Tidak bisa dibuka.
Lelaki itu menipiskan bibirnya dengan mata meluruh pedar ketika pintu ruangan yang biasanya tak tertutup itu kini terkunci dari dalam. Pria itu kemudian mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi nomer seseorang tetapi lagi - lagi ponsel orang itu tidak aktif membuat ekspresi di wajahnya semakin tidak karuan.
Dia berbalik namun tak meninggalkan tempat itu lalu bersandar di pintu sembari merenggangkan jas dokternya kemudian sebelah tangannya ia masukkan ke saku celana dengan sikap ala bos besar. Lewat sebuah isyarat, Peter memanggil salah satu perawat yang lewat untuk mendekat.
Dia menunjuk pintu bercat putih itu lalu memerintahkan si perawat bernama Belinda untuk mengetuknya.
Sang perawat tampak bingung namun tetap melakukan perintah lelaki itu. Ya, bagaimanapun para pekerja di rumah sakit ini sudah tahu siapa Peter. Dia adalah orang spesial_ orang penting dan berpengaruh yang ditempatkan oleh sang pemilik rumah sakit itu sendiri alias direktur rumah sakit ini yakni dr. George Brooks ayah dari dr. Helena. Dan lelaki di depannya ini juga merupakan calon suaminya. Ya, begitulah berita yang sudah tersebar.
Ketika pintu itu diketuk, terdengar suara yang menyahut dari dalam.
“Siapa?”
Sang perawat melirik Peter yang berkata melalui gerak bibir. Dengan agak gugup dia menjawab, “I… ini saya dokter. Belinda.”
Kening Helena mengernyit, “Ya, ada apa?” Jawabnya. Pintu masih belum ia buka.
“A… anu. Ini tentang pasien lantai dua.”
Tak ada jawaban, sampai kemudian terdengar langkah kaki dari dalam pun dengan suara kunci yang dibuka. Sebelum seseorang yang di sana membuka pintu, wajah sang perawat sudah memucat sementara wajah pria di belakangnya sangat sumringah.
Mata Helena seketika melebar dan dia melotot marah ke arah sang perawat yang kini menampilkan ekspresi minta maaf sebelum kemudian buru - buru pergi. Takut dengan amukan Helena yang terkenal dengan sikap galaknya bila sedang terganggu. Apalagi bukan rahasia bila sang dokter sebenarnya tidak menyukai tunangannya. Ya, wajar melihat sikap pria itu yang selalu mengintilinya membuat orang juga bisa ikut merasakan keresahan sang dokter.
Wajah Helena yang tadinya biasa sekarang menjadi semrengut melihat Peter di depannya. Sial. Ini pasti ulahnya.
Sejak dua hari yang lalu dia sengaja mengunci pintu ruangannya lantaran Peter begitu tidak tahu malu kerab masuk ke ruangannya tanpa permisi seolah ruangan ini adalah miliknya. Sungguh kurang ajar bukan. Dirinya juga sengaja menonaktifkan ponselnya sebab merasa risih dengan panggilan serta pesan laki - laki itu yang masuk terus menerus ke ponselnya.
Tanpa berkata apapun Helena segera menutup pintu namun tangan lelaki itu lebih dulu mendorong pintu hingga terbuka lebar bahkan Helena juga ikut terdorong olehnya. Peter dengan leluasa masuk dan lelaki itu tanpa punya malu berkata, “Lena, pintumu terkunci.”
Setiap kali lelaki itu memanggilnya Lena_ dia benar - benar merasa muak. Dahulu pria maniak ini memanggilnya dengan Helen seperti panggilan orang - orang lain padanya. Tetapi ketika dia dekat dengan Jack_ entah darimana Peter juga mengubah panggilannya dari Helen menjadi Lena. Panggilan yang sama seperti yang Jack lakukan untuknya.
“Ada urusan apa?” Sebenarnya dia sangat malas bicara pada orang ini pun dengan rasa was - was setiap kali lelaki itu berada di dekatnya apalagi tidak ada orang lain di ruangan itu.
Siapa yang tahu dia akan melakukan tindakan macam - macam padanya bukan? Sigap, Helena langsung meraih kunci yang masih terpasang di pintu dan membiarkan pintu raungannya terbuka lebar.
Peter yang melihat itu terkekeh. Dia mendesah dengan senyum aneh di wajahnya.
“Jangan takut! Aku tidak akan mengapa - ngapaimu sayang. Sebelum kita menikah tentunya.”
Sudut bibir Helena terangkat dengan rasa jijik yang tidak disembunyikan. Wanita itu mengabaikan ucapan Peter lalu memilih kembali ke mejanya hanya untuk mengambil tas serta sebuah jaket yang sudah dilipat rapi.
Pandangan Peter mengikuti gerakan Helena. Dan setelahnya wanita itu berbalik hendak keluar.
“Kau mau pergi?”
“Tentu saja. Shift ku sudah selesai.” Ya, dirinya sengaja mengambil jadwal shift pagi. Jika mengambil jadwal malam, Peter juga pasti akan menungguinya dimana pada malam hari suasana akan menjadi sangat rentan. Tidak banyak aktifitas, orang - orang berlalu lalang dan itu menjadi sebuah kesempatan bagi para penjahat untuk melancarkan aksi hitamnya. Mengingat di masa lalu lelaki itu pernah melakukan tindakan gila yakni diam - diam menerobos masuk ke kamar flatnya untuk mengambil foto saat dirinya tidur. Mengingat hal itu membuat Helena merinding.
Sejenak tak ada tanggapan dari laki - laki itu. Peter hanya diam, tetapi netra hitamnya memindai gadis itu dengan pandangan yang membuat orang tak nyaman.
Ingin sekali Helena menerobos pergi, namun badan tambun lelaki itu menghalangi jalannya.
“Lena, kau memakai contact lens.” Setelah diam beberapa saat, Peter tiba - tiba berkata dengan nada yang seperti diseret. Bukan pertanyaan tetapi lebih ke pernyataan. Ekspresi lelaki itu sekarang juga tak beriak.
“Kau juga memakai lipstik dan mengganti bajumu.” Pandangannya lalu beralih pada sebuah jaket kulit yang dibawa Helena.
‘Lalu apa urusannya?’ Ingin sekali Helena mengatakannya, namun ia pendam. Atmosfer aneh yang tiba - tiba muncul membuat Helena semakin waspada apalagi pria itu kini melangkah mendekatinya.
Terpikirkan untuknya lari, namun sebelum itu…
“Helen~”
Sebuah suara di luar membuat Helena seketika menghela nafas.
Iparnya_ yakni Alex yang juga merupakan dokter di sini datang. Alex melirik sekilas sosok Peter kemudian berkata pada Helena, “Ada telpon untukmu.”
Helena lalu mengangguk. Tubuhnya yang tadi sempat gemetar menjadi reda dan dia pada akhirnya dengan leluasa melangkah pergi.
“Sebaiknya kau pergi! Ruangan ini akan ku kunci.” Ujar Helena pada Peter.
Sebelum gadis itu keluar dari ruangan_ Peter yang tadi sempat terdiam kini bergerak. Ikut melangkah.
‘Akhirnya lelaki itu pergi juga.’ Helena mendesah lega. Tetapi pada saat dirinya hendak mengunci pintu itu, langkah Peter terhenti. Pria itu menoleh kepada Helena dan berkata,
“Lena, kau tahu beberapa hari ini aku telah membiarkanmu.” Jeda sejenak Peter mengimbuhkan, “Tapi hanya cukup sampai kemarin.” Kali ini bibirnya melengkung membentuk senyum.
Helena tidak tahu apa maksud laki - laki itu. Namun yang jelas perasaannya menjadi terganggu sekarang.
Wanita itu diam sesaat sembari menghela nafas lega saat Peter pada akhirnya berlalu pergi. Dan setelah beberapa saat menenangkan pikirannya, wanita itu menoleh menatap Alex yang masih berdiri tak jauh di sampingnya.
“Telepon dari siapa?”
‘Ahh…’ Alex tampak tergeragap. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Sebenarnya tidak ada telepon.” Balasnya.
Helena menatap Alex lama sebelum kemudian berkata, “Terima kasih.” Dan setelahnya perempuan itu berlalu pergi.
Bagaimanapun hari ini, dia juga sudah mempunyai janji kepada seseorang untuk membayar hutang. Helena kemudian mengangtifkan ponselnya kembali dan pergi ke tempat yang dijanjikan.
***
Sudah tiga cabang rumah sakit B Hospital di daerah terancam bangkrut karena mengalami defisit anggaran. Bahkan satu rumah sakit di kota S nyaris tak ada aktivitas atau kesibukan seperti kuburan sepi yang berbau khas rumah sakit. Biaya pemeliharaan rumah sakit tidak sebanding dengan besarnya pendapatan hingga pihak rumah sakit mengalami kesulitan sampai - sampai kesulitan membeli obat untuk pasien.
George Brooks memijat keningnya yang berdenyut saat melihat laporan - laporan rumah sakit yang dikelolanya. Memang baru tiga yang terancam pailit, tetapi jika hal itu terus menerus dibiarkan sudah pasti akan merembet ke rumah sakit - rumah sakit lainnya. Terutama rumah sakit pusat. Apalagi beberapa perusahaan yang menjadi investor telah memilih mundur.
Inflasi negara juga mempengaruhi semuanya. Dia juga tidak terlalu mengerti kapan tepatnya rumah sakit yang ia kelola menemui masalah difisit anggaran seperti ini.
Dia tidak percaya bahwa tujuh rumah sakit cabang B Hospital yang selalu berjaya sejak puluhan tahun lalu pada akhirnya menemui ajalnya. Bahkan saat ini satu rumah sakit sudah akan diambil alih negara.
Satu - satunya cara untuk memulihkan kembali rumah sakitnya ialah tetap mempertahankan sumber dana dan dana terbesar yang mengalir ialah dari perusahaan yang beberapa tahun lalu baru berinvestasi dengannya, yakni Grup Parmas dengan ayah Peter yang jadi Direkturnya sekarang.
“Jadi_ apa yang harus kau lakukan sekarang sayang?” Milen Fernandes yang sekarang menjadi nyonya Brooks setelah isteri pertamanya meninggal dunia itu bertanya. Wanita yang selalu berpenampilan elegan itu merangkul punggung suaminya lembut.
“Ku dengar beberapa hari ini Helena sedang mengikuti kencan buta.”
George Brooks menghela nafas, “Ya.” Dia memejamkan mata memijati keningnya yang bertambah berdenyut. Perkataan Helena bahwa dia berjanji akan menikah dengan mencari pasangannya sendiri sedikit membuatnya gusar.
“Ya, bukankah itu baik sayang.” Jemari Milen dengan lembut menyingkirkan tangan George dan kini mengganti tangannya untuk memijat kening suaminya. “Tapi aku takut bahwa Helena akan memilih lelaki sembarang.”
Kata - kata yang Milen ucapkan itu begitu lembut, sama sekali tidak terdengar seperti sebuah paksaan. Akan tetapi jika diamati lebih dalam, semua ucapannya lebih ke menggiring dengan cara halus.
“Orang dalam situasi terpaksa bisa melakukan cara nekad.” Milen mendesah. Nada suaranya begitu khawatir, “Meski aku yakin dia msih belum melupakan Jack.”
George mengangguk menyetujui.
“Dan perempuan seusianya itu cukup sulit untuk menemukan lelaki yang sepadan.”
George mengenyit. Tetapi dia tidak mengatakan apapun hingga pada akhirnya setelah berpikir beberapa detik, dia menyetujui ucapan istrinya.
“Bukankah saat ini tetap Peter yang terbaik?”
Kali ini George membuka matanya. Dia menegakkan punggungnya lalu menunduk untuk waktu yang lama. Menyelami dan berpikir.
“Dan dia juga bisa menyelamatkan rumah sakit yang bertahun - tahun berdiri.” Milen kemudian duduk di sebelah suaminya. Mengamati dalam - dalam.
“Namun aku juga tidak bisa memaksa. Hanya saja aku sangat khawatir~.” Milen menggantung kalimatnya sampai George Brooks mengangkat kepalanya dan menoleh menatapnya.
“Helena akan membuat pilihan yang salah.”
***
Tetap di cafe yang sama.
Sekali lagi, pelayan cafe itu mengerutkan kening menatap Helena yang kembali berkencan dengan laki - laki berbeda. Tetapi mulut pramusaji itu sedikit ternganga saat melihat pria pasangan perempuan itu malam ini.
Cool.
Itulah satu kata yang ada di benaknya. Ia juga masih ingat siapa laki - laki ini. Itu adalah pengunjung kemarin yang membuatnya dan teman sesama pramusajinya saling melirik dan senyum - senyum sendiri satu sama lain.
Ohh ya ampun. Kenapa perempuan ini bisa berkencan dengannya?
Pertanyaan itu lagi - lagi hanya ia ucapkan dalam hati.
“Ini jaketmu dan sudah ku cuci. Terimakasih.” Ujar Helena meletakkan jaket itu di depannya.
Daniel yang saat ini mengenakan kaos putih serta celana jeans hitam dengan jam tangan hitam melingkar di pergelangan tangannya membuat penampilan lelaki itu seperti biasa terlihat sederhana tetapi entah kenapa juga tampak modis.
Helena akui. Tetapi itu tidak berarti apa - apa.
“Sebenarnya kau tidak perlu mengembalikannya dokter.” Daniel menjawab, “Aku bahkan sudah tidak ingat punya jaket itu.”
Ini sarkas atau apa?
Helena yang berhati batu tidak mengetahui bahwa itu adalah guyonan. Namun Daniel hanya menarik sudut bibirnya samar melihat reaksi flat wanita itu.
“Dan sekarang kau mau pesan apa? Aku sudah berjanji mentraktirmu.” Helena bicara, dia bertopang dagu, “Jangan hanya kopi. Itu tak bisa membayar hutangku sepenuhnya.”
Daniel mengangguk mengerti. Dia melihat daftar menu yang ada. Namun tepat saat dirinya hendak bicara menunjukkan apa yang ingin ia pesan, suara terkesiap perempuan di depannya membuat Daniel seketika mengangkat kepalanya dan melihat mata gadis itu yang melebar kaget.
Daniel mengikuti arah pandangan Helena ynag tepat tertuju pada laki - laki di luar cafe itu yang tengah berdiri tak jauh memandangi mereka.
***