Ajakan untuk makan malam terlalu mengejutkan bagi Liora. Bukan kalimat makan malamnya, tetapi siapa yang mengajak. Seorang CEO, seorang Christian Xu.
‘Dia serius mengajakku makan malam? Ini gila! Kenapa dia mengajakku makan malam?'
Tak bisa menjawab, Liora hanya membeku dengan ajakan itu dan terus menatap Tuan Muda Xu dengan bibir yang membulat sempurna, melongo.
Mendapati sikap karyawannya seperti itu, Christian tertawa pelan. “Ada apa? Kenapa kamu bengong begitu?”
Barulah kemudian Liora mendapatkan kesadarannya kembali. Ia cepat terengah sambil menggeleng. “Tuan baru saja mengajak saya makan malam?”
“Ya, aku baru saja mengajakmu makan malam. Kamu bersedia?” angguk Christian kembali melempar senyum tertampan yang dia miliki.
Kali ini, sang wanita muda nan cantik tidak lagi terperangah atau membeku. Ia hanya menjawab, “Saya belum pernah makan malam dengan orang seperti Tuan. Saya takut membuat Tuan malu.”
Jawaban yang sangat jujur dari hati terdalam. Dia panas dingin sendiri ditawari makan malam bersama bosnya.
Kepolosan yang semakin membuat Christian gemas sekaligus penasaran. “Ah, ayolah, ikut denganku makan malam. Ada sebuah restoran di pojok lantai dua yang makanannya enak. Kita ke sana sekarang, dan itu adalah perintah dariku.”
Mendengar kata perintah, tak ada yang bisa dilakukan oleh Liora selain mengiyakan. Meski dadanya berdentang keras luar biasa, ia berjalan berdampingan dengan sang CEO.
Pucuk kepala Liora setinggi pundak Christian. Saat mereka melangkah berjejeran, harum parfum maskulin sang pria menguar. Bau mahal, itu jelas kentara. Dan yang lebih kentara lagi adalah bagaimana keharuan tubuh gagah merasuk masuk dalam penciuman, menggugah asa.
‘Tuhan, dari dekat begini beliau semakin tampan. Dan keharumannya, astaga … dia sungguh sempurna.’ Batin Liora menjerit, karena dia adalah wanita normal.
Mereka sampai di dalam restoran dan manajer mempersilakan keduanya duduk di sebuah meja pojok, dekat jendela besar memamerkan keindahan lampu malam kota New York.
Christian tersenyum tenang, mempersilakan karyawannya duduk. “Santai saja. Tidak usah gugup, apalagi takut. Aku tidak menggigit.”
Sambil duduk, Liora tertawa salah tingkah. Memang Christian tidak menggigit, tetapi dia sungguh merasa ketakutan. Khawatir berbuat salah dan keesokan hari dia menemukan surat pemecatan dirinya.
“Mau makan dan minum apa?” tanya Tuan Xu saat pelayan datang memberikan menu.
Masih sedikit terengah, bibir merah muda menjawab, “Saya percaya dengan pilihan Tuan. Saya tidak mengerti apa yang enak. Kalau tidak merepotkan, saya ikut saja dengan apa yang Tuan pesankan.”
Maka, Christian berbicara dengan pelayan, memesankan beberapa jenis makanan untuk menemani mereka sekitar satu atau dua jam ke depan.
Setelah mereka kembali berdua, munculah kalimat yang membuat wajah Liora memanas seketika.
“Apa ada yang pernah bilang kamu sangat cantik?”
Demi apa pun juga, wajah respsionis itu merah padam. Jantungnya berdebar terlalu kencang. Ia sontak menunduk dan meremas-remas jemari yang dipangku di atas paha.
“Itu adalah pujian normal. Kenapa kamu terlihat syok?” tawa Christian menggoda dengan suara mendayu.
Ia lanjut bertanya, “Berapa usiamu?”
“22 tahun, Tuan.”
“Menikah?”
Liora menggeleng. Sebuah jawaban yang membuat kelegaan tersendiri bagi Christian.
“Kekasih?”
Lagi, wanita itu menggeleng dan membuat CEO mata keranjang itu ingin berteriak kesenangan. Yang ada di pikirannya adalah ini akan menjadi urusan yang sangat mudah.
Maka, dia ingin memastikan sesuatu, “But … kamu suka lelaki, ‘kan?”
Barulah Liora mendongak dengan tatapan terkejut. “T-Tuan …? Saya straight. Tentu saja saya suka lelaki. Saya … saya normal.”
Christian tertawa, “Aku hanya ingin memastikan.”
Kembali hening sesaat, lalu pelayan datang membawakan dua gelas cembung beserta red wine yang langsung dituang.
“Bersulang denganku, untuk kesuksesan X-Tech selamanya.”
Masih dengan tangan yang gugup, Liora mengangkat gelasnya dan menyentuhkan hingga bunyi denting terdengar.
Christian tidak bisa berhenti menatap paras cantik tersebut. Ia memandanginya dengan sorot menginginkan.
“Pengalaman kerjamu di mana saja?”
“Ini pengalaman kerja saya yang pertama, Tuan. Saya baru lulus kuliah dan segera mencari perkerjaan. Semoga saya bisa lolos masa percobaan di perusahaan Tuan.”
Dalam hati, Christian tertawa sendiri. ‘Ya, ya, kamu akan lolos masa percobaan kalau kamu juga meloloskan aku ke atas ranjangmu.’
Dasar gila!
“Kamu sungguh tidak punya kekasih? Aku tidak mau ada yang menunggumu atau marah saat kamu makan malam berdua denganku.” Pancingan yang bagus.
Liora menggeleng, “Tidak ada, Tuan. Saya … saya tidak punya kekasih atau apa pun itu. Lagipula, kita sedang makan malam urusan pekerjaan, bukan?”
“Kata siapa ini urusan pekerjaan?”
DEG!
Apa-apaan Christian ini? Senang sekali dia menyiksa Liora seperti sekarang. Melihat rona merah menjalari paras cantik yang pasti sedang merasa panas sepertinya membuat hati merasa kepuasan tersendiri.
“Kamu makin cantik saat sedang merona seperti sekarang.”
Dan Liora semakin menunduk. Ia tidak tahu apa niatan sang CEO kepadanya. Sejauh ini yang dia harapkan hanyalah Christian sedang mabuk.
Dipuji, dirayu terus menerus oleh pria seperti Tuan Muda Xu, wanita normal mana yang tidak merona merah dan d**a berdebar-debar?
“Keluargamu hidup di mana?” tanya Christian akhirnya mengucap pertanyaan normal tanpa rayuan dan sejenisnya.
“Saya tidak punya keluarga, Tuan. Orang tua saya meninggal sejak kecil. Saya tinggal dengan Bibi, kemudian beliau pun meninggal. Saya tinggal di panti asuhan hingga akhirnya mendapat beasiswa penuh untuk kuliah.”
“Sekarang tinggal di mana?”
“Di apartemen pinggiran kota.”
“Apa yang kamu harapkan dalam hidup ini? Kekayaan? Kemewahan?” tatap Christian kian menggelora, tahu kalau hal tersebut adalah apa yang diinginkan setiap wanita.
Liora tertawa kecil, lalu mengendikkan bahu. “Kata orang, uang tidak dibawa mati. Tapi, tidak punya uang juga akan membuat kita mati. Jadi, saya rasa kemewahan dan kekayaan adalah apa yang semua orang impikan.”
“Tapi, saya juga menginginkan sebuah keluarga. Suami dan anak-anak. Karena saya hidup sebatang kara, maka sejak kecil impian saya adalah memiliki keluarga yang utuh.”
Perasaan Christian seperti dicambuk saat mendengarnya. Satu sisi terharu, satu sisi ketakutan. Keluarga tentu melanggar semua tiga syaratnya dalam berhubungan dengan seorang wanita.
Biasanya, kalau dia bertemu dengan wanita seperti Liora, dia akan segera mengakhiri pembicaraan malam itu dan cepat pergi. Akan tetap, malam ini justru matanya terus terpatri pada wajah polos yang kian memesona.
‘Aku pasti sudah gila!’ engahnya. ‘Aku seharusnya kabur detik ini juga. Dia tipe wanita yang begitu mengagungkan keluarga. Dia tidak mungkin mau menjalani hubungan bebas denganku.’
Ya, tidak salah, dia memang sudah gila karena begitu menginginkan resepsionis-nya sendiri. Apa mungkin dia sudah bosan dengan para wanita dunia malam, para sosialita yang dengan mudah naik ke atas ranjang dan membuka kaki untuknya?
Ia mengambil ponsel, kemudian memanggil, “Liora.”
“Ya?” Menjawab dengan mendongakkan wajah, lalu tersenyum kecil.
Dan tepat di detik itu, ibu jari Christian menekan tombol kamera. Ia telah sukses mengambil foto Liora sedang menatapnya sambil tersenyum manis.
Sekian detik kemudian, ponsel Liora di dalam tasnya berbunyi dengan sebuah notifikasi chat masuk.
Ia mendengar, tetapi tidak mau melihat siapa yang mengirim chat karena takut dianggap tidak sopan. Sedang bersama bos, tetapi justru melihat layar ponsel, bisa dianggap itu tidak mengerti tata krama, benar?
“Buka ponselmu, itu aku yang mengirim chat.”
Mendengar itu, terbelalaklah Liora. Ia cepat meraih ponsel dan membukanya. Benar saja, ada nomor asing mengirim foto dirinya yang barusan sekian detik lalu tersenyum pada Christian.
Yang lebih mengagetkan lagi adalah caption yang tertulis di bawah foto tersebut. Hanya satu kata, tetapi cukup untuk membuatnya pingsan.
Beautiful.
Sudah, hanya itu saja yang ditulis Christian.
“Simpan nomorku. Jangan pernah diberikan kepada siapa pun, jangan pernah tunjukkan chat kita kepada siapa pun. Aku tidak suka orang lain yang tidak berkepentingan mengusik kehidupan pribadiku, mengerti?”
Menelan liurnya dengan susah payah, menahan engah serta detak menggila di d**a, Liora mengangguk. “B-baik, Tuan … tapi … uhm … ka-kalau boleh saya tahu … uhm … kenapa … uhm … saya tidak mengerti kena—”
“Kenapa aku mengajakmu makan malam, mengatakan kamu cantik, dan melakukan semua ini?” potong Christian, segera menyelesaikan apa yang wanita itu sedemikian sulit untuk katakan.
Liora menundukkan kepala, lalu mengangguk. Dia sungguh ingin tahu apa maksud sang CEO melakukan ini semua padanya. Bingung, karena segala sesuatu berjalan terlalu cepat seakan dia sedang berada di dunia mimpi.
“Kamu sungguh tidak tahu apa niatku?” tawa Christian pelan.
Wanita muda itu mengangkat wajah, menatap lirih, kemudian menggeleng.
Tepat di saat mata mereka bertemu, Christian berkata, “Karena aku tertarik padamu.”
“Tuan, tolong jangan permainkan saya. Untuk apa Tuan melakukan semua ini?” engah Liora pada akhirnya, tidak kuat lagi menahan gejolak dalam d**a.
Christian mengendikkan bahu, kembali tertawa santai, “Kata siapa aku mempermainkan dirimu? Aku tidak sedang bermain-main. Aku serius, aku sungguh tertarik padamu. Kamu cantik, menarik, membuatku penasaran ingin mengenalmu lebih jauh.”
Ia memajukan pundaknya yang gagah itu hingga tubuh terlihat condong ke depan, ke arah sang wanita. “Kalau aku suka, aku bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Kalau aku bilang aku tertarik, berarti aku sungguh tertarik.”
Liora menggeleng, semakin terengah. Bukan hanya wajahnya yang terasa panas, tetapi sekujur tubuh karena tatapan itu sungguh tajam menghunjam hingga ke dasar hati.
“Maaf, saya … saya harus pergi,” ucapnya spontan, lalu berdiri dan berlari keluar dari restoran.
Christian tertegun. Rasanya aneh ditinggal pergi wanita seperti ini. Sesuatu yang nyaris tak pernah ia alami seumur hidupnya.
Well, pernah satu kali dia ditinggal pergi seperti ini, diacuhkan, tetapi itu oleh putri dari orang terkaya di Eropa. Yang mana baginya mungkkin memang dia dianggap kurang se-level dengan sang wanita.
Akan tetapi, ditinggal oleh wanita sebatang kara dan berasal dari panti asuhan yang hanya bekerja sebagai seorang resepsionis?
Ia sampai memutar tubuh, memastikan Liora benar-benar pergi meninggalkannya. Siapa tahu wanita itu akan kembali, tetapi mendekati satu menit berlalu, tidak ada yang kembali.
Justru setelahnya dia melihat Jihoon memasuki ruangan restoran dan duduk di depannya.
“Saya baru melihat Liora berlari keluar dari restoran ini. Semua baik-baik saja?” tanya sang asisten menghela berat.
Christian tertawa santai, “Dia pergi seolah ketakutan dengan ucapanku yang mengatakan dia menarik.”
Jihoon tersenyum pahit, “Well, hal itu memang bisa cukup menakutkan bagi wanita lugu dan polos sepertinya.”
“Kenapa begitu?” tatap Christian ingin tahu lebih jauh mengenai apa yang dipikirkan oleh sang asisten.
“Karena dia akan berpikir Tuan hanya bermain-main dengannya. Wanita miskin seperti Nona Liora akan takut berurusan dengan konglomerat berkuasa seperti Tuan.”
Ucapan Jihoon masuk cukup dalam ke benak Christian. “Hmm, benar juga. Lalu, aku harus apa?”
Bersamaan dengan pertanyaan itu, pelayan datang membawakan makanan. Sedikit terlihat bingung karena kini teman kencan Christian berubah dari wanita menjadi lelaki, tetapi ia tidak berani bertanya.
Jihoon menatap bosnya sambil tersenyum lebar, “Sekarang, bagaimana kalau kita makan dulu, Tuan? Setelahnya, kita akan membahas masalah investasi dari Jepang, dan mungkin … kalau Tuan mau, kita akan membahas mengenai Nona Liora.”
Christian tergelak, lalu mengangguk. “Yeah, baiklah, kita makan. Anyway, great job hari ini, Jihoon. Kamu sudah berhasil membuatku seolah tidak sengaja bertemu dengannya.”
Pria berkacamata mengangguk, “Terima kasih atas pujiannya, Tuan. Saya hanya melakukan pekerjaan.”
Christian mulai menyantap makan malamnya, tetapi pikiran tidak bisa lepas dari sosok Liora. Rasa penasaran dan menginginkan semakin besar, semakin membara.
‘Aku akan mendapatkanmu. Lihat saja, kamu tidak akan lolos dariku.’