Kalau sekarang perempuan itu tidak begitu berisik, ia pasti akan menolak dan kapok kencan buta dengan pria rekomendasinya.
Lihat saja wanita itu kini tampak memohon - mohon dengan wajah memelas tetapi mulutnya terus mengoceh membuat telinganya sakit. Oleh karena itu terpaksa_ dan untuk yang terakhir kali ia akan menemui pria rekomen Gisel itu.
“Awas saja kalau tidak beres lagi.”
“Tidak, tidak kali ini pasti beres.” Jawab Gisel meyakinkan, “Dia pengacara, anak tunggal. Kau sudah lihat sendiri tampangnya di foto kan. Dia teman SD suami ku dulu. Suamiku bilang dia sangat terhormat.” Imbuhnya.
Mata Helena menyimpit_ agak sanksi. Akan tetapi ini semua juga demi dirinya hingga pada akhirnya ia menghela nafas sebelum kemudian menyetujui, “Oke.”
Senyuman Gisel sontak mengembang setelah beberapa saat lalu memelas. Bagaimanapun dia sudah terlanjur bilang pada suaminya bahwa malam ini temannya mau untuk diajak ketemuan. Jadi jika secara tiba - tiba dibatalkan, hal itu akan memalukan bukan? Apalagi kali ini dia sangat yakin bahwa pria terakhir ini tidak akan mengecewakan mengingat latar belakang keluarga, pekerjaan serta segi fisiknya.
“Kalau begitu akan ku berikan nomermu. Biar Samuel menghubungimu.”
Helena tak menjawab, tetapi bagi Gisel diamnya perempuan itu berarti anggukan setuju. Dan setelah itu_ hening. Tak ada pembicaraan lagi bagi keduanya. Sibuk dengan pekerjaan masing - masing. Sampai kemudian rekannya yang sebenarnya tidak bisa diam itu kembali berseru.
“Helen, itu jaket siapa?” Sudah lama sebenarnya ia penasaran. Jaket kulit berwarna hitam itu tentunya bukan milik temannya. Lebih ke bukan jaket wanita mengingat bentuknya yang lebih lebar dan gagah jenis jaket - jaket pengendara motor. Tentunya itu milik laki - laki kan? Siapa? Dia kepo. Apalagi jaket itu dikenakan rekannya saat datang pertama kali ke rumah sakit setelah kabur, dan sekarang jaket itu telah diloundry dengan rapi.
Helena melirik jaket yang sudah berhari - hari diletakkan di atas nakas kerjanya. Itu adalah jaket Daniel. Sebenarnya dirinya ingin langsung mengembalikannya beserta utangnya, namun sudah ditunggu - tunggu_ lelaki yang tentunya tahu tempatnya bekerja itu tak kunjung datang membuatnya tidak tahu harus bagaimana. Apalagi dia juga tidak tahu nomer ponsel lelaki itu.
Jadi bagaimana dia akan mengembalikan?
“Milik pria yang membantuku.” Jawab Helen singkat. Lalu ketika dia melihat ekspresi temannya yang tiba - tiba bungah dengan mata bersinar aneh seolah akan berkata Ciee…. membuatnya langsung menambahkan, “Jangan berpikir macam - macam! Itu hanya pria asing.” Ya, pria asing yang pernah tidur dengannya. Untung dia tidak menceritakan kejadian itu kepada sahabatnya. Jika Gisel sampai tahu, sudah habis dia diledek ke sana - kemari.
“Ya, simpan saja kalau begitu.” Komentar Gisel. Dia tentunya tahu membantu dalam hal apa, karena sebelumnya Helena sudah menceritakan bahwa ada orang yang memimjamkannya uang.
“Itu milik orang, bukan punyaku tahu.” Jawab Helena langsung.
Gisel berdecak, “Ya, laki - laki sejati tidak akan mungkin mendatangi rumah sakit ini hanya untuk mengambil jaketnya dan menagih hutang pada wanita yang ditolongnya kan?”
“Baginya pasti memalukan.”
Helena tertegun. Benar juga apa yang dikatakan Gisel. Tetapi bagaimanapun dia harus tetap mengembalikan jaket itu serta uang yang telah ia pinjam. Dia tidak mau mempunyai beban tanggungan. Hutang tetaplah hutang.
Namun bagaimana dia harus mencarinya? Helena mendesah. Hanya bisa berharap bahwa secepatnya laki - laki itu akan muncul.
***
“Kau benar - benar pecandu alkohol ya?”
Suara itu sontak menyentaknya membuat Helena seketika menoleh ke arah seseorang yang duduk di kursi belakangnya. Cafe itu memiliki sepasang kursi yang sejajar dan saling merapat satu sama lain. Khas cafe - cafe westren sehingga tentu saja orang lain akan mendengar percakapan pengunjung lainnya.
Sebenarnya dia tidak peduli dengan hal itu dan merasa acuh tak acuh. Toh budaya kepentinganmu adalah kepentinganmu dan kepentinganku adalah kepentinganku sendiri sudah umum di sini. Akan tetapi sungguh tak disangka, orang yang duduk di kursi lain belakangnya ialah Daniel.
‘Sejak kapan pria itu ada di sini?’ Manik cokelat Helena melebar dengan keterkejutan luar biasa dan dia agak terkesiap ketika Daniel juga menoleh hingga wajah mereka saling berhadapan satu sama lain begitu dekat.
Daniel tersenyum. Pria itu kemudian bangkit_ memutar tubuhnya menghadap ke arah Helena yang masih terkejut tentu saja.
“Tak ku sangka kita bertemu lagi, dokter.”
Helena mengerjap. Dia mendongak menatap pria yang kini berdiri di depannya. Tanpa sadar mengajukan pertanyaan di hatinya, “Sejak kapan kau di sini?”
“Sejak lama.” Jawab Daniel.
Helena tertegun sejenak sebelum kemudian dia telah pulih dari rasa kagetnya dan keningnya langsung berkerut dengan mata menyimpit curiga, “Apa kau menguntitku?”
“Kenapa kau berpikir seperti itu?”
Tentu saja dirinya sangat layak berpikir seperti itu. Pengalaman dirinya pernah menjadi korban penguntit dan juga terlalu banyak kebetulan dipertemuan mereka membuatnya wajar berpikir seperti itu bukan?
“Karena tiba - tiba kita bertemu seperti ini.”
Sebelah alis Daniel terangkat. Tidak terlalu paham apa maksud kalimat ‘seperti ini’ akan tetapi pria itu hanya tersenyum dengan sabar lalu duduk tenang di depan gadis itu.
“Aku juga tidak tahu mengapa tiba - tiba kita bertemu lagi dokter.” Daniel menelengkan kepala tampak berpikir, namun sudut bibirnya menciptakan senyum kecil, “Mungkin hanya kebetulan atau….” Mata Daniel lalu menatap tepat ke bola mata cokelat Helena, “Mungkin juga takdir.”
Untuk beberapa detik hening. Helena nyaris saja kembali tertegun dan kehilangan kata - kata. Tetapi hatinya yang terlanjur membatu seolah dilempar ke otaknya dan dia tidak akan percaya begitu saja.
“Ck. Tidak ada yang namanya kebetulan atau takdir.” Helena menatap Daniel tajam, “Katakan kau pasti diam - diam mengikutiku kan?”
Tawa ringan sontak keluar dari bibir Daniel. Pria itu tidak habis pikir bahwa wanita di depannya ini masih begitu skeptis dan antipati padanya. Dan melihat manik cokelat gadis itu yang kini melengkung dengan kerutan di dahinya sering keluarnya tawanya membuat Daniel jadi ingin…..
“Dokter, harusnya yang berkata seperti itu adalah aku bukan?” Daniel bertopang dagu, “Aku sudah tiba di sini sejak satu jam yang lalu. Lagipula siapa perempuan yang tiba - tiba mendatangiku kemudian menarik jaketku dan meminta pertolongan? Lalu siapa pula wanita yang mabuk kemudian mengajakku untuk tidur ber~”
Helena sontak mengehentakkan kakinya dengan wajah yang sudah pias, “Hentikan!” Tak mau mendengar ucapan pria itu lagi. Akan tetapi tampaknya Daniel masih enggan mengalah.
“Jadi… siapa yang penguntit sekarang, aku! Atau kau_ dokter?” Daniel menahan sudut bibirnya yang tertarik saat melihat wajah Helena dari pias berubah merah karena malu. Wanita itu juga tampak tidak bisa berkata - kata.
“I… itu…” Huh. Helena mendengkus. Dia memalingkan wajah beberapa saat sebelum kemudian balik lagi menatap Daniel. Kali ini menemukan hal lain untuk dibahas.
“Karena kita sudah bertemu, aku akan membayar hutangku.” Ucapnya. Helena tampak diam sejenak, “Lalu untuk jaketmu, sekarang tidak aku bawa. Aku juga pasti akan mengembalikannya.” Helena meraih tasnya kemudian mengeluarkan dompet hendak membayar pinjaman tetapi…
“Aku tidak menginginkan uang dokter.”
Tangan Helena terhenti saat dia akan mengeluarkan uang dari dompetnya. Dia mendongak menatap Daniel.
“Bayar hutangku dengan mentraktirku minum kopi bagaimana?”
Helena diam sejenak. Menilai. Harga kopi dengan hutangnya tentu saja tidak seberapa. Walau mungkin kata ‘traktir minum’ bukan hanya sekedar minum saja melainkan juga isyarat untuk mengisi perut. Akan tetapi dia kemudian mengangguk setuju. Lagipula mumpung saat ini mereka di cafe. Sekalian saja bukan?
“Tapi tidak hari ini dokter.”
Kata - kata Daniel barusan tentu saja membuat Helena mengernyit. Lelaki itu kini tampak melihat jam tangannya sebelum kemudian berdiri. “Karena aku hari ini sudah ada janji.” Jelasnya.
Mata Helena menyimpit, dia yang masih skeptis dan tidak percaya bertanya, “Memangnya janji apa?” Tidak seharusnya dia terlalu kepo. Tetapi ini sebagai bentuk antisipasi jika lelaki itu memang sengaja untuk membuat pertemuan - pertemuan yang lain - lain dengannya.
“Wawancara kerja.” Jawab Daniel.
Dan kali ini, manik cokelat gadis itu memindai ekspresi Daniel seksama. Masih agak sanksi. Dirinya sudah terlalu banyak menemui stalker dan orang - orang dnegan modus tinggi. Apakah pria ini juga termasuk?
Dengan masih curiga namun tidak ada bantahan, akhirnya Helena mengangguk, “Baiklah.” Balasnya. Toh, jaket pria itu masih ada bersamanya. Sekalian besok dia membawanya dan memastikan tidak akan ada pertemuan lagi setelahnya.
Wanita itu kemudian bangkit lalu meninggalkan cafe itu, dan bersamaan dengan dirinya membuka pintu cafe_ datanglah seorang laki - laki berjas rapi yang tampaknya tidak asing.
Helena menoleh dan menemukan bahwa laki - laki itu menuju ke arah Daniel.
Daniel segera berdiri lalu tersenyum menjabat tangan lelaki berjas itu.
“Ah, maaf. Sudah lama menunggu?”
“Ya, tidak apa - apa Andrew.”
Helena langsung tertegun. Rupanya benar ini hanya kebetulan dan dia benar - benar wawancara kerja?
***