Ch.01 Garis Dua
PROLOGUE:
“Tidak ada cinta, tidak ada ikatan, dan yang paling penting, ingat ini dengan baik … tidak ada kehamilan.”
Tiga syarat dari seorang Christian Xu terdengar begitu nyaring di kepala seorang wanita saat ini. Kalimat-kalimat yang menghantamnya dengan ketakutan serta kebimbangan luar biasa.
Liora Zheng, itulah namanya. Dia duduk di atas kloset yang sudah ditutup. Kedua tangannya gemetar memegang stik tes kehamilan. Wajah pucat, napasnya sesekali tertahan, sesekali tersengal, dan matanya terus menatap jam dinding yang jarumnya bergerak begitu lambat.
Tulisan di paket test pack berkata butuh waktu sekitar dua sampai tiga menit untuk alat itu menunjukkan hasil kehamilan. Dan kini baru satu menit berlalu, sisa menitnya menjadi neraka tersendiri bagi Liora.
“Tolong ... God, please, satu garis saja,” rintihnya lirih, berbisik seperti sedang mengumandangkan sebuah doa. Ia menggigit bibir, berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Kedua kaki terus menjejak lantai kamar mandi dengan cepat seperti seorang pemain drum tengah di atas pentas memainkan lagu-lagu rock. Kegugupan melanda luar biasa.
Detik terasa menjadi menit, dan saat dua menit terlewati, dengan cepat pandangannya kembali menatap pada stik itu.
Oh, no!
Dua garis merah jelas terlihat.
Doanya tidak terkabul.
“Tidak ... no,no,no! ini tidak mungkin! Why! God! Please!” Liora menutup mulutnya, suaranya menjerit kencang di balik jemari.
“Tidak mungkin ... aku selalu hati-hati ... selalu ...!” Tangannya bergetar semakin hebat dan tubuhnya seolah kehilangan kekuatan. Ia merasa seluruh dunianya runtuh dalam sekejap.
Bersama napas yang lunglai ia merintih sendiri, “Aku selalu meminum pil pengendali kehamilan dengan tepat waktu. Christian sendiri selalu memakai pengaman. Lalu, kenapa …? Kenapa aku bisa hamil!”
“Ini tidak mungkin! Mimpi buruk, Lord, ini sungguh mimpi buruk!” isaknya tak habis pikir.
Perlahan, dengan langkah gontai, ia keluar dari kamar mandi, masih menggenggam tes itu. “Kenapa harus sekarang? Kenapa harus aku?”
Suaranya tercekat ketika ia menjatuhkan tubuh ke ranjang besar yang dingin. Liora menangis sambil memeluk bantal, wajahnya terbenam dalam sarung bantal kotak berwarna putih itu.
Ia merasa sendirian, seolah tak ada lagi yang bisa ia jadikan sandaran di dunia ini. Dan memang dia sendirian. Sejak kecil ditinggal meninggal orang tua, ia hidup dalam asuhan bibinya sampai usia 12 tahun. Setelah itu, bibinya meninggal dan ia terpaksa tinggal di panti usahan.
Ponsel tergeletak di samping bantal, layar menyala menampilkan foto-fotonya bersama Christian yang sebelum melakukan test pack sedang ia pandangi untuk sekadar napak tilas.
“Christian ....” Liora menyebut nama itu dengan lirih. “Apa yang harus aku lakukan? Kalau kamu tahu ... sduahlah, kamu pasti akan meninggalkanku, bukan?”
Matanya basah ketika menatap senyum pria itu di layar. Senyum yang selama ini ia cintai, tetapi tak pernah bisa ia genggam sepenuhnya.
Seorang Christian Xu adalah apa yang tidak akan pernah bisa dipegang oleh seorang wanita, dan itu yang dia pelajari saat pertama bekerja di perusahaan sang pengusaha teknologi terbesar di New York.
Saat sedang menatap layar, suara notifikasi grup chat kantornya berdering berkali-kali. Liora memaksa diri untu duduk. Kemudian, dengan tangan gemetar, membuka pesan-pesan yang memenuhi layar.
Teman-temannya membagikan link dari kanal berita gosip, lengkap dengan foto Christian sedang makan malam dengan seorang artis cantik. “Dia ... bersama wanita lain? Bersama artis itu?” engah Liora tak tertahan, napasnya sesak.
Artis yang kini sedang banyak digandrungi oleh semua orang. Cantik, seksi, dan jelas bak langit dan bumi jika dibandingkan dengannya. Paling tidak, itu yang dipikir oleh Liora.
Headline berita tersebut dibaca olehnya, “Amanda Lilac akhirnya go publik dengan Christian Xu? Benarkah mereka akan bertunangan?”
Sakit, hati Liora terlalu sakit. Hampir setiap malam pria itu tidur di ranjang bersamanya dan kini ternyata ….
Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, air mata makin deras. “Jadi ... selama aku di sini, menunggunya, dia justru ...” Liora tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. “Tunangan? Ya, Tuhan … apakah selama ini aku sungguh hanya pemuas baginya?”
Foto-foto itu menusuk jiwanya terlalu dalam, membuat d**a makin sesak. Ia teringat ucapan Christian yang selalu sama sejak awal. “Ingat, tidak ada cinta, tidak ada ikatan, dan yang paling penting … tidak ada kehamilan.
“Kalau aku ceritakan ini ... kalau aku bilang aku hamil ...?” Liora berbicara sendiri di tengah tangis. “Kamu pasti akan menyuruhku menggugurkan dan pergi jauh. Kamu tidak pernah mau ada anak di antara kita.”
Ia menekan perutnya yang masih rata dengan kedua tangan, merasa semakin kalut. Ada calon kehidupan baru di dalam sana. Akan tetapi, ia tidak menginginkan kehamilan ini.
Suaranya terbata ketika berbisik, “Haruskah aku ... mengakhiri ini? Haruskah aku menggugurkan bayi ini sebelum semuanya semakin rumit?”
Pertanyaan itu berputar-putar di kepala, membuat ia makin tersiksa. Ia tahu keputusan apa pun akan mengubah seluruh hidupnya, entah menjadi lebih buruk atau lebih hancur lagi.
Liora menengadah, menatap langit-langit putih kamar apartemen mewah itu. “Tuhan ... apa yang harus aku lakukan?” suaranya parau bersama isak dan kekecewaan.
Air mata mengalir lagi, tubuhnya lemas tak berdaya. Dan di antara kesedihan itu, hatinya tetap teringat pada satu wajah … Christian.
Lelaki yang ia cintai, tapi juga lelaki yang bisa menghancurkan dirinya kapan saja. Lelaki yang … haruskah ia teruskan atau tinggalkan?
***
-Enam Bulan Lalu-
Rolls Royce warna biru tua berhenti di depan gedung tinggi yang menjadi pusat perusahaan teknologi terbesar di Amerika, X-Tech Corporation. Dari dalam mobil, seorang pria keluar dengan langkah gagah.
Dialah Christian Xu, CEO yang selalu menarik perhatian kaum hawa di mana pun berada.
Ketampanannya, tubuh gagah maskulin, dan aura jenius berwibawa. Semua itu membuat sekian pasang mata karyawan wanita yang berada di lobi tak pernah mampu mengabaikan kehadirannya.
“Selamat pagi, Tuan Xu,” ucap beberapa karyawan pria sambil menundukkan kepala. Para wanita hanya mampu berbisik kagum di balik senyum menahan diri untuk tidak berlari dan memeluk atau mencium CEO mereka yang terlalu tampan.
Christian tidak pernah memedulikan, hanya sekali melirik sambil mengangguk tipis. Ia memang terbiasa dengan perhatian seperti itu, sebab hampir setiap kali ia datang, suasana kantor berubah riuh dengan decak kagum.
Sudah tahu sejak dirinya beranjak remaja setampan apa dirinya. Kata orang, menurun dari sang ayah. Apa pun itu, dia selalu menggunakan kelebihannya tersebut untuk memuaskan hasratnya bermain bersama gadis cantik.
Lahir di tengah keluarga mafia Klan Lycenzo yang begitu kaya raya dan berkuasa, katakan saja bahwa dia lahir dengan sendok emas. Ayahnya adalah orang kepercayaan sang Raja Mafia itu sendiri sehingga dia pun dipercaya untuk memutar uang bisnis mereka yang jangan ditanya berapa jumlahnya.
Tatapan Christian menyapu ruangan. Di sudut resepsionis, ia melihat seorang gadis cantik yang baru pertama kali ditemuinya. Gadis itu sedang mendapat arahan dari karyawan senior.
Rambut hitam panjang terurai rapi. Wajah segar polos tanpa riasan berlebihan. Ekspresi gugup karena sedang di-briefing oleh seniornya membuat pesona wanita muda itu semakin berbeda.
Christian menghentikan langkahnya, matanya tak berkedip. “Siapa dia?” gumamnya pelan. Ia menoleh ke arah asisten pribadi setianya, seorang pria bernama Jihoon, lalu berbisik dengan pelan.
“Cari tahu identitas gadis resepsionis itu. Nama, latar belakang, semuanya. Aku ingin tahu segera.”
Jihoon mengangguk patuh. “Baik, Tuan Xu. Saya akan segera menyelidikinya.”
Ucapan itu tenang, tetapi sorot matanya memperlihatkan betapa ia mengerti maksud sang majikan. Sudah terlalu sering dia disuruh mencari data wanita oleh bosnya tersebut.
Tanpa banyak tanya, Jihoon melangkah mundur menjauh, sementara Christian kembali melanjutkan langkah ke arah lift bersama dua bodyguard-nya.
***
Sesampainya di lantai atas, CEO tampan masuk ke ruang kerja yang luas, modern, bernuansa elegan. Kursi kulit hitam besar, meja kayu mahal, serta pemandangan kota dari balik jendela kaca membuat ruangan itu tampak berkelas. Ruangan ciri khas eksekutif muda di circle teratas.
Belum lama ia duduk, pintu diketuk pelan.
“Masuk,” ucapnya santai.
Seorang wanita berambut cokelat bergelombang dengan tubuh indah dan pakaian ketat melangkah masuk. Dialah Angelica Rochelli, sekretaris pribadi Christian yang terkenal cantik dan seksi.
Ia membawa setumpuk berkas yang harus ditandatangani. “Selamat pagi, Tuan Xu,” sapanya dengan senyum menggoda.
Tangan berkuku panjang merah menyala meletakkan map di atas meja, sementara tubuhnya sedikit membungkuk, menampilkan belahan dadanya dengan jelas.
“Pagi,” jawab Christian singkat, matanya tak bisa menahan diri untuk tidak mengikuti setiap gerakan Angelica. Pandangannya turun naik, menyapu lekuk yang ditonjolkan pakaian wanita itu, terutama di bagian belahan d**a.
Angelica tersenyum manis, pura-pura tidak sadar diperhatikan. Padahal, dia sedang mengetes apakah push up bra yang ia baru beli beberapa hari lalu sukses menarik perhatian bos playboy-nya tersebut.
“Ini ada beberapa dokumen kontrak yang perlu Tuan tandatangani hari ini. Beberapa investor juga meminta jadwal pertemuan minggu depan. Apakah Tuan ingin saya atur semua jadwal sampai minggu depan selesai sore ini juga?”
Christian mengambil pena, menandatangani satu per satu dokumen tanpa benar-benar fokus. “Ya, atur saja. Pastikan jadwal tidak bentrok dengan agenda perjalanan bisnisku.”
“Dua minggu lagi Tuan akan pergi ke tiga negara di Eropa. Apakah Tuan ingin saya ikut?” senyum Angelica semakin manis menggoda.
Tuan Muda Xu tertawa kecil. Ia menarik napas panjang, lalu mendongakkan wajah dan berhenti menandatangani berkas. Matanya menatap sang sekretaris dengan setengah kesal, tetapi tetap saja berkata, “Sejak kapan aku ke luar negeri dan kamu tidak ikut, hah?”
Mengangguk, wajah Angelica sontak berseri-seri. “Saya hanya memastikan, Tuan. Kalau begitu, saya harus segera membeli mantel bulu. Sekarang sedang musim dingin di Eropa!” kekehnya bahagia.
Siapa yang tidak bahagia kalau menghabiskan sekian banyak waktu di benua yang penuh dengan tempat romantis bersama CEO paling diinginkan wanita di kota New York?
Angelica berjalan memutar, meletakkan dokumen lain di sisi meja. Gerakannya sengaja lambat, pinggulnya bergoyang tipis. b****g bahenol itu sengaja digoyang untuk menimbulkan efek lebih dramatis.
Tatapan Christian kembali mengikutinya. “Kamu selalu tahu cara membuat ruang kerjaku ini tidak membosankan, Angelica,” katanya setengah bercanda sambil menggeleng.
Demi apa pun juga, saking saja kerja wanita itu selalu extraordinary bagus. Tidak pernah ada kesalahan selama lima tahun bekerja untuknya. Satu saja, tidak ada kesalahan meski hanya secuil.
Dan untuk itu, meski setiap hari harus menahan apa pun itu yang harus ditahan, sang CEO membiarkan Angelica berkelakuan seperti ini.
Sekretaris seksi menoleh, matanya berkilat nakal. “Itu memang bagian dari pekerjaan saya, bukan hanya mengurus dokumen. Tapi, juga memastikan hidup Tuan tidak pernah tanpa warna,” kerlingnya manja, memastikan bos tampan mengerti maksudnya.
Padahal, meski mereka selalu mengerti maksud ucapan satu sama lain, nyatanya selama lima tahun tak pernah terjadi apa pun. Meski sekeras apa wanita itu menggoda, nyatanya Tuan Muda Xu tidak pernah sekalipun menyentuhnya dalam artian lebih.
‘Sudahlah, aku tidak akan menemukan sekretaris yang kerjanya sebagus dia. Angap saja dia adalah cobaan bagiku, latihan agar aku bisa belajar menenangkan otakku yang selalu ON saat melihat wanita seksi berbokong lebar!' gelak Christian dalam hati.
***
Pintu ruang kerja Christian diketuk dari luar. Angelica baru saja selesai menutup map terakhir di atas meja dan hendak melangkah keluar dengan penuh gaya.
Hak stiletto merah terangnya berdecak ringan di lantai, tubuhnya melangkah sambil menebar aura percaya diri. Ia berpapasan dengan asisten pribadi CEO mereka.
Tak berkata apa-apa, Jihoon segera menggeser tubuh dan memberi jalan bagi sang sekretaris untuk berjalan lebih dulu.
“Masuk saja, aku yang akan menutup pintunya,” ucap Angelica tersenyum singkat, lalu terus berjalan keluar.
Pria kurus tinggi berkacamata mengangguk, lalu melangkah mendekati meja bosnya sambil berkata, “Tuan Xu, saya sudah mendapatkan data mengenai resepsionis baru,” terang Jihoon.
Angelica yang sudah hampir menutup pintu mendadak menghentikan aksinya. Tangan halus menahan daun pintu, menyisakan celah sangat kecil yang cukup baginya untuk mendengar percakapan di dalam.
Christian tersenyum santai, lalu menegakkan punggung di sandaran kursinya. Tatapan penasaran tertuju pada Jihoon. “Baik. Letakkan berkasnya di mejaku,” perintah sang CEO singkat.
Jihoon menyerahkan sebuah map cokelat berisi dokumen. “Ini seluruh data yang saya dapatkan, Tuan. Nama lengkap, latar belakang pendidikan, riwayat pekerjaan, dan alamat tempat tinggal. Semuanya saya kumpulkan seakurat mungkin.”
Christian membuka map itu, jemarinya menyentuh halaman pertama dengan tenang. Saat matanya menangkap nama yang tertulis, ujung bibirnya membentuk senyum kecil. Tanpa disadari, ia bergumam sendiri menyebut sebuah nama.
“Liora Zheng,” desisnya pelan, mencicipi nama itu di lidahnya.
Angelica yang masih menempelkan telinga ke celah pintu sontak terbelalak dan menahan napasnya. Nama asing itu langsung menyalakan rasa panas di kepala dan dadanya. Ia memajukan tubuh sedikit lebih dekat ke celah pintu, berusaha mendengar setiap kata dengan jelas.
“Bagus, informasinya lengkap,” ucap Christian dengan nada santai dan matanya tak teralihkan dari file sang resepsionis.
“Aku memang tidak suka ada orang baru di kantor tanpa kita mengetahui data lengkapnya. Itu bisa membahayakan kestabilan perusahaan.” Setelah berkata demikian, ia menutup map perlahan.
Jihoon menunduk hormat. “Saya mengerti, Tuan Xu. Apakah ada instruksi lebih lanjut yang harus saya jalankan?”
Sang asisten tahu alasan yang dilontarkan bosnya hanyalah dalih. Dari tatapan mata sang CEO, ia sadar bahwa ketertarikan Christian lebih dari sekadar urusan profesional.
Namun, ia memilih menutup rapat kecurigaannya. Seperti yang tadi sudah dijelaskan, terlalu sering dia diminta mencari data seorang wanita.
“Tidak untuk saat ini,” jawab Christian sumringah, bersuara tenang. “Kamu bisa kembali ke ruang kerjamu. Jika aku membutuhkan, aku akan memanggilmu.”
Jihoon mengangguk. “Baik, Tuan.”
Mendengar sang asisten akan keluar, maka sang sekretaris cepat berlari kembali ke mejanya. Ia segera duduk, menyalakan layar, dan berpura-pura tidak mendengar apa pun.
Sementara di dalam ruangan, Christian menyandarkan kepala ke sandaran kursi kulit hitamnya. Matanya kembali menatap nama di map.
Senyum yang tak biasa muncul di wajahnya. “Liora ..., bisiknya pelan, menatap tak berkedip pada foto seorang wanita terlihat sedemikian polos, dan … cantik.
Dan Angelica, ia mendengkus sambil memaki dalam hati. ‘Rupanya ada resepsionis baru, hah? Wanita itu harus belajar siapa yang berkuasa di kantor ini!’
‘Dia juga harus belajar bahwa tidak ada wanita lain yang boleh disebut namanya oleh Tuan Christian, selain aku!’
Dengan seringai licik, Angelica berkata kencang dalam kesunyian batinnya. ‘Aku akan memastikan kamu tidak bisa menggoda Tuan Muda Xu! Lihat saja nanti!’