Karin akhirnya menyerah pada tatapan tajam Harris. Ia terdiam, membiarkan tubuhnya kembali bersandar di sofa empuk kamar suite itu. Hatinya tidak tenang, setiap detik terasa menyesakkan. “Mengapa harus aku yang berada di sini?” batinnya. “Mengapa harus aku yang menerima perhatian aneh ini darinya?” Harris berjalan ke arah meja, meletakkan rokok yang sudah padam di asbak. Wajahnya dingin seperti biasa, namun sorot matanya tidak bisa berbohong, ia memperhatikan Karin lebih dari yang seharusnya dilakukan seorang bos kepada sekretarisnya. “Tidurlah,” ujarnya singkat, lalu menarik kursi dan duduk agak jauh. “Besok kita masih ada satu pertemuan lagi. Aku tidak ingin kau terlihat seperti ini di depan klien.” Karin mengangguk kecil, menautkan kedua jemarinya di pangkuan. Ia berusaha mencari ke

