Pagi itu suasana lobi X-Tech Corporation ramai dengan aktivitas karyawan yang baru tiba. Liora duduk tegak di meja resepsionis, berusaha mengingat setiap prosedur yang telah dijelaskan seniornya.
Jemari lentiknya lincah mengetik di komputer, sesekali ia menyambut karyawan atau tamu yang datang dengan senyum hangat. Demikian memang prosedur yang diterapkan padanya.
Tiba-tiba, Angelica muncul dengan tatap penuh selidik. Gaun kerja yang ketat memeluk tubuh montoknan seksi, sementara rambut cokelat bergelombang jatuh di bahunya.
Semua mata sempat menoleh, tahu kalau sekretaris sang CEO ini memiliki kekuasaannya tersendiri di kantor. Mereka memilih untuk tidak terlalu banyak berinteraksi. Meski tahu sedang ditatap banyak orang, tetapi Angelica hanya memusatkan perhatiannya pada Liora yang duduk di belakang meja resepsionis.
“Halo,” sapa Angelica dengan senyum ramah. Suaranya sangat ramah, seolah penuh perhatian. “Kamu pasti Liora, resepsionis baru itu, bukan? Perkenalkan, aku Angelica. Sekretaris Tuan Christian Xu, CEO kita!”
Liora mengangguk cepat sambil menjabat tangan sang sekretaris. “Iya, Nona Angelica. Nama saya Liora Zheng. Senang bertemu dengan Anda. Saya masih baru, masih banyak belajar, jadi mohon bimbingannya.” Ia bahkan membungkukkan badan untuk memberi hormat pada lawan bicaranya.
Dua respsionis lain yang ada di sampingnya hanya tersenyum dan memilih pura-pura tidak mau tahu apa yang Angelica lakukan di sana. Sudah dikatakan tadi, banyak karyawan grade rendahan memilih untuk menjauhi wanita satu ini daripada pekerjaan mereka kemudian berada di ujung tanduk.
Angelica memajukan tubuhnya sedikit ke arah meja resepsionis, seakan ingin memberi nasihat. “Ah, jangan sungkan. Semua orang di sini pasti pernah jadi orang baru. Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa langsung datang ke saya.”
“Bagaimanapun, saya sekretaris utama Tuan Xu.” Nada suaranya terdengar manis, kembali mengulang jabatan yang sangat ia banggakan.
Jabatan yang membuatnya merasa cukup berkuasa seperti para manajer, bahkan direktur. Bukankah dia bisa membisikkan ini dan itu kepada sang CEO?
“Terima kasih, Nona Angelica. Saya benar-benar menghargai perhatian Anda,” jawab Liora tulus. Senyum kecil terukir di wajahnya, sama sekali tidak menyadari maksud terselubung dari wanita di depannya.
Angelica menyapu pandang ke sekitar, lalu kembali menatap Liora. “Kamu cantik sekali, Liora. Tidak heran semua orang melirikmu tadi pagi.”
Bibirnya tersenyum, tapi matanya menyipit, penuh peringatan. Bagi mereka yang tahu, sudah paham kalau itu adalah ancaman terselubung. “Tapi, hati-hati ya ... di kantor sebesar ini, kadang ada saja orang yang salah paham dengan kecantikan.”
Liora sedikit tertegun, bingung … lalu menunduk sopan. “Nona bisa saja. Saya tidak cantik, saya jauh dari kata cantik. Saya hanya gadis biasa dari desa, berdandan saja tidak bisa,” ucapnya tersenyum resah.
“Tidak, kamu sangat cantik,” tandas Angelica tersenyum sinis. “Dan sebaiknya kamu tidak menggunakan kecantikan itu untuk hal-hal yang tidak sepatutnya. Kantor ini memiliki standar moral yang sangat tinggi.”
Dua resepsionis lain saling tatap. Meski tidak mengatakan apa pun, sepertinya pikiran mereka sama. Bicara moral dan tidak meggunakan kecantikan sementara Angelica sendiri selalu memakai baju seksi kalau kerja?
“Saya mengerti, Nona. Saya hanya ingin bekerja sebaik mungkin, tidak lebih.” Liora menjawab dengan suara pelan, berusaha menjaga agar percakapan tetap tenang. Ia tidak ingin hari pertamanya bekerja menjadi berantakan.
Angelica tertawa pelan, santai, sambil mengetuk ringan permukaan meja resepsionis. “Bagus kalau begitu. Ingat saja, jangan terlalu menonjol. Di kantor ini, ada hierarki yang harus dijaga. Kamu mengerti maksud saya, bukan?”
Liora menahan napas, lalu mengangguk. “Saya mengerti, Nona Angelica. Saya hanya akan fokus pada pekerjaan saya.” Senyum samar muncul di wajahnya, meski dalam hati ia merasa terintimidasi.
Angelica menegakkan tubuhnya kembali, memandang Liora dari ujung kepala hingga kaki. “Bagus. Saya suka orang yang tahu posisi. Semoga kamu bisa bertahan lama di sini.” Suaranya lembut, namun jelas sekali menunjukkan d******i.
Setelah itu, Angelica melangkah anggun dengan kepala mendongak angkuh, meninggalkan meja resepsionis. Tumit sepatunya menghentak tegas di lantai, meninggalkan jejak kekuasaan yang berat. Ya, paling tidak kekuasaan bagi mereka yang duduk di meja resepsionis, tidak lebih dari itu.
Liora hanya bisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya setelah pertemuan singkat yang terasa seperti ujian mental.
“Harap maklum, Angelica memang begitu. Kalau dia sampai mendatangimu, sebaiknya kamu berhati-hati. Dia memang tidak suka ada yang lebih cantik daripada dirnya,” ucap Bernice, salah satu resepsionis senior dengan senyum kecut.
Lagi, Liora merasa hatinya diremat mendengar ucapan itu. Apakah sedemikian salah menjadi wanita cantik?
Ia duduk kembali dan mulai mengetik sambil memandangi layar computer. ‘Tuhan, semoga aku bisa lama bekerja di sini. Sekarang, sangat susah mencari pekerjaan di New York sementara aku sudah harus mulai membayar cicilan hutang biaya kuliahku,’ doanya dalam hati.
***
Sekian hari kemudian di lantai delapan, ada Christian sedang duduk bersandar di kursi kerjanya, memandangi pemandangan kota dari jendela besar. Pikirannya tidak terlepas dari sosok resepsionis baru yang sudah dua hari ini menghantui benaknya.
Senyum Liora yang sederhana entah bagaimana membuatnya ingin tahu lebih jauh, sesuatu yang tidak pernah ia izinkan terjadi sebelumnya. Perempuan itu sederhana, tidak memakai baju seksi seperti para sosialita, artis, atau wanita dunia malam yang biasa ia ajak kencan.
Namun, kenapa justru semakin terlihat cantik?
Dan Christian … dia benci dengan rasa penasaran yang semakin muncul di hati.
“Jihoon,” panggilnya pelan di interkom, memecah kesunyian ruang kerja. “Ke ruanganku sekarang.”
Jihoon melangkah masuk dengan cepat, lalu berdiri tegak di depan meja. “Ya, Tuan Xu. Ada yang perlu saya lakukan?” jawabnya seperti biasa.
“Aku tidak ingin orang lain tahu. Tapi, aku ingin kamu mengatur sesuatu untukku ... sebuah pertemuan dengan resepsionis baru itu, Liora Zheng.”
Permintaan yang tidak aneh mengingat hal seperti ini sudah terlalu sering terjadi. Mengatur pertemuan untuk artis pendatang baru, untuk foto model seksi, untuk si A, si B, kadang Jihoon sampai lupa siapa saja wanita yang pernah ia atur untuk bertemu bosnya.
Jihoon menahan ekspresi wajahnya agar tetap netral. Karena dia sendiri sejak kemarin merasa aneh selera CEO-nya berubah dari rok mini menjadi rok setengah betis, bahkan celana panjang tertutup. Berubah dari dandanan menor menjadi dandanan tipis di wajah resepsionis lantai lobi.
Akan tetapi, sebagai asisten pribadi, dia hanya tersenyum dan mengangguk. “Baik, Tuan. Apakah Anda ingin saya menyampaikannya langsung padanya?”
Christian menggeleng, tersenyum kecil yang enggan. “Tidak. Aku tidak ingin ia tahu bahwa aku khusus mengatur pertemuan ini dengannya. Jadilah kreatif, Jihoon. Aku tahu kamu pasti bisa!” kekehnya.
Jihoon mengangguk patuh. “Saya mengerti. Apakah ada tempat khusus yang Anda inginkan?”
“Jangan di tempat yang terlalu umum. Aku tidak ingin dilihat orang makan malam dengan resepsionis-ku sendiri. Kamu tahu bagaimana skandal bisa menjerat pria sepertiku.”
Sekali lagi sang asisten terbaik mengangguk. “Siap, Tuan Xu. Saya akan mengatur semuanya sesuai dengan permintaan Anda. Pertemuan tidak disengaja, dalam suasana jauh dari jangkauan orang, tetapi tetap romantis.”
“Kamu berbicara seperti chat GPT,” gelak sang CEO tampan. “Tapi, aku suka. Ya, lakukan itu semua. Aku percaya padamu!”
“Apakah hanya itu, Tuan? Atau ada hal lain?”
“Tidak, hanya itu. Thanks. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.”
“Baik, permisi, Tuan.”
Maka, pergilah Jihoon dari ruangan Christian. Begitu ia memasuki ruangannya sendiri, kacamata dilepas, lalu mengusap wajah dengan dua telapak tangan.
“Sial! Bagaimana cara membuat Tuan Chris dengan gadis resepsionis itu bertemu seolah tidak disengaja?”
***
Sore harinya, Jihoon mendekati meja resepsionis dengan langkah tenang. Liora sedang sibuk menyambut tamu yang baru datang, wajahnya tetap sopan dan ramah. Begitu tamu itu berlalu, sang asisten segera menghampiri. Kebetulan, tidak ada dua temannya di sana.
“Nona Liora,” panggilnya dengan suara rendah.
Liora mendongak, sedikit terkejut melihat siapa yang memanggilnya. Dia tahu betul kalau pria itu adalah asisten pribadi orang nomor satu di perusahaan. “Ya, Tuan Jihoon? Ada yang bisa saya bantu?”
Jihoon menatap sekeliling sejenak, memastikan tidak ada telinga lain yang menguping. “Jadi, begini,” mulainya sambil tersenyum diplomatis. “Tuan Christian akan menjamu tamu penting dari luar negeri malam ini di sebuah ruang rapat di hotel bintang lima.”
“Tuan Christian butuh penerima tamu yang masih muda dan cantik. Aku ditugaskan untuk mencari penerima tamu tersebut. Aku mau kamu nanti malam bertugas jadi penerima tamu.”
“Sa-saya?” engah Liora tak percaya dia dipilih. “Tapi, saya … t-tapi … saya baru dua hari bekerja di sini. Saya tidak tahu seluk beluk perusahaan.”
Jihoon cepat menggeleng dan menenangkan, “Tenang, ini hanya sekadar berdiri, tersenyum, lalu membawakan apa yang dibutuhkan oleh tamu tersebut. Kamu tidak perlu mengobrol atau apa pun dengan tamunya.”
Setelah mendengar itu, barulah Liora menghela lega dan tersenyum lebar. “Oooh, kalau begitu saja saya bisa melakukannya.”
Ganti Jihoon yang tersenyum lebar. Rencana yang ia pikirkan sampai jungkir balik di meja kerja demi melakukan perintah Christian sepertinya sedang menuju kesuksesan. “Good! Ini alamat hotelnya, datang ke sana jam tujuh malam tepat dan berdandanlah yang rapi, sopan, cantik.”
“Siap, Tuan Jihoon. Saya … sungguh, terima kasih sudah memilih saya. Apakah akan ada karyawan lain?” tanya sang gadis polos.
“Tentu saja! Ya, akan ada karyawan lain,” jawab Jihoon cepat, menyeringai penuh dusta yang tidak terlihat. “Tapi, uhm … jadi … bisakah kamu menjaga rahasia?”
“Rahasia?” Mata bundar Liora membesar.
“Tamu ini adalah tamu penting, tetapi rahasia. Pertemuan denga Tuan Xu juga adalah pertemuan tertutup yang rahasia. Jadi, kamu tidak boleh mengatakan pada siapa pun. Karyawan lain yang diminta datang menjadi penerima tamu juga sudah aku minta untuk diam dan tutup mulut.”
Ternyata, Jihoon memang sangat kreatif dalam merencanakan ini semua.
Liora terlihat terperangah sekaligus sedikit tegang. Akan tetapi, ia cukup antusias dan menjawab, “Baik, Tuan. Ini sungguh suatu kehormatan bagi saya. Jam tujuh malam, ‘kan? Saya akan datang lebih awal.”
“Good! Jangan sampai terlambat! Ya, sudah, aku pergi dulu,” angguk Jihoon, segera melangkah pergi karena dua resepsionis lain sudah kembali.
Bernice bertanya penasaran, “Mau apa Tuan Jihoon kemari? Ah, kamu kenapa tidak memanggilku dan memberitahu kalau dia di sini!”
Bingunglah Liora ditanya begitu, “Memangnya kenapa? Kamu ada perlu dengan Tuan Jihoon?”
“Ish, kamu ini! Apa matamu buta?” kekeh Minerva, resepsionis senior satunya. “Selain Tuan Christian, kita para wanita juga mengidolakan Jihoon. Apa kamu tidak sadar dia cukup tampan?”
“Haaa?” Liora sampai melongo, kemudian tertawa. Dia yang terlalu sibuk memikirkan bertahan hidup sampai tidak memerhatikan pria-pria tampan di kantor berseliweran tiap hari.
“Mau apa Tuan Jihoon di sini? Apa dia bertanya tentang aku?” kikik Bernice genit.
Liora menggeleng, “Tidak ada apa-apa. Hanya mengobrol santai saja.”
Lalu, Minerva duduk sambil menghela napas panjang. “Oh, seandainya saja alam memberikan aku keajaiban hingga bisa dilirik oleh Tuan Xu. Terlebih lagi, menjadi kekasihnya!”
Liora tertawa, “Kalian ini bisa saja. Sudah, aku mau menyelesaikan pekerjaan. Jam lima tepat aku harus pulang.”
“Ya, ya, aku juga mau menyelesaikan pekerjaaan sambil membayangkan Tuan Xu sedang ada di sini bersamaku, atau paling tidak minimal membayangkan Tuan Jihoon!” sahut Bernice yang kemudian membuat mereka bertiga kembali tertawa.
***
Pukul 6.30 PM, Liora sudah datang ke hotel bintang lima yang diinfo oleh Jihoon. Kakinya berjalan tergesa menuju ruang rapat.
“Lho? Kenapa tidak ada siapa-siapa?” bingungnya saat melihat ruangan itu kosong dan gelap. “Apa aku salah tempat?”
Ia kembali melihat kertas yang diberikan Jihoon sore tadi. “Benar, aku tidak salah tempat, tapi kenapa semuanya gelap?”
Mendadak, ada suara langkah kaki di belakang, disusul dengan suara berat medayu. “Cari siapa?”
Liora segera berbalik, dan napasnya berhenti detik itu juga saat melihat CEO idaman seluruh wanita New York sedang di hadapannya sambil tersenyum dan menatap lekat.
“T-Tuan … ma-maaf … maaf, a-apa … ini … tadi Tuan Jihoon bilang jam tujuh. Apa … a-apa … apa saya salah jam? Apa saya terlambat? A-acara … apa sudah selesai?”
Betapa gugupnya Liora berada dalam situasi ini. Berduaan dengan Christian di depan ruang rapat yang kosong, temaram. Saking gugupnya sampai ia tergagu.
Tuan Muda Xu tersenyum tenang, lalu melirik sekilas pada ruang rapat tersebut. “Oh, maksudmu pertemuan dengan tamu rahasiaku?”
“I-iya,” angguk Liora masih terus terengah menahan napas.
“Pertemuannya batal sejak setengah jam lalu. Tamu itu mendadak ada sakit, jadi pertemuan ditunda besok. Apa Jihoon tidak memberitahu kamu?” Suara Christian sengaja dibuat lambat, mendayu, semakin membuat wanita di hadapannya terengah.
Liora menggeleng, “Ti-tidak … uhm … Tuan Jihoon tidak berkata apa-apa, tidak menghubungi saya.”
“Oh, pasti dia lupa. Maklum, pekerjaan Jihoon sangat banyak. But, terima kasih sudah datang tepat waktu. Aku suka karyawan yang tepat waktu.”
“Te-terima kasih, Tuan Christian. Kalau begitu, saya permisi pulang dulu.”
Kening playboy kelas kakap itu mengernyit, bertanya dalam hati. ‘Apa dia baru saja menolak untuk berbicara lebih lama denganku?’
Liora membungkukkan badan, memberi hormat pada Christian, kemudian berbalik dan mulai melangkah.
Namun, terdengar suara memanggil namanya dan itu adalah suara sang CEO. Ia segera berhenti berjalan, lalu membalikkan tubuh lagi. “Ya, Tuan?”
“Berhubung kamu sudah jauh-jauh kemari, bagaimana kalau kita makan malam?” Dan wajah tampan Christian semakin tampan kalau sudah mode merayu begini.