Pria tadi adalah Steve, ayah tirinya, dia sering datang menemui Clarie di flatnya setelah mengetahui tempat tinggal gadis itu dari seorang kenalannya di bar.
Ibunya berpisah dengan ayah kandungnya ketika dia masih kecil, lalu ibunya menikah lagi dengan pria yang ditemui di bar tempatnya bekerja. Steve dan Silvia menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Caitlin yang saat ini telah berusia dua belas tahun.
Hubungan Clarie dan ibunya tidak harmonis, karena Clarie hampir saja dilecehkan oleh ayah tirinya yang tengah mabuk kala itu. Kemudian Clarie meminta ibunya untuk menceraikan pria itu, tetapi Silvia menolak.
Pada usia tujuh belas tahun Clarie memutuskan pergi dari rumah dan memilih tinggal sendiri. Awalnya dia bekerja di sebuah mini market dan restoran cepat saji untuk membiayai hidup dan kuliahnya.
Setelah pertemuan dengan ayah tirinya tadi, membuat mood Clarie memburuk. Dia pun menghubungi Daniele dan memintanya untuk datang ke rumahnya.
Kurang dari tiga puluh menit kemudian sahabatnya itu tiba di flatnya.
“Kenapa tidak kau usir saja, pria b******k itu?!” omel Daniele marah. Dia benci bila melihat pria itu datang hanya untuk memeras Clarie terus menerus. “Bodoh!” makinya lagi.
Daniele memang selalu berbicara ceplas ceplos tanpa tahu tempat, dan tak segan mengatai Clarie bila tahu gadis itu telah melakukan hal bodoh.
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Kalau dia datang dan meminta uang lagi tendang saja selangkangannya sampai dia terjungkal kesakitan. Please, Clarie jangan lemah!” seru Daniele lagi masih dengan emosi.
“Oke! Oke!” balas Clarie kesal.
“Ganti pakaianmu, kita ke club malam ini!” seru Daniele seraya membuka jendela kamar Clarie untuk merokok.
“Kebetulan sekali, moodku sedang kacau!” sahut Clarie dari dalam kamarnya.
Clarie ingin sekali mabuk malam ini, dan melupakan kekesalannya pada ayah tirinya tadi. Dia tak perlu takut bila minum hingga mabuk, ada Ronald, kakak Daniele yang bekerja di sana sebagai bartender yang akan memantau mereka.
Clarie mengenakan dress berwarna oranye dengan panjang di atas lutut dan leher yang terekspos. Rambut ikal cokelat emasnya dia biarkan tergerai indah di punggungnya. Clarie memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi, tetapi sedikit berisi. Namun, dia memiliki wajah yang sangat cantik.
“Aku siap!” ucapnya berdiri dengan satu tangannya bertolak di pinggangnya.
Daniele menoleh ke arah Clarie dan memandang menggoda pada gadis itu.
“Aku jamin kau akan jatuh ke pelukan seorang pria malam ini,” ucapnya yakin.
Clarie menertawakan ucapan Daniele.
“Ayo, kita berangkat!” ajak Clarie seraya mengambil tas tangannya.
Sekitar tiga puluh menit kemudian keduanya tiba di club malam di mana Ronald kakak Daniele bekerja. Mereka tidak terlalu sering datang ke sini, karena Daniele selalu sibuk dengan pekerjaannya.
“Halo, Nona-nona cantik, kalian mau pesan apa?” sapa Ronald menyambut dua wanita itu.
“Aku mau Scotch saja,” pinta Daniele.
“Kau?” tanya Ronald pada Clarie.
“Um, samakan saja.”
“Oke. Wait!”
Ronald menaruh dua gelas kecil pesanan Daniele dan Clarie.
Dari lantai atas seorang pria mengerutkan kening ketika matanya tak sengaja tertuju pada seorang gadis yang tengah berada di meja bartender. Gadis bergaun orange.
“Seksi,” ucapnya pelan.
“Ada target?” tanya Jonathan Gigs seraya menopang tangan di pagar pembatas.
“Tidak ada,” sahut Lucas datar. “Kita ke bawah,” ajaknya seraya menepuk pundak sahabatnya pelan.
Lucas berjalan menuju tangga dengan diikuti oleh Joe di belakangnya. Keduanya tiba di bartender dan memesan Vodka. Lucas masih memperhatikan gadis bergaun oranye itu yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk.
Joe tengah mengajak wanita di sebelahnya mengobrol. Sedangkan Lucas masih memantau Clarie dari jarak yang tak nampak dari pandangan gadis itu.
Seorang pria mendekati Clarie yang hampir mabuk.
“Kau mabuk, Sayang?” sapa pria asing itu.
“Siapa kau?!” tanya Clarie ketus.
“Santai, Sayang. Bagaimana kalau kita turun ke lantai dansa?” ajak pria itu.
“Tidak mau!” Clarie menolak pria itu mentah-mentah.
Clarie memutar kepalanya ke kiri dan kanan mencoba mencari keberadaan Daniele. Tetapi, dia tak juga menemukan sahabatnya itu, tadi Daniele sempat pamit akan pergi ke toilet. Namun, hingga kini batang hidungnya belum juga terlihat. Terpaksa Clarie pun menjemputnya ke sana, khawatir terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.
“Ronald, aku akan menyusul Daniele ke toilet,” katanya pada bartender yang tangannya penuh dengan tato.
“Oke, Clarie. Cepat kembali ke sini,” balas pria itu.
Lucas masih mengawasi Clarie yang turun dari kursi bar, lalu tak lama pria yang menganggu gadis itu pun mengikutinya.
Lucas pun mengikuti pria itu, khawatir pada gadis itu karena sempat menolak tadi.
“Hei! Luke mau ke mana kau?!” teriak Joe yang masih mengobrol dengan wanita di sampingnya.
Lucas tak menyahut memilih berjalan cepat menuju lorong yang searah dengan toilet.
“Daniele?!” teriak Clarie dari luar pintu toilet. “Apa kau di dalam?” panggilnya lagi seraya mendorong pintunya.
Terdengar suara desahan dari dalam bilik toilet. Entah suara milik siapa. Clarie memilih untuk kembali keluar. Namun nahas, pria yang ditolaknya tadi ada di hadapannya dengan seringai yang menjijikan.
“Minggir!” usirnya pada pria itu.
“Kau tak akan bisa ke mana-mana lagi, Cantik.” Pria itu tertawa mengejek dan napasnya mengeluarkan bau tak sedap.
Tiba-tiba pria itu mengeluarkan sebuah sapu tangan dari saku celananya. Sepasang mata Clarie terbelalak ketika pria itu langsung menyerangnya dan menempelkan sapu tangan itu di wajahnya.
“b******n!” pekik Clarie yang sempat memberontak dan pada akhirnya tubuhnya pun melemas akibat pengaruh obat bius.
“Akhirnya kita akan bersenang-senang,” ujar pria itu terkekeh senang.
“Dasar pria pengecut!” desis suara di belakang pria itu ketika dia sedang mengangkat tubuh Clarie.
“Urus saja urusanmu sendiri!”
“Yang kau bawa itu tunanganku,” kata Lucas berbohong.
Pria itu tergelak. Menertawakan ucapan Lucas.
“Kau pikir aku percaya. Heh?!” Melanjutkan berjalan menuju pintu belakang dengan Clarie masih di gendongannya.
“Lepaskan dia atau kau akan menyesal!” desis Lucas tajam.
“Ck! Bagaimana kalau kita memakainya bergantian?” tanya pria itu memberi penawaran.
“Aku tidak suka berbagi!” ucap Lucas.
“Kau membuang-buang waktuku, b******k!” maki pria itu kesal. “Hentikan aku kalau kau bisa!” tantangnya lagi.
Tak mau membuang waktu, Lucas pun segera menerjang pria itu sehingga Clarie terlepas dari gendongannya.
“Sialan!” ujarnya murka. Dibiarkannya Clarie tergeletak di lantai.
Dua pria itu saling beradu kekuatan otot. Lucas berhasil menangkis semua pukulan yang dilayangkan pria itu dengan mudah, lalu kembali membalas serangan yang tak bisa terelakkan.
Sebuah tinju milik Lucas bersarang di perut pria itu dan membuatnya langsung tumbang.
“Argh! Sialan!” Pria itu melenguh kesakitan dan tidak sanggup untuk bangkit membalas Lucas.
Lucas menepuk-nepuk celana dan kemejanya yang kotor terkena debu. Kemudian menghampiri Clarie yang masih tergeletak dan belum sadarkan diri. Lucas mengangkat tubuh Clarie dengan kedua tangannya dan membawa gadis itu keluar dari lorong yang sepi ini.
“Kau milikku, Clarie Evans,” ucap Lucas seraya mengecup sudut bibir gadis itu lembut.
***
Pagi itu Clarie terbangun dengan kepala yang berdenyut sakit. Dia melihat selimut putih yang menutupi tubuhnya, sontak dia tersadar. Matanya memindai ke sekeliling ruangan dengan tatapan nyalang.
Ruangan ini terlihat rapi dan luas. Clarie kembali menyadari dan melihat pakaian yang dikenakannya sudah berubah tidak lagi memakai dress oranye yang dia kenakan semalam. Dia mulai panik.
Clarie melihat pintu yang sepertinya mengarah ke balkon terbuka, karena tirai yang menutupinya melambai-lambai tertiup angin.
Seseorang muncul dari sana, dan membuat jantung gadis itu berdegup kencang.
“Selamat pagi, Clarie Evans,” sapa suara berat itu.
Sontak saja mata gadis itu terbelalak mengetahui siapa pria yang menyapanya.