“Aku bersedia.”
Dua kata, satu kalimat, bermakna segalanya bagi seorang pria yang penuh harap. Bagi seorang lelaki yang menunggu momen ini datang selama beberapa bulan terakhir.
"Sungguh? Kamu sungguh bersedia menjadi milikku?” Suara Tuan Xu sedikit terbata karena ia masih berusaha memercayai kalau semua ini nyata adanya, bahwa wanita itu menjadi miliknya.
Christian menatap Liora dengan mata berbinar. d**a dipenuhi ledakan perasaan yang sulit ia jelaskan. Mendengar Liora menerima dirinya sebagai kekasih adalah hal yang ditunggu, dibayangkan, dan kini menjadi kenyataan.
Dengan hati yang tak lagi bisa menahan bahagia, ia meraih tubuh molek itu ke dalam pelukan. “Terima kasih sudah memberiku kesempatan, Liora,” bisiknya lirih.
Kepala berambut panjang dan harum menyandarkan kepala di bahu Christian, merasakan kehangatan yang berbeda. “Aku hanya berharap kamu tidak menyia-nyiakan rasa yang kuberikan padamu.”
Lengan berotot dibalut jas Armani mahal merapatkan pelukan, lalu mengecup kening Liora dengan penuh kelembutan. “Aku tidak akan pernah menyia-nyiakanmu, Gorgeous. Kamu terlalu berharga untukku.”
“Jadi, kamu juga jatuh cinta padaku, ‘kan?” candanya menggoda.
Tawa renyah berderai dari bibir merah muda alami itu. “Tidak, aku hanya ingin membuatmu senang sesaat, lalu membuatmu terjatuh lagi. Mana mungkin aku jatuh cinta pada seorang CEO tampan, kaya raya, yang diinginkan begitu banyak wanita?”
“Mana mungkin aku jatuh cinta pada seorang pria yang begitu perhatian padaku di saat aku sakit? Itu tidak mungkin! Sungguh tidak mungkin aku jatuh cinta padamu!” balasnya sama menggoda, tertawa dalam dekap hangat harum segar.
Pelukan dan tawa bahagia itu berlangsung lama. Liora bisa merasakan detak jantung Christian, hangat dan menenangkan.
Hati berdebar bahagia meski tubuhnya masih lemah karena demam tinggi. Ia tidak pernah menyangka pria seperti Christian bisa menunjukkan kasih sayang sedalam ini.
Tuan Xu tersenyum kecil, tangannya mengusap punggung Liora. “Aku bahagia karena kamu akhirnya membuka hatimu untukku.”
“Aku senang kamu di sini,” gumam Liora pelan. “Seumur hidup, baru kali ini ada yang menyayangiku saat sedang sakit.”
“Ketika aku di panti asuhan, atau ketika aku di asrama kampus, setiap aku sakit menjelang datang bulan seperti ini …,” hentinya sesaat, menahan napas seakan tengah menahan ingatan panjang kesendirian. “Tidak ada yang peduli padaku. Aku selalu sendiri.”
Tak lama kemudian, mata Liora terasa berat. Obat flu yang diminumnya mulai bekerja, membuat tubuhnya ingin segera terlelap. Tanpa bisa ia tahan, bibir mulai menguap.
Ia tertawa kecil setelahnya. Malu karena menguap di depan bos tampannya. “Maaf, sepertinya aku mulai mengantuk.”
“It’s okay. Memang obat itu membuat mengantuk. Tidurlah, Liora. Kamu butuh istirahat,” ucap Christian lembut. “Aku di sini, tidak ke mana-mana.”
“Jangan!” engah sang wanita. “Kamu sudah lebih dari cukup merawatku hari ini. Kamu harus bekerja, aku akan baik-baik saja. Aku tidak mau merepotkanmu.”
Christian menunduk, mencium kening lembut itu sekali lagi. “Berapa kali aku harus mengatakan padamu? Kamu tidak pernah merepotkanku. Aku akan tetap di sini ketika kamu bangun nanti.”
“Dan mulai sekarang, kamu punya aku yang akan terus memerhatikanmu. Tidak akan hidupmu sepahit sesendiri saat kamu di panti asuhan atau di asrama kampus. Akan selalu ada aku, untukmu.”
Suara Liora menjawab dengan lirih menahan isak haru. “Aku … terima kasih, Chris.”
Sang pria mendorong perlahan tubuh kekasihnya hingga kembali rebah. Telunjuk membelai pipi mulus. “Selamat tidur, Gorgeous.”
***
Untuk memberi privasi pada wanita itu supaya bisa segera tertidur, ia keluar dari kamar. Duduk di sofa butut yang banyak debu dan bahan halus beterbangan keluar dari beberapa lubang, kepalanya menggeleng.
“Apartemen ini lebih mirip kandang anjing daripada sebuah rumah. Bagaimana dia bisa betah tinggal di sini?”
Setelah satu jam berlalu dan ia selesai mengurusi masalah pekerjaan, tubuh atletisnya berdiri, menatap sekitar apartemen sederhana itu dengan sorot mata penuh ketidakpuasan. Baginya, ruangan sempit ini tidak layak dihuni oleh Liora yang kini menjadi miliknya.
“Dia kemarin bilang bersedia tinggal di apartemen yang aku sewakan untuknya, kalau dia bersedia menjadi kekasihku, bukan? Oke, itu sudah cukup untuk memboyongnya keluar dari sini.”
Perlahan, ia membuka pintu kamar. Liora sudah tertidur di atas ranjang dengan lelap. Selimut menutupi sampai ke bawah dagu, menghangatkan tubuh dari hawa dingin kota New York yang merengkuh di luar sana.
Dengan sigap, Christian mengambil koper besar dari sudut ruangan. Ia mulai mengepak pakaian Liora, merapikan kosmetik, buku, dan berbagai barang penting lainnya. Tangan bergerak cekatan, berusaha tidak menimbulkan suara yang bisa membuat wanita itu terbangun.
Seorang CEO dari lingkungan keluarga konglomerat sedang meringkesi barang-barang yang kalau ditotal harganya tidak lebih dari sepasang sepatu Louis Vuitton yang sedang dia kenakan.
“Mulai hari ini, kamu tidak akan tinggal di sini lagi,” gumamnya lirih. “Saatnya kamu tinggal di hunian yang layak.”
***
Sekitar tiga jam kemudian, Liora perlahan terbangun. Ia mengerjapkan mata, merasa tubuhnya lebih segar. Akan tetapi, begitu pandangannya jelas, ia terkejut mendapati koper besar di sudut kamar dan lemari pakaiannya kosong.
“Christian?” kagetnya melihat sang pria sedang berdiri dan melakukan sesuatu di atas meja riasnya.
Tuan Xu yang sedang merapikan pakaian di atas ranjang menoleh, menatapnya dengan senyum tenang. “Kamu sudah bangun? Syukurlah. Demammu sudah turun. Aku sudah cek tadi.”
“Tapi … kenapa lemariku kosong? Apa … apa yang kamu lakukan? Kenapa semua barang-barangku di-packing?”
Tertawa kecil, lelaki itu kemudian duduk di tepi ranjang, meraih tangan Liora. “Karena hari ini juga aku ingin kamu pindah. Apartemen yang kemarin aku sewakan sudah siap. Aku tidak mau kamu tinggal di tempat yang tidak layak seperti ini lagi.”
“Kamu sudah berjanji mau tinggal di sana kalau bersedia menjadi kekasihku, bukan? Sekarang aku menagih janji itu.” Ia berkata sambil merapikan anak rambut Liora, meletakkan di belakang telinga.
Resepsionis cantik membelalakkan mata. Hatinya bergejolak antara tersentuh dan tidak percaya. “Chris … ka-kamu … kamu tidak perlu melakukan sejauh itu. Aku baik-baik saja di sini.”
Christian menggeleng dengan tegas. “Tidak, Gorgeous. Kamu tidak baik-baik saja. Aku melihat sendiri bagaimana sempit dan kotornya tempat ini, bagaimana kamu harus hidup dengan segala keterbatasan.”
“Kamu pantas mendapatkan lebih. Aku ingin kamu tinggal di tempat yang aman, nyaman, dan … dekat denganku.”
Lalu, ia tertawa menggoda. “Lagipula, ranjangmu itu terlalu kecil untuk ditiduri orang dua. Di mana aku akan tidur?”
Sekali lagi mata sang wanita membelalak. Bibirnya terbuka lebar, hanya bisa berkata, “A-apa?”
Gelak gemas meluncur. Tawa Christian berderai dan ia cubit gemas pipi kekasihnya. “Kamu dengar aku barusan. Kasurmu terlalu kecil untuk ditiduri dua orang. Bagaimana aku bisa tidur di sisimu kalau begitu?”
Liora menunduk, jantungnya berdebar keras. “Kamu … kamu ini bicara apa!” engahnya kebingungan dan salah tingkah.
Christian mengangkat wajah cantik itu dengan lembut, menatap lurus ke mata Liora. “Aku bercanda. Jangan takut begitu. Aku tidak akan melakukan apa pun padamu, kalau kamu tidak menginginkannya.”
“Yang akan kulakukan padamu meski kamu tidak menginginkannya adalah … aku akan menjagamu, aku akan membuat hidupmu lebih baik, aku akan menyayangimu, dan aku akan mencintaimu.”
Dua mata saling memandang setelah ucapan Tuan Xu yang sedemikian syahdu. Liora mengulum bibirnya karena ingin melirih haru setelah mendengar apa yang barusan ia dengar.
Tangan Christian terangkat, menyentuhkan punggung tangan itu ke kening lawan bicaranya. “Kamu sudah tidak demam. Sudah merasa lebih baik? Lihat, kalau kamu biarkan aku menyayangimu, kamu akan baik-baik saja.”
Liora tersenyum gugup dan menunduk. “Sepertinya benar … aku merasa lebih segar. Terima kasih karena sudah memerhatikan aku.”
“Karena sudah menyayangimu,” tandas Christian dengan nada penegasan, seakan meminta kalimat barusan direvisi.
Tawa kecil meluncur dari bibir manis itu. Wajah terangkat menatap malu-malu, lalu berkata, “Iya, terima kasih … terima kasih karena sudah menyayangiku.”
“Nah, itu baru benar!” angguk Christian tersenyum lebar, membuatnya terlihat semakin tampan. “Sekarang, ayo kita makan siang dulu. Aku sudah memesankan makanan untukmu.”
“Setelah makan siang, kita pindah ke apartemen yang kemarin. Dan aku tidak mau mendengar penolakan atau keraguan apa pun.”
Liora terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Baiklah.”
***
Begitu pintu apartemen mewah itu terbuka, Liora langsung merasa sedikit gugup. Apartemen ini adalah tempat yang semalam dipenuhi cahaya lilin dan suasana romantis.
Sekarang, ia benar-benar memasukinya sebagai tempat tinggal. Christian menggandeng tangannya lembut, menuntun ke dalam.
“Selamat datang di rumah barumu, Liora Zheng,” bisik Christian sembari mengecup pipi halus berkulit putih.
Liora menoleh, sedikit tersenyum malu. “Aku tidak menyangka benar-benar akan pindah ke sini.”
Christian menatapnya lekat. “Aku sudah bilang, aku tidak mau kamu tinggal di tempat lama itu lagi. Sekarang, biarkan aku menjagamu.”
Tanpa banyak kata lagi, Christian mengarahkan langkah Liora menuju kamar tidur utama. Kamar itu luas, dengan ranjang besar berseprai putih bersih, lampu temaram, dan aroma lembut dari lilin aromaterapi yang kini sedang ia nyalakan.
Liora tertegun, serba kikuk karena belum pernah menyentuh kenyamanan seperti ini sebelumnya. Ia hanya berdiri di pintu kamar seolah tak merasa berhak untuk masuk.
“Kenapa diam saja di luar? Ayo, masuklah,” kata Christian sambil meniup mati korek api yang barusan ia gunakan untuk menyalakan lilin aroma terapi.
Liora melangkah masuk pelan. “Tempat ini … entahlah, aku merasa terlalu indah untukku.”
Akan tetapi, jawaban Tuan Xu terdengar mengharu biru. “Salah, justru tempat ini jadi indah karena ada kamu.”
“Tanpa ada kamu di dalamnya, tinggal di sini, kamar ini hanya akan jadi kamar tidur biasa.”
Christian menarik tubuh wanita itu dengan lembut agar duduk di tepi ranjang. Ia menatap Liora yang tampak ragu. “Tidurlah lagi. Obat flu yang tadi kamu minum pasti sudah membuatmu mengantuk.”
Liora menunduk, menyentuh ujung seprei dengan jari-jarinya. “Aku sulit tidur kalau di tempat asing.”
Christian tertawa pelan, lalu melepaskan jasnya. Ia naik ke ranjang, lalu berbaring sambil merentangkan tangan. “Kalau begitu, tidurlah di pelukanku. Dadaku bukanlah tempat asing bagimu, bukan?”
Pipi Liora memerah seketika. Ia menoleh, menatap Christian dengan engah tertahan. “Kamu selalu tahu cara membuatku salah tingkah.”
Christian meraih pergelangan tangan kekasihnya. “Come here,” bisiknya, menarik perlahan gadis itu ke dalam pelukan. “Bukan salah tingkah. Itu tandanya kamu memang jatuh cinta denganku.”
Liora masih berusaha menahan rasa gugup dan rikuh karena berbaring di atas ranjang yang sama dengan CEO tampan ini. Akan tetapi, akhirnya ia membiarkan kepalanya rebah di d**a bidang Christian.
Helaan napasnya mulai melambat, sementara tangan Christian merengkuh tubuhnya dengan hangat, melindungi.
Suara mendayu berat sang CEO terdengar, “Liora, bisakah aku meminta sesuatu kepadamu? Dan aku harap hal ini tidak membuatmu tersinggung.”
“Tentu saja. Ada apa?” jawab sang resepsionis bersuara lembut.
“Rahasiakan hubungan ini.”
Terkejut, Liora sampai mengangkat pundaknya dan wajah berhadapan dengan Christian, saling menatap. Wajahnya dipenuhi rona kebingungan. “Ke-kenapa? Kenapa kamu tidak mau orang tahu kita menjadi kekasih? Kamu malu denganku?”
Pria tampan cepat menggeleng. “Aku tidak malu denganmu. Hanya saja … kamu tahu sendiri berita sedemikian cepat bergerak di sekitarku. Gosip ini, gosip itu.”
“Aku takut kalau mereka tahu kamu menjadi kekasihku, maka mereka akan menyerangmu. Aku tidak ingin menempatkan kamu di bawah lampu sorot yang hanya akan membuatmu jauh dariku.”
Ia membelai kening, pipi, dan dagu perempuan itu. “Aku ingin hubungan kita private. Aku ingin hubungan ini hanya diisi cintamu, cintaku, dan kepercayaan kita pada satu sama lain.”
“Aku takut kalau kita go public kamu justru akhirnya menjauh karena terlalu banyak gangguan. Yang mana akhirnya, kamu akan pergi dariku. Jadi, aku mohon … biarkan saja semua hanya kita berdua yang tahu.”
Liora mencerna semua ucapan itu beberapa detik hingga hanya menatap wajah bosnya itu dengan sorot gamang. Akan tetapi, setelah menarik satu napas panjang, ia mulai berpikir apa yang dikatakan oleh kekasihnya ini memang benar.
“Ya, baiklah, aku akan merahasiakan semuanya.”
“Terima kasih,” senyum Christian. Senyum yang lembut dan penuh rasa terima kasih. “Tidurlah, istirahat. Aku akan menemanimu sampai kamu terlelap.”
Liora mengangguk, lalu kembali merebahkan wajah di d**a harum ocean tersebut. Ia memberanikan diri untuk menggerakkan jemari walau debaran hati sungguh menggila di dalam d**a.
Ia usap d**a bidang yang memang tak terasa asing baginya. d**a yang sepertinya setelah ini akan menjadi rumah ternyaman.
Batin membiarkan diri menikmati kebersamaan ini, mengusir jauh perasaan ragu dan takut kalau suatu saat semua harus berakhir. Bibirnya berbisik lirih, “Terima kasih, Chris.”
Dan benar saja, ketika hening mengudara … tak butuh waktu lama sampai Liora benar-benar tertidur dengan damai.
Senyum Tuan Xu terbit sendu. Ketika ia tahu kekasihnya sudah terlelap, bisiknya terdengar seraya mengecup pucuk kepala. “Love you ….”
***
Waktu berjalan cepat. Empat jam berlalu tanpa terasa hingga kesadaran kembali menghampiri. Saat membuka mata, Liora terkejut mendapati kamar sudah gelap dengan lampu-lampu kecil menyala hangat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri.
Dengan pelan, ia duduk di tepi ranjang. Tubuhnya jauh terasa lebih segar. Ketika melangkah ke arah lemari untuk berganti pakaian karena yang sekarang terasa gerah dari keringat akibat demam yang sudah menurun total, ia membeku.
Semua pakaian yang sebelumnya masih berada di dalam kardus dan koper kini sudah tidak ada. Sudah masuk kedalam lemari ini.
Penasaran, Liora menyalakan lampu kamar hingga semua menjadi terang. Ia tertegun, matanya tak percaya. Seluruh pakaian, tas, dan kosmetiknya sudah tersusun rapi di dalam lemari. Tidak hanya itu, bahkan peralatan kecil lainnya pun telah dipindahkan dan ditata rapi.
Tangan Liora menyentuh kain salah satu bajunya yang tergantung rapi di dalam lemari. Hatinya berdesir haru. “Christian … kamu benar-benar melakukan semua ini untukku?” gumamnya lirih.
Air matanya hampir menetes, bukan karena sedih, tetapi karena terharu. Ia merasa semakin larut dalam perhatian bos tampannya tersebut.
Dengan langkah pelan, Liora membuka pintu kamar. Dari ruang tamu terdengar suara Christian sedang berbicara melalui telepon. Ia menghentikan langkahnya, tak sengaja mendengar percakapan itu.
“Mommy, aku janji akan ada hari lain untuk kita makan siang bersama Amanda,” suara Christian terdengar jelas. “Hari ini aku sangat sibuk dengan urusan penting.”
Liora terdiam di ambang pintu. Ada rasa bahagia karena Christian memilih menemaninya, tetapi juga sedikit heran mengapa namanya tidak disebut.
Dan yang mengikis kebahagiaan serta haru barusan adalah … nama itu, Amanda.
Namun, Liora cepat-cepat menggeleng. Ia tidak mau berpikir terlalu jauh. Christian sudah menunjukkan lebih banyak perhatian daripada siapapun dalam hidupnya.
Ia yakin suatu hari nanti, ketika Christian sudah siap meruntuhkan syarat nomor dua —tidak ada ikatan— ia pasti akan dikenalkan kepada keluarga Xu.
Menguatkan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu menutup pintu kamar kembali dengan hati-hati. Ia tidak ingin Christian tahu bahwa ia mendengar percakapan itu. Yang penting sekarang, ia percaya pada proses yang sedang mereka jalani.
***
Saat mereka makan malam di ruang makan yang begitu cantik, Christian berkata, “Aku ada perlu malam ini. Ada pekerjaan pintung dengan Paman Sean yang tidak bisa ditunda.”
“Paman Sean? Maksudmu, Tuan Sean Lycenzo?” angguk Liora balas bertanya.
“Hmm, kamu tahu dia?”
“Bagaimana mungkin tidak tahu. Beliau adalah pemilik X-Tech juga, bukan? Dia keluargamu, benar?”
“Ya, dia pamanku. Dan aku harus segera ke rumahnya untuk menyelesaikan masalah. Aku tidak bisa menemanimu di sini hingga pagi. Kamu tidur sendiri tidak apa, ‘kan?” tatap Tuan Xu lirih, seakan berat untuk meninggalkan kekasihnya sendiri.
Liora tersenyum yakin, “Aku sudah sehat. Tidak lagi demam, hanya masih flu. Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Selesaikan urusan pentingmu.”
Christian menghela panjang. “Kita bertemu besok di kantor?”
“Ya, kita bertemu besok di kantor.”
***
Sekian hari berlalu, Liora baru saja merapikan kertas-kertas di meja resepsionis ketika mendadak suara riuh terdengar dari luar lobi. Ia menoleh cepat, dan matanya terpaku saat melihat kilatan cahaya kamera bertubi-tubi.
Di luar kantor, ada seorang wanita cantik menuruni mobil hitam mewah dengan langkah anggun. Rambut cokelat panjang berkilau terkena sorot lampu kamera.
Wajah jelita dihiasi senyum ramah yang tampak menawan. Dua bodyguard tinggi tegap mengawalnya, membelah kerumunan wartawan yang berteriak memanggil namanya.
Saat pintu kaca kantor X-Tech terbuka, terdengar beberapa teriakan wartawan bertanya.
“Amanda! Apa kamu ke sini karena sekarang kamu dan Christian Xu resmi menjadi kekasih?”
“Amanda! Sejauh mana hubunganmu dengan sang CEO? Gosip mengatakan kalian akan segera bertunangan! Apakah itu benar!”
Bernice langsung menyikut Minerva dengan mata berbinar. “Astaga, itu Amanda Lilac! Cantiknya bukan main! Astaga! Kita kedatangan artis papan atas!”
Minerva menahan tawa kecil, lalu berbisik agak keras, “Kamu tahu tidak, gosipnya dia dekat sekali dengan Tuan Christian. Jangan-jangan, sebentar lagi kita punya nyonya bos seorang artis papan atas.”
Bernice menutup mulutnya sambil terkikik geli. “Aku tidak kaget kalau itu benar. Mereka serasi sekali, bukan?”
Liora terdiam membeku di balik meja resepsionis. Urat di lehernya menegang mendengar gosip itu, meski mulutnya tak berani ikut menimpali.
Ini bukan gosip pertama yang dia dengar tentang Christian dan Amanda. Akan tetapi, ini adalah gosip pertama yang dia dengar setelah menjadi kekasih rahasia bosnya tersebut.
Amanda melangkah masuk lobi. Tumit sepatunya mengetuk lantai dengan tingkat percaya diri yang luar biasa. Wajah sedikit mendongak dan pandang lurus ke depan. Tahu seluruh orang sedang menatapnya, tetapi dia hanya terus berjalan.
Liora tak bisa memalingkan pandangan. Ia baru benar-benar sadar betapa jauh keadaan dirinya dibandingkan artis itu. Amanda terlihat begitu sempurna dengan kulit mulus, postur tinggi anggun, aura bintang yang memikat semua mata.
Bernice mendekat ke telinga Minerva, tetap berbisik gosip dan terkikik. “Lihat itu. Tidak lama lagi cincin berlian mungkin akan melingkar di jari manis Amanda.”
Minerva menambahkan dengan penuh ekspresi sok tahu, “Aku rasa gosip mereka sudah lebih dari benar. Amanda terlihat begitu percaya diri datang ke sini.”
“Dia menjadi brand ambassador X-Tech juga pasti karena hubungan spesialnya dengan Tuan CEO. Sekarang, dia kemari juga pasti karena akan menemui Tuan Christian. Ah, aku sungguh berharap mereka menikah!” kekehnya.
Liora merasakan dadanya seperti diremas. Ia menunduk pura-pura sibuk mengatur dokumen, menghalau hati yang sedang tersayat hebat.
Saat Amanda melewati meja resepsionis, sekilas matanya bertemu dengan Liora. Senyuman tipis Amanda melintas, terlihat ramah.
Akan tetapi, ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Liora merasa kecil, seolah ia tak lebih dari semut di hadapan seorang dewi.
Amanda melanjutkan langkah tanpa menoleh lagi. Lift terbuka, bodyguard-nya masuk lebih dulu, lalu pintu menutup rapat setelah Amanda mengikutinya.
Begitu sosok itu menghilang dari pandangan, Bernice langsung berdecak kagum. “Aku tidak bisa membayangkan betapa bahagianya Tuan Christian punya kekasih seperti itu.”
Kata-kata itu menusuk hati Liora. Ia berusaha tetap tenang, tapi tangannya sedikit bergetar ketika merapikan kertas di mejanya.
Dalam hati, Liora berperang dengan dirinya sendiri. ‘Haruskah aku menanyakan langsung pada Christian tentang Amanda?’ pikirnya gelisah.
Namun, ia takut dituduh cemburu buta, takut dianggap tidak percaya.
‘Peraturan kedua, tidak ada ikatan.’
Suara Christian terdengar mengalun di rongga batin. Tanpa ada ikatan di antara mereka, apakah berhak seorang Liora untuk cemburu dan bertanya ini itu?
Hanya saja, di sisi lain, bagaimana mungkin ia menutup mata terhadap gosip yang jelas-jelas kini terpampang nyata di depan matanya?
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. ‘Christian bilang dia tidak akan menyia-nyiakan ketulusanku. Jadi, apakah aku harus percaya begitu saja?’
‘Tapi, kalau aku bertanya juga tidak salah, ‘kan? Meski kami tanpa ikatan, tapi dia sendiri mengatakan kami kekasih. Wajar kalau aku ingin tahu.’
Bingung, sangat bingung! Terlalu takut kisah Cinderella-nya berakhir kalau dia bertanya. Tidak bertanya pun, bagaimana kalau ternyata mereka berdua sungguh bertunangan? Kisah Cinderella-nya juga akan berakhir kalau begitu.
Liora tahu, hatinya sedang diuji. Dan ia belum tahu apakah dirinya sanggup melewatinya tanpa luka.