Ch.12 Yang Penting Itu Kamu

2116 Kata
Pagi itu, ketika Christian sedang ada di kendaraan berangkat ke kantor, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan video masuk dari Amanda Lilac. Nama itu saja sudah cukup membuatnya menghela napas terbebani. Ia menekan tombol jawab, dan wajah cantik Amanda muncul di layar dengan senyum cerah yang khas seorang artis papan atas. “Selamat pagi, Chris,” sapa Amanda riang. “Yeah, morning. Aku sedang menyetir di jalan, ada apa?” sahut Tuan Muda Xu memilih melihat ke jalan daripada melihat ke layar ponsel. Suara merdu Amanda kembali terdengar. “Aku baru dapat pesan dari Mommy-mu. Hari ini, aku diundang makan siang bersamanya. Kamu akan datang juga, bukan?” Menjawab itu, Christian tersenyum datar. Saking malasnya dia berdebat dengan Ghea sampai tadi mengiyakan saja dibuatkan janji makan siang dengan Amanda. Setelah menghela jengah, ia mengangguk. “Ya, aku akan datang. Mendengar jawaban itu, wajah Amanda langsung berbinar. “Syukurlah. Aku sempat khawatir kalau kamu tidak bisa hadir. Rasanya sudah lama sekali kita tidak duduk bersama seperti dulu.” Christian hanya mengangguk kecil, mencoba tidak memberi celah lebih banyak pada pembicaraan yang bisa menjebaknya. “Baiklah, karena aku sedang menyetir, aku tidak bisa bicara banyak. Sampai jumpa nanti siang.” Amanda tersenyum lebih manis. “Baiklah, Chris! Sampai jumpa nanti siang! Bye@!” Lalu, dia memutuskan panggilan. Christian mengusap wajahnya sendiri, merasa malas. Ia tahu, di balik undangan makan siang itu, ada rencana yang sudah disusun oleh ibunya. Hanya saja, dia terlalu malas untuk beradu kata hingga cukup mengiyakan dan berharap ke depannya tidak ada lagi urusan dengan Amanda kecuali urusan pekerjaan. *** Sesampainya di lobi kantor, langkah Christian menapak gagah. Mata otomatis menoleh ke arah meja resepsionis, ingin melihat sosok cantik yang membuatnya terhuyung-huyung. Namun, dahinya berkerut begitu melihat salah satu meja kosong. Liora tidak ada di sana. Hatinya langsung terasa aneh, seperti ada ruang kosong yang tiba-tiba hadir. Padahal, baru saja semalam mereka berdansa. Kenapa pagi ini tidak melihat Liora sudah terasa menyesakkan? Yah, namanya saja sedang jatuh cinta. Ia menoleh pada Jihoon yang berjalan mengikutinya. Dengan suara pelan, Christian bertanya, “Ke mana Liora? Cari tahu ada apa kalau memang dia tidak masuk.” “Baik, Tuan.” Jihoon hanya mengangguk sopan, tidak langsung mencari tahu dan hanya diam hingga mereka masuk ke dalam lift menuju lantai atas. Sekitar lima menit kemudian, sang asisten memasuki ruang kerja CEO X-Tech. “Tuan, saya mendapat kabar dari bagian HR bahwa Nona Liora izin sakit hari ini. Katanya dia flu berat, demam, dan tidak bisa masuk.” Christian yang sedang membuka jasnya langsung berhenti tertegun. “Sakit?” suaranya terdengar lebih khawatir dari biasanya. “Sakit apa? Semalam aku mengantarnya pulang dia terlihat baik-baik saja.” “Apa Tuan ingin saya ke rumah Nona Liora dan mencari tahu dia sakit apa?” usul Jihoon masih tetap dengan ekspresi datarnya. Namun, Tuan Muda Xu menggeleng. “Tidak usah. Sudah, keluarlah. Thanks.” Setelah ia kembali sendiri di ruang kerja, Christian meraih ponselnya dan segera menekan nomor Liora. Suara dering terdengar beberapa kali hingga akhirnya terhubung. “Halo?” Suara Liora terdengar serak dan lemah di seberang. “Liora, ini aku, Christian,” ucapnya cepat, penuh kekhawatiran. “Kenapa kamu tidak masuk? Kamu sakit apa?” “Aku … hanya flu berat. Badanku demam tinggi. Maaf tidak sempat memberi kabar langsung.” Nada suara itu begitu ringkih, membuat Christian merasa aliran darahnya berdesir dengan kekhawatiran. “Demam tinggi? Apakah kamu sudah minum obat? Apakah ada yang menemanimu di apartemen?” Memberondong dengan pertanyaan, kekhawatiran yang jelas nyata. Perhatian yang membuat Liora terdiam sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada siapa-siapa. Aku hanya sendiri. Aku belum minum obat, aku belum membelinya.” “Ini hanya penyakit flu biasa. Nanti siang juga sembuh sendiri. Maaf, karena tidak bisa masuk kantor.” Helaan resah meluncur lugas dari bibir Tuan Xu. “Ya, sudah, kamu istirahat saja. Jangan pikirkan masuk kantor. Tidurlah.” “Baik, Chris, terima kasih sudah menelepon dan menanyakan kabarku.” Sambungan telepon berakhir. Christian yang sejak pertama belum duduk di kursi kerjanya memutuskan untuk tidak duduk sama sekali pagi ini. Dia justru kembali merapikan jas dan segera mengambil kunci mobilnya. “Tuan mau ke luar?” tanya Angelica saat berpapasan di depan pintu masuk. “Ya, batalkan janjiku mulai pagi ini hingga siang nanti. Aku ada perlu mendadak.” Mata sekretaris seksi itu menelisik penasaran. “Tuan mau ke mana?” “Bukan urusanmu. Kalau ada yang bertanya, bilang saja ada urusan keluarga yang penting.” Manggut-manggut, Angelica hanya mengiyakan. Akan tetapi, dalam hati dia sungguh penasaran ke mana bosnya tersebut. *** Perjalanan ke apartemen Liora terasa panjang bagi Christian. Ia terus menahan diri untuk tidak menelpon ulang, meski hatinya gelisah. Bayangan demam tinggi gadis itu menghantui pikirannya. Sampai di apartemen kumuh itu ia langsung menaiki tangga. Tidak mengetuk, ia langsung memutar daun pintu. Ternyata tidak dikunci. ‘Bahaya sekali dia membiarkan pintu apartemen terbuka seperti ini. Astaga! Kalau nanti dia menerimaku dan bersedia tinggal di apartemen yang aku sewakan untuknya, dia akan terlindungi dengan baik.’ Memasuki apartemen kecil yang kumuh, matanya langsung terpaku pada sosok gadis desa yang sedang meringkuk di atas ranjang kecil nan reyot. Selimut tebal menutupi tubuh mulai ujung kaki hingga pundak. Hidung Christian mengembus lirih. Ia melihat sekitar sambil berjalan. Terenyuh dengan betapa langit dan buminya tepat ini dengan tempat di mana dia tinggal. Kantor CEO-nya saja mungkin tiga atau empat kali lebih besar daripada apartemen kumuh ini. Ia kemudian duduk di tepi ranjang dengan perlahan. Tangan diangkat, kemudian menyentuh kening lembut. ‘Ya, ampun, panas sekali!” “Liora, ini aku! Liora, bangun,” ucapnya dengan segera, mengguncang sedikit tubuh yang sedang terlihat terlelap. Diguncang begitu, Liora bangun dengan sangat kaget. Mata terbelalak melihat siapa yang ada di pinggi ranjang sedang menatapnya khawatir. “Kamu kemari?” “Tentu saja aku kemari. Kamu bilang demam tinggi dan belum minum obat. Bagaimana mungkin aku tidak kemari dan mengecek sendiri kondisimu?” Mata Christian menatap lirih. “Sudah sarapan?” Resepsionis cantik menggeleng. “Kenapa belum sarapan?” “Aku terlalu pusing untuk bangun dan badanku menggigil.” “Mana obatmu? Setelah sarapan, minumlah obat.” “Aku belum beli obat.” “Astaga!” geleng sang CEO. “Kamu tidak ada stok obat?” Dan Liora kembali menggeleng. “Ini tanggal tua. Uangku sudah menipis.” Sesak rasanya d**a Christian mendengar itu. “Kamu ini, kenapa sejak kemarin diam saja?” Liora menunduk, terlalu letih untuk menjawab dan berargumen. “Semalam kamu seperti baik-baik saja? Kenapa mendadak bisa sakit?” “Kalau mau datang bulan memang suka seperti ini.” Liora menjawab dengan malu-malu. Christian terus menerus menghela lirih. “Ya, sudah, kamu istirahat saja. Aku buatkan sarapan dan carikan obat untukmu.” “Tidak usah. Nanti siang juga sem—” “Diam,” potong sang CEO. “Kamu sakit, demammu tinggi! Mau aku rawat atau kubawa saja langsung ke rumah sakit?” Tidak ada jawaban. Wanita itu masih terus mendunduk. Mendadak, ada sentuhan bibir di pucuk kepalanya dengan suara berat mendayu terdengar. “Tidurlah, istirahat. Biar aku yang urus sarapan dan obatmu.” Lalu, tubuhnya kembali direbahkan perlahan ke atas ranjang. Bahkan, jemari Christian bergerak menyelimuti Liora. Satu belaian di pipi sang wanita, lalu ia keluar dari kamar tidur. Sampai di ruang tamu, ia segera mengeluarkan ponsel dan melakukan pemesanan makanan juga obat-obatan. Sementara Liora yang kembali memejamkan mata di atas ranjag, hatinya bergemuruh. ‘Dia datang kemari hanya untuk merawatku yang sedang sakit? Bukankah dia orang yang sangat sibuk?’ Bagi seorang Christian Xu, meninggalkan kantor demi seorang resepsionis memang bukanlah hal yang masuk akal. Namun pagi ini, semua logika itu tak berarti apa-apa. Yang ia tahu hanyalah satu, ia tidak tahan melihat Liora sakit sendirian. *** Beberapa menit kemudian, bel apartemen berbunyi. Christian bangkit, mengambil pesanan sup hangat, teh herbal, dan obat-obatan. Berjalan ke dapur, meletakkan sup itu di mangkok. Ia tuang the berbal di tumbler. Terakhir, ia buka dua obat, yaitu obat flu dan penurun demam, melatakkan dua butir di cepuk kecil. Tangan meraih satu nampan, meletakkan semua di atasnya, lalu berjalan masuk kembali ke kamar tidur. Nampan ia letakkan di sisi ranjang, kemudian duduk di tepian. “Liora, bangunlah. Ayo, makan dan minum obat.” Sang wanita membuka mata perlahan. Ia duduk di atas ranjang, lalu menggeleng. “Aku belum lapar.” "Ayo, kamu harus makan sedikit. Kalau tidak, tubuhmu semakin lemah," ujarnya sambil memperlihatkan sup yang sudah ia persiapkan. Uap harum kaldu ayam menyebar, menenangkan udara ruangan. Liora menggeleng, matanya setengah terpejam. "Aku tidak punya selera makan." Christian menghela napas lalu menyendok sedikit sup, meniupnya agar tidak panas, lalu mendekatkan sendok itu ke bibir pucat. "Seumur hidup, satu-satunya wanita yang aku suapi adalah ibuku saat dia sakit dan dirawat di rumah sakit." "Kalau sekarang aku mau menyuapi kamu, berarti ini keajaiban. Jadi, jangan menolaknya, mengerti?” Ucapan itu tegas, tetapi juga ada kehangatan yang menyeruak hingga Liora merasa terenyuh. Ia terus menatap dengan rasa tidak percaya kalau sang CEO bersedia mengurusinya saat sedang sakit begini. “Buka mulutmu,” tandas Tuan Xu sambil tersenyum sendu. Tak ingin membantah lagi, Liora kemudian membuka mulutnya. Walau rasa pahit langsung menguar di lidah, tetapi ia paksa untuk menerima tiap suapan. Pipi Liora memerah, bukan karena demam semata, melainkan karena rasa canggung disuapi bosnya sendiri. "Christian, ini sungguh tidak perlu. Aku makan sendiri saja." Namun, Christian menolak. “Diam dan biarkan aku menyuapimu. Biarkan aku menyayangimu, setuju?” Uh! Biarkan lelaki itu menyayangimu, Liora! Sambil menyuapi, pemuda itu mengajak mengobrol tentang hal-hal sederhana hingga tidak terasa satu mangkuk sup hangat akhirnya habis. “Nah, sekarang minum obatnya, lalu minum teh herbal ini. Kalau aku sakit, ibuku selalu datang membawakan teh herbal yang sama.” Liora mengangguk, hatinya berdebar. Ia belum pernah melihat sisi Christian yang selembut ini. Yang biasa dia lihat hanya gombalan demi gombalan, bukan kepedulian nyata seperti sekarang. Tiba-tiba, ponsel pria itu berdering di saku celana. Ia mengambilnya, melihat layar, lalu segera menerima. "Ada apa, Jihoon?" Meletakkan mangkuk kembali ke atas nampan, kakinya melangkah keluar kamar. Ia terima telepon itu di ruang tamu. Liora hanya bisa mendengar samar percakapan yang semakin membuatnya terenyuh. “Batalkan semua janji temu dan urusanku untuk satu hari ini. Aku sama sekali tidak akan kembali ke kantor.” “Oh, ya, telepon juga ibuku katakan makan siang hari ini batal. Bilang aku ada rapat dadakan yang tidak bisa diganggu.” “Telepon juga Amanda dan bilang aku tidak bisa bertemu dengannya siang ini. Besok saja bertemu di saat presentasi media advertising untuk konsep iklan terbaru X-Tech.” “Ya, pokoknya batalkan semua janji temuku hari ini. Aku ada urusan yang lebih penting.” Terengah, Liora terengah mendengarnya. “Ada urusan yang lebih penting? Apa itu maksudnya adalah aku?” *** Tuan Xu kembali ke dalam kamar. Ia tersenyum, “Maaf, Jihoon menelepon urusan kantor. Aku tidak ingin mengganggumu dengan hal itu. Jadi, aku terima di luar.” “Kamu membatalkan semua janji temu hari ini?” lirih Liora menatap dengan mata berkaca-kaca. “Ya,” angguk Christian menjawab dengan tenang dan santai seakan itu bukan hal yang patut dibanggakan atau dilebih-lebihkan. Sang wanita bernapas memburu, “Kamu tidak seharusnya melakukan itu semua. Aku tidak mau membuat urusanmu berantakan.” “Memangnya siapa yang bilang urusanku akan berantakan?” kekeh Christian, lalu duduk di tepi ranjang. Ia menatap semakin dalam hingga menggetarkan relung hati resepsionis tersebut. “Bagiku saat ini yang terpenting adalah kamu.” Air mata hangat menetes di sudut mata Liora. "Kenapa kamu melakukan semua ini? Kamu bisa saja hanya mengirim obat atau memanggil perawat. Tapi, kamu memilih ada di sini bersamaku." Christian mendekat, meraih tangan halus yang terasa dingin. "Karena aku ingin. Karena aku peduli. Karena aku ingin memastikan kamu baik-baik saja.” “Dan karena … aku jatuh cinta padamu. Aku menyayangimu. Itulah kenapa.” Liora terdiam. Hatinya serasa runtuh, semua dinding yang ia bangun selama ini goyah. “Kamu membatalkan janjimu dengan Amanda Lilac. Dia artis yang sangat terkenal. Tidakkah kamu merasa rugi membatalkan janji dengannya?” Mendengar ini, Tuan Xu tergelak spontan. “Aku sudah lama kenal Amanda sejak dari dia belum menjadi artis. Sudah, tidak usah pikirkan semua janji temuku." “Kamu tidak usah memikirkan urusan pekerjaanku, Gorgeous. Yang penting, pikirkan kesembuhanmu, dan pikirkan tentang … kita.” Hening sesaat menyelimuti ruangan. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar dan juga hidung basah Liora karena flu berat. Wanita itu kemudian menarik napas dalam, lalu menatap mata Christian. “Ini hari terakhir dari batas 3x24 jam, bukan?” “Hmm, dan semoga kamu sudah ada jawaban,” angguk Tuan Muda Xu tersenyum penuh harap. Mereka kembali diam dan saling menatap. Debar menyeruak lembut, meninggikan romansa di udara. Suara Liora kemudian terdengar lembut, meski masih dibayangi keraguan yang dipaksa hilang. "Baiklah ... aku bersedia.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN