendek. Usai mengantar Rebecca, Clarie keluar dari lobby dan mencari taksi. Ini Jumat malam dia akan menghabiskan malamnya dengan menonton drama favoritnya atau bisa saja dia keluar untuk nongkrong di cafe dengan Daniele. . Lucas meraih ponselnya yang berdering. “Ya?” sapanya pada suara di ujung sana. Tangannya masih bergerak lincah di atas papan keyboard laptopnya. “Oke, nanti aku menyusul.” Kembali pria itu menaruh benda pipih itu di sampingnya, dan melanjutkan pekerjaannya yang tersisa. Dia sengaja membiarkan Clarie pulang lebih dulu sekalian mengantar Rebecca tadi. Karena senin depan gadis itu akan mengurusnya sendiri tanpa bantuan Rebecca. *** Taksi yang ditumpangi Clarie berhenti di depan flatnya di kawasan pinggiran kota New York City. Setelah membayar tarif ongkos, gadis itu pun turun dan menyeberang jalan menuju kedai roti milik keluarga Oswald. “Selamat datang,” sapa Rosemary pemilik toko itu yang tengah duduk di depan konter kue. “Hai, Clarie?” “Hai, Rose. Apa kabar?” tanya Clarie membalas sapaan wanita berusia enam puluh tahun itu. “Kemarilah, kami punya roti kelapa kesukaanmu, Sayang. Dan ini masih hangat, Varo baru saja mengangkatnya dari panggangan,” ucap Rosemary semangat, sembari menyebut nama cucunya dari anak pertamanya. “Wow! Sepertinya enak, tolong beri aku tiga potong,” kata Clarie sumringah. “Ini ambilah.” Rose menyerahkan paper bag yang berisi roto kepada Clarie. “Harum sekali,” ujar Clarie menghidu aroma dari roti yang diterimanya. Tangannya merogoh dompet dari dalam tas selempang dan mengeluarkan selembar uang, lalu diangsurkan pada Rosemary. Usai membayar Clarie pun keluar toko dan kembali menyeberang jalan menuju ke flatnya. Dia membuka pintu utama, lalu naik ke lantai di mana flatnya berada. Wajahnya berubah kesal begitu melihat seseorang yang tengah berdiri di depan pintu flatnya. “Halo, Manis. Lama sekali kau kembali, hm,” ujar pria bertopi kupluk itu. “Sedang apa kau ke sini?” tanya Clarie ketus. “Ck! Jangan kesal begitu. Apa yang kau bawa itu?” Clarie melirik paper bag di tangan kirinya. “Ini roti. Kau lapar?” tanya Clarie lagi. “Aku tidak lapar, Clarie. Aku butuh uang. Berikan aku uang, Clarie!” kata pria itu kesal. “Aku tidak punya uang,” balas Clarie cuek, seraya membuka pintu flatnya. “Berikan aku uang atau adikmu kujadikan p*****r di rumah bordil!” ancam pria itu di telinga Clarie. Tubuh Clarie menegang. Terpaksa gadis itu mengambil dompetnya dan memberi beberapa lembar uang pada pria menyebalkan itu. “Ambil dan jangan kembali lagi!” desisnya tajam. “Kita bertemu lagi Minggu depan, Manis,” ucap pria itu seraya menoel dagu Clarie dan beranjak pergi. Buru-buru Clarie mengelap dagunya yang bekas sentuhan menjijikan itu dan masuk ke dalam rumah serta menguncinya. Dia sangat membenci pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN