7. Hotel sederhana

1071 Kata
"Benar, tidak masalah menginap di sini?" Tanya Daniel ragu saat melihat kondisi hotel yang hendak dipakai perempuan itu. Daripada disebut hotel, sebetulnya tempat ini lebih cocok disebut losmen. Bangunannya kecil dan bertingkat. Kemungkinan ada empat lantai. Hotel ini juga tampak lusuh dengan dinding - dindingnya yang menghitam seperti jejak terbakar. Pun dengan plang lampu penanda hotel yang berkedip - kedip dengan sekarat. Beberapa sarang laba - laba juga terlihat di sudut - sudut atap, ditambah dengan bau asap rokok plus beberapa pasangan pemuda pemudi dan juga pria berumur serta perempuan muda yang keluar masuk. Well bisa dianalisis hotel seperti apa ini. "Tidak masalah." Jawab Helena. Meskipun dirinya juga agak sedikit tak nyaman, tapi hotel ini adalah pilihan terbaik untuk kondisinya sekarang plus untuk dompet pria itu juga. Biaya sewa permalam di sini sangat ekonomis. Ditambah sarapan lalu dia juga berpikir untuk menginap setidaknya dua hari, menenangkan diri sebelum akhirnya kembali pulang siap menghadapi amukan ayahnya. Ya, bisa diduga ayahnya pasti akan marah besar ditambah dengan percikan kecil yang dibuat oleh Milen Fernandes dan Sheila. Ibu dan anak itu keduanya sama saja. Cihh. Daniel agak sanksi. Tetapi kemudian dia mengangguk lalu membayar harga sewa kamar setelah memastikan bahwa tempat ini walaupun dari luar kondisinya begini, tetapi tetap aman untuk ditinggali perempuan seorang diri. "Benar tidak apa - apa?" Tanyanya sekali lagi. Helena menggeleng, "Ya. Tidak masalah." Sebenarnya sedikit masalah. Imbuh Helena dalam hati. Manik kelamnya memindai sekitar dengan ragu. Akan tetapi ini sudah keputusannya. Dia juga ingin cepat - cepat melepas pakaiannya kemudian menutupi dirinya dengan selimut tebal supaya tubuhnya hangat. Daniel melihat tekad di mata perempuan itu dan pada akhirnya dia menghela nafas lalu segera memesan kamar. Sembari menunggu karyawan hotel mencari kunci, Daniel mendekati Helena yang duduk di sofa tunggu sambil merapatkan kedua tangan dan kakinya mengusir dingin. "Tunggulah di sini dulu!" Ujar Daniel. Helena mengangguk dan melihat pria itu berjalan keluar hotel entah kemana. Beberapa menit setelahnya, Daniel datang membawa dua kantong belanjaan yang berisi roti serta air mineral dan juga.... Manik kelam Helena menatap satu kantong plastik kecil berwarna hitam yang disodorkan padanya. "Ini! Kaki mu harus diobati." Helena tertegun melihat isi dari plastik itu yang ternyata adalah perban, kapas serta antiseptik untuk mengobati luka. "Anda ingin aku membantu mengobatinya?" Melihat Helena yang hanya terdiam menatapi kantong belanjaan itu membuat Daniel mengimbuhkan dan sontak saja wanita itu mengerjap kemudian langsung menjawab. "Menurutmu aku tidak bisa mengobatinya sendiri? Aku ini dokter." Helena mendengkus dan segera mengambil plastik itu. Daniel hanya terkekeh. Tahu bahwa perempuan itu begitu antipati padanya. Bagaimanapun insiden beberapa bulan lalu cukup membuat wanita itu membencinya. Ya, meski pada kenyataannya hal itu tidak sampai seintens apa yang dipikirkan Helena padanya. Tetapi entah kenapa meski begitu, Daniel masih merasa enggan menceritakan yang sebenarnya. "Kalau begitu selamat malam, dokter Helena. Semoga hari mu menyenangkan." Ujar Daniel sebelum pergi meninggalkan wanita itu di sini. Tapi.... "Terimakasih." Balas Helena. Bagaimana pun dia adalah orang yang cukup tahu diri untuk mengucapkan kalimat itu pada seseorang yang telah membantunya meski dia tidak menyukainya. Daniel menoleh lalu mengangguk. Sebelum berbalik kembali, Helena berseru, "Tunggu!" Helena mendekat, menatap lelaki yang masih berdiri menjulang di depannya, "Bagaimana caraku menghubungimu untuk membayar hutang?" "Akulah yang akan menghubungimu, dokter." Balas Daniel lalu pria itu tersenyum sebelum kemudian kembali membalikkan badan melangkah pergi sementara Helena masih tergugu di tempat. Menghubungiku? "Bagaimana caranya? Kau tidak tahu nomer~." Seru Helena dari kejauhan. Langkah Daniel terhenti. Pria itu kembali menoleh sembari memasang senyum misterius, "Mudah bagiku mencari tahu, dokter." Timpalnya sebelum kemudian benar - benar berlalu pergi. *** Hah... Apa maksud laki - laki itu tadi? Helena tidak paham dan tidak peduli juga. Terserah. Mungkin saja laki - laki itu akan mendatangi rumah sakitnya untuk menagih hutang bukan? Helena mendengkus. Bagaimana pun hutang tetaplah hutang dan harus dibayar. Perempuan itu lalu mengaduh kesakitan saat berusaha mengolesi salep ke kakinya yang terluka. "Aww... Kenapa perih sekali?" Gumamnya sembari meniup - niupi lukanya. Perempuan itu juga menjadi sedikit menyesal kenapa dirinya harus menginap di hotel ini. Nyamuk dimana - mana. Kamar yang sesak dengan bedcover tebal sih, tapi sedikit membuat gatal. Lalu perapian di ruangan ini juga tidak berfungsi dengan baik. Ditambah dengan ruangan yang sama sekali tidak kedap suara. Suara - suara aneh di kamar sebelah benar - benar membuatnya risih. Ohh.. Ya ampun! Ini benar - benar... Argghhhh!! Helena segera menghempaskan tubuhnya di ranjang sembari menutupi telinganya dari polusi suara menggelikan itu. *** "Kalian belum menemukannya?" Alis tuan Brooks mengerut. Dia menatap marah ke tujuh anak buah di depannya yang tak becus mencari anak perempuannya. "Cari di tempat teman - temannya atau di rumah sakit? Mungkin dia menginap di sana." "Maaf tuan, di sana juga tidak ada. Kami sudah mencarinya di sana." Tidak mungkin. George Brooks mendengkus. Dia memegang kepalanya yang terasa akan meledak. Kemana lagi Helena akan pergi? Di tengah hujan lebat seperti ini. Bahkan dia tidak membawa ponsel serta uang sepeserpun. Tidak mungkin gadis itu pergi jauh atau menginap di hotel bukan? Benar - benar. Tentu sjaa sekarang George Brooks sangat marah. Bagaimanapun juga kejadian tadi benar - bebar membuatnya malu. Puterinya itu telah mempermalukannya di depan umum. Dia juga kehilangan muka kepada seluruh teman - teman serta koleganya. Dia juga sangat sungkan dan malu kepada Benjamin Hopkins. Petinggi Grup Parmas_ ayah dari Peter. Kejadian tadi secara tidak langsung juga mempermalukan pria itu. Bisa - bisa kerjasamanya dengan Grup Parmas akan terganggu. Ya, pasti terganggu. Melihat muka Benjamin Hopkins yang sudah merah padam tadi. Oh ya ampun. Puterinya benar - benar. George Brooks memegangi jantungnya yang seperti sedang dicubit. Jika begini terus bisa - bisa penyakit jantungnya kambuh. "Sayang tenang!" Isterinya mendekat kemudian mengusap bahunya menenangkan. Lewat ekor matanya, dia mengisyaratkan agar anak buahnya pergi. Perempuan itu lalu menggiring suaminya untuk duduk. "Kau harus tenang sayang? Helen itu keras kepala. Sebentar lagi atau besok dia pasti akan kembali." Ujarnya lembut, "Lalu mengenai pertunangan tadi, dia pasti sangat terkejut." Jeda sejenak, "Wajar kalau dia kabur." "Semua itu karena Helen masih terus mengingat kekasihnya kan?" "Oleh karena itu satu - satunya cara ialah, lebih baik buat dia tidak mengingat kekasihnya lagi." George Brooks seketika menoleh menatap istrinya. Ya benar. Kelakuan Helena yang selalu menolak perjodohan padahal umurnya sudah tiga puluh tiga dikarenakan kekasihnya yang telah meninggal bertahun - tahun lalu. Puterinya tidak bisa move on. Oleh karena itu..... "Ya kau benar. Karena itu kita harus menyingkirkan segala hal yang berhubungan dengan Jack." Balas George kemudian segera berdiri masuk ke kamar puterinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN