Kamar itu temaram, hanya diterangi oleh cahaya lilin elektrik yang menggantung di sudut - sudut ruangan menciptakan nuansa sunyi namun juga romantis bagi si pemilik kamar. Lelaki itu berdiri diam menatap dinding kamarnya yang berhiaskan ratusan foto seorang wanita dari berbagai sisi. Sebelah tangannya menengadah menyentuh satu foto yang baru saja diambilnya. Sudut bibirnya perlahan - lahan melengkung, kelereng cokelat di balik kacamata itu berkilat dengan kegirangan.
“My Prince, sayangku, pujaan hatiku, cintaku. Akhirnya kita bersatu lagi setelah sekian lama.”
“Kamu benar - benar takdirku.”
“Ahh… sayangku. Lena sayang. Ahh…” Bisiknya sembari membelai foto itu dengan jemarinya yang terpasang cincin. Desahan liar terdengar seiring sebelah tangannya yang juga ikut bergerak - gerak tak menentu.
***
Helena tidak habis pikir kenapa semuanya tiba - tiba menjadi seperti ini? Firasat buruknya ternyata jadi kenayataan.
Perempuan itu menggigit ujung bibirnya dengan kedua kakinya yang gemetar saat lagi - lagi melihat rangkaian bunga menghiasi ruang kerjanya. Lelaki bernama Peter itu untuk sekian kalinya membuatnya terkejut sekaligus tak tenang luar biasa. Bagaimana tidak, sejak kemunculan pria itu dua hari lalu yang tiba - tiba di rumah sakit ini, Helena menjadi tidak bisa berkonsentrasi secara penuh.
Perasaan tidak tenang dan tidak nyaman menghantui dirinya, apalagi mengingat fakta bahwa lelaki itu mulai kemarin telah bekerja di rumah sakit ini.
Dia tidak habis pikir, dan tak menyangka bahwa lelaki itu memiliki sertifikat dokter. Sejak kapan?
Yang Helena tahu dulunya lelaki itu adalah mahasiswa dari jurusan berbeda dengannya. Entah apa, yang jelas bukan dokter.
Dan mulai kemarin pria itu telah bebas keluar masuk rumah sakit ini, terlebih lelaki itu menggunakan ruangan tepat di sebelah ruang kerjanya. Ruangan yang seharusnya milik rekannya kini berubah menjadi miliknya.
Ayahnya pasti ikut campur untuk ini semua.
‘Sial.’
Helena menggertakkan giginya kemudian berjalan mengambil puluhan bunga mawar merah yang menghiasi ruangannya. Perempuan itu tak sungkan - sungkan untuk segera membuang bunga itu ke tong sampah.
“Pagi Lena.”
Begitu suara itu menyapa, tubuh Helena sontak menegang. Dia menoleh menatap pria berperut buncit di belakangnya yang sekarang bersandar di pintu masuk sambil tersenyum manis ke arahnya.
“Ahh, kau membuang bunga - bungaku.” Gumamnya melirik Helena yang berada d dekat tong sampah membuang bunga - bunga kirimannya. Lelaki itu menghela nafas, “Maafkan aku Lena!”
Dia berjalan mendekat.
“Aku lupa kau tidak menyukai bunga mawar, kau lebih menyukai bunga Lyly kan? Besok aku kirimkan.”
Fuckk.
Helena mengumpat dalam hati. Tidak habis pikir lelaki ini malah tersenyum dengan tidak tahu malunya bicara seoalah - olah apa yang dia lakukan tidak mengganggu.
“Tidak usah. Aku tidak butuh ini semua.”
“Lena sayang, kau marah padaku?”
Mata Helena langsung menatap nyalang pria di depannya. Dia mendesis, “Berhenti bicara seperti itu!”
“Kenapa? Kamu kan tunanganku.”
“Hei…” Helena geram. Urat di keningnya berkedut melihat reaksi pria itu yang tampak baik - baik saja dan seoalah apa yang dia lakukan dan katakan adalah hal yang wajar.
“Aku bukan tunanganmu dan tidak akan pernah menjadi tunanganmu.” Helena menekan setiap kalimatnya agar lelaki ini mendengar semuanya dengan jelas. Tetapi pria itu malah tersenyum.
“Lena, aku tahu kau malu mengakuinya. Tidak apa - apa. Aku mau menunggu sampai kau mengakui perasaanmu.”
Hell.
Kening Helena mengernyit, “Aku sudah mengakui perasaanku bahwa aku tidak akan pernah menjadi tunanganmu. Dengan kata lain aku tidak mau menjadi tunanganmu SAMPAI KAPANPUN.”
“Dan kenapa kau berada di rumah sakit ini? Sebaiknya kau pergi!”
Peter sama sekali tak sakit hati. Pria itu malah melebarkan senyumnya lalu duduk bersandar dengan percaya diri, “Aku ke sini karena menyelamatkanmu, Lena.”
“Kau kabur dari pesta itu telah membuat malu banyak pihak. Aku mengerti ayahmu pasti marah besar, karena itulah aku meredam kemarahannya dengan menawarkan diri bekerja di sini dan ayahmu setuju.” Jeda sejenak, dia maju lalu mengerling, “Sekaligus agar kita berdua lebih dekat.”
Helena menahan amarahnya. Tidak habis pikir pria ini begitu percaya dirinya bahkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Tidak mau berlama - lama meladeni pria ini, Helena memutuskan pergi dari tempat itu.
Berharap masa tenangnya akan kembali.
Tetapi ternyata tidak. Selama dia berada di rumah sakit ini, dengan Peter juga berada di sini membuat aktivitasnya terganggu, hidupnya tak nyaman.
Peter akan selalu mengikutinya. Kemanapun, dimanapun, meneleponnya berkali - kali, mengirimkan dia pesan setiap saat setiap waktu. Kata - kata perhatian, kata - kata manis dan juga mengiriminya hadiah - hadiah kecil. Supries - supries tak terduga yang membuat Helena semakin risih. Seperti halnya saat dirinya tengah makan siang bersama rekan - rekannya, Peter akan selalu menghambur masuk, menraktir semua petugas medis di sini sekaligus membuat rekan - rekan Helena menyingkir dan meninggalkan mereka hanya berdua.
Seluruh rumah sakit ini tahu bahwa pria yang saat ini mengintilinya kemana - mana itu adalah tunangan Helena dan berita yang tersebar ialah mereka akan segera menikah sebentar lagi.
Entah siapa yang membuat gosip itu, tetapi yang jelas semua itu membuatnya muak.
“Sayang, kau suka daging kan. Ini untukmu!” Peter menyodorkan steak segar ke arah Helena, “Dan kurangngilah makanan pedas, itu tidak baik untuk kesehatanmu, lho!”
“Sebagai gantinya makanlah ini! Sengaja ku pesan dari chef mahal untukmu my Prince!”
“Oh, ya ampun. Perhatiannya.” Sheila menyeletuk. Adik berbeda ibu itu menatap kagum kemesraan keduanya, “Aku jadi iri.” Dia lalu menatap Helena, “Kakak, sepertinya kak Peter sangat mencintaimu. Kakak pasti akan sangat bahagia bila bersamanya.”
Peter mengangguk, “Tentu saja aku sangat mencintainya. Aku pasti akan membuatnya bahagia.” Lelaki itu tertawa bahagia begitupun dengan Sheila yang tampak terkekeh senang. Sementara Helena terdiam sudah kehilangan nafsu makannya ditambah dengan kedatangan adiknya menambah rusaknya suasana.
Ingin sekali dia melemparkan piring ini ke kedua manusia itu.
Alex_ pria yang sedari tadi berdiri di samping Sheila sekaligus suaminya buru - buru mengajak pergi istrinya saat melihat tatapan Helena. Pria yang juga merupakan dokter tertampan di rumah sakit itu berseru, “Sheila, ayo kita makan!”
Sheila terkesiap, “Ah… iya sayang.” Balasnya lalu tersenyum kemudian sengaja merangkul lengan suaminya erat.
Orang - orang lainnya yang ada di sana hanya terdiam menyaksikan pertunjukkan itu.
Ini benar - benar….
Helena segera berdiri kemudian pergi meninggalkan kantin itu dan segera pergi menuju rumahnya_ tepatnya menemui ayahnya.
***
“Ayah benar - benar keterlaluan.” Begitu berhadapan dengan ayahnya, kalimat itulah yang ia cetuskan.
George Brooks hanya duduk tenang menatap puterinya yang tampak luar biasa marah, “Justru ayah yang seharusnya bilang seperti itu.” Pria itu berdiri, “Baru bertemu setelah tiba - tiba kabur dan kau berkata seperti itu dengan ekspresimu ini, sungguh tak sopan.”
Hah…
Helena menggeleng tidak habis pikir. Perempuan itu mengusap rambutnya ke belakang dengan frustasi.
“Jadi ayah menyalahkanku sekarang. Bukankah semua ini karena ayah? Kalian tiba - tiba menjebakku datang ke pesta peresmian yang ternyata juga pertunangan. Salah siapa ini? Aku?”
“Ayah sudah bilang akan menjodohkanmu.”
“Dan aku sudah menolaknya.”
“Dan ayah tidak pernah menyetujuinya.”
Hah.. Helena nyaris kehilangan nafasnya, dia menatap ayahnya dengan sorot kecewa, “Itu tidak menjadikan ayah berhak untuk menjebakku melangsungkan pertunangan sementara aku hanya tahu itu pesta peresmian perusahaan.”
“Jika tidak begini kau akan terus menolak dan tidak akan menikah seumur hidup.”
“Ayah…” Nafas Helena tersendat, dia lalu menggeleng, “Tapi ayah tahu pria itu_ Peter, dia adalah penguntit ayah. Penguntitku selama bertahun - tahun sejak kuliah, ayah juga ingat itu kan?”
“Ayah tega menjodohkanku dengan pria semacam itu?”
“Helen…” George Brooks kini mendengkus. Dia mulai terbawa emosi dengan ucapan - ucapan puterinya, “Itu karena dia menyukaimu. Bahkan sampai sekarang dia mau menunggumu dan rasa sukanya padamu tidak pernah mati.”
“Dia gila ayah.”
“Helen, itu tiak bisa diartikan gila. Setelah ayah pikir, wajar saja anak muda dulu mengungkapkan perhatiannya dengan cara seperti itu.” Ya, dia tahu dulu puterinya begitu resah karena hidupnya terganggu oleh seorang stalker, dan dirinya sebagai ayah berusaha untuk melindungi puterinya bahkan dia berniat memenjarakan penguntit itu. Tetapi beruntung, puterinya pada akhirnya bertemu pria yang bisa melindunginya yakni Jack. Akan tetapi pria itu sudah mati dan puterinya sampai sekarang masih terjebak dengan cintanya dan seiring bertambahnya umur tidak ada tanda - tanda untuk Helena membuka hati.
Pernah dia mendapati puterinya beberapa kali berkencan, tetapi hanya itu, tak ada hubungan lebih dan dirinya berpikir untuk memberikan puterinya kepada lelaki yang baik, mapan dan mencintainya apa adanya. Hingga suatu hari dia bertemu dengan Peter, yang ternyata merupakan putera petinggi Grup Parmas sekaligus salah satu penyumbang dana terbesar di rumah sakitnya.
Peter ternyata adalah laki - laki yang baik dan sampai sekarang masih menyimpan perasaan pada puterinya. Pria mana yang bertahun - tahun bahkan sudah lama tak bertemu masih mencintai seseorang? Lelaki seperti itu sangat langka. Oleh karena itu dia yakin bahwa Peter adalah sosok yangbaik untuk puterinya yang bahkan kini sudah tak lagi muda.
“Hah… ayah bilang wajar? Ayah benar - benar sudah gila.” Lagi - lagi Helena tak habis pikir, dia mendongak menatap ayahnya mantab, “Dan untuk apa ayah sampai memasukkannya ke rumah sakit kita? Pokoknya aku tidak akan pernah mau menikah dengannya.”
“Helen, jika tidak karena dia ayah sudah benar - benar marah besar padamu.” Ya, dia sempat akan membuang semua barang - barang Jack yang Helena simpan, tetapi ia urungkann ketika tiba - tiba Peter menelepon dan memberi solusi untuknya. Kala itu Peter berkata bahwa dia telah menenangkan ayahnya_ yakni tuan Hopskin agar tidak marah karena kejadian pesta itu.
George bersyukur dan menganggap solusi dari Peter adalah jalan terbaik untuk dirinya, rumah sakit terlebih Helena agar mereka lebih saling mengenal.
“Ayah melakukan semua ini untukmu.” Imbuhnya.
Helena menggeleng, “Ayah melakukan semua ini untuk diri ayah sendiri.”
“Pokoknya apapun yang ayah lakukan, aku tetap tidak akan mau menikah dengannya titik.”
“Lalu kau akan menikah dengan siapa hah?” George Brooks emosional, “Apa kau akan sendiriaan seumur hidup? Ayah ingin kau menikah dan membangun keluarga kecilmu sendiri. Lupakan Jack! lupakan masa lalumu! Dan hiduplah ke depan. Ingat umurmu Helen! Kau sudah tidak lagi muda, dan ayah tidak akan selamanya hidup di dunia ini menjagamu. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Helena tersentak dan hendak mendekat saat ayahnya nyaris saja jatuh sembari memegangi dadanya yang terasa nyeri. Penyakit jantungnya kembali kambuh. Tetapi dia lebih dulu mengangkat sebelah tangannya menghentikan Helena yang hendak memapahnya.
“Ayah ingin kau bahagia.”
Tapi tidak begini caranya ayah? Aku bisa bahagia dengan banyak cara.
Helena ingin mengatakan itu, tetapi sadar bahwa penyakit ayahnya kembali kambuh. Dia tidak ingin semuanya bertambah buruk dengan terus berdebat seperti ini. Hingga akhirnya Helena mengalah.
“Baiklah, ayah ingin Helena menikah kan?” Helena berkata, suaranya melembut, “Aku akan melakukannya. Tapi Helen yang akan mencari sendiri.”
***