Ch.08 Senyum-Senyum Sendiri

3514 Kata
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis di kamar utama rumah mewah Tuan Xu. Liora membuka mata perlahan, tubuhnya masih agak lemas. Setelah duduk, ia mencoba menggerakkan kakinya. Ternyata sudah tidak sesakit kemarin. Pelan, wanita itu menurunkan kakinya ke lantai dan menapak dengan hati-hati. Ada sedikit nyeri, tetapi bisa ditahan. Ketukan terdengar di pintu kamar. “Liora, kamu sudah bangun?” suara Christian terdengar pelan namun jelas. Suara yang langsung mendatangkan debaran sekali lagi di dalam d**a Nona Zheng. “Aku sudah bangun! Sebentar, aku berjalan dan membuka pintu!” serunya. Akan tetapi, baru saja mau memulai satu langkah, pintu sudah terbuka. Christian masuk dengan membawa satu cangkir yang sedikit mengepulkan asap. “Tidak usah berjalan kemari. Duduk saja di sana. Bagaimana kakimu?” ucap sang CEO, menatap lekat. Liora mengangguk, tersenyum kecil, “Kakiku sudah tidak sesakit kemarin. Masih agak nyeri, tapi aku sudah bisa berjalan.” Christian terus berjalan. Sambil meletakkan cangkir teh di sisi ranjang, ia menatap kaki sang gadis. “Bagus, kalau begitu. Aku akan mengantarmu pulang ke apartemenmu sekarang. Kamu tidak perlu masuk kantor hari ini, gunakan waktumu untuk istirahat.” “Aku mau mandi. Kamu minum teh itu, aku membuatkannya sendiri untukmu. Setelah aku mandi, aku akan mengantarkanmu pulang.” “Apa tidak merepotkan?” tanya Liora ragu, matanya menyapu wajah Christian dengan tatapan ragu. “Biar saya naik taksi saja.” “Tidak sama sekali. Aku tidak akan tenang kalau kamu kembali sendiri,” jawab Christian tegas. “Aku akan memastikan kamu masuk apartemenmu dengan selamat. Bagaimana kalau di tengah jalan nanti kakimu sakit? Siapa yang menggendongmu seperti kemarin?” Liora menunduk, menahan debar. Dia sudah tahu pasti wajahnya memerah. Teringat bagaimana semalam wajahnya begitu dekat dengan wajah sang CEO, dengan leher yang menguarkan aroma maskulin lautan segar. Bau marine ocean memang selalu sukses membuat wanita mana pun merasa terhanyut dalam debur ombak, tergulung dalam keinginan untuk berbuat lebih. Akan tetapi, ia segera membuang pikiran itu. Cepat meyakinkan diri bahwa pria ini hanya ingin bersenang-senang dengannya, dan itu seperti membiarkan diri masuk ke dalam sebuah rumah tua, hanya menunggu atap untuk ambruk menyakiti sekujur tubuh. “Aku akan mengantarmu pulang, titik.” Christian menegaskan sekali lagi. Maka, Liora mengangguk dan berucap lirih, “Baik, Tuan.” *** Mobil hitam Christian melaju di jalan Kota New York yang masih agak lengang. Liora duduk di kursi penumpang dengan pandangan lurus ke depan. Ia tampak canggung berada di samping bosnya, tidak bisa menolak perhatian yang diberikan. “Bagaimana rasanya sekarang setelah berjalan dari kamar tidur ke teras? Masih sakit?” tanya Christian sambil melirik sekilas ke arah kakinya. “Jangan lupa setelah mandi nanti oleskan lagi salep anti nyeri yang aku berikan padamu.” “Sudah lebih baik. Hanya sedikit nyeri saat tadi turun tangga,” jawab Liora lirih. “Iya, saya akan mengoleskan salep dari Tuan.” “Kalau begitu, seperti kataku tadi, jangan memaksakan diri. Hari ini kamu tidak boleh kerja. Istirahat saja di rumah. Ijin pada HRD dan atasanmu, katakan kamu tadi malam terjatuh dan kakimu terkilir,” ucap Christian tenang, di mana intonasinya mengandung nada protektif. Liora hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Perhatian pria ini selalu membuat batinnya berdebar, walau ia terus berusaha menolaknya. “Liora,” panggil CEO tampan itu. “Ya, Tuan?” “Kalau kita sedang berdua begini, bisakah kita tidak usah terlalu formal? Berhenti memanggilku Tuan.” Setelah berpikir selama beberapa detik, wanita itu bertanya, “Lalu, saya harus panggil Tuan dengan sebutan apa?” Christian menoleh, menatap dalam, kemudian tersenyum nakal. “Panggil nama saja. Panggil aku Chris, begitu biasanya orang-orang memanggilku.” “Tapi, kalau mau panggil Baby, atau Honey, atau Sweetheart juga boleh.” Astaga! Liora cepat menunduk, tak sanggup lagi menatap wajah tampan yang tengah memandanginya sedemikian menggoda. Memanggil pria ini dengan sebutan sayang seperti yang tadi disebutkan? Tawa renyah Christian berderai di kabin mobil mewahnya. Sekali lagi berhasil membuat sang gadis mati kutu dengan wajah merah padam. “Kalau kamu memanggilku dengan Baby, aku akan memanggilmu dengan Gorgeous. Karena kamu memang sangat cantik.” Liora tak bisa menjawab. Dia hanya terus menunduk dan meremas-remas sendiri jarinya yang ada di atas pangkuan. Lalu, mobil terus meluncur dengan debaran yang tidak kunjung reda di d**a sang gadis. *** Begitu mobil berhenti di depan sebuah bangunan tua, Christian menatap terkejut. “Ini tempat tinggalmu? Di apartemen ini? Seriously? Bangunan ini seperti dibangun di abad ke-15 dan sekarang sudah mau ambruk!” geleng Tuan Muda Xu menatap tak percaya. Liora tersenyum lirih, berusaha menutupi rasa malu. “Ya, uhm … saya tahu ini tempat yang jelek, memang tidak bagus, tapi masih cukup untuk saya.” Christian keluar dari mobil lebih dulu, kemudian menunggu Liora di sisi lain karena wanita itu langsung keluar sendir dari pintu tanpa menunggunya. Saat mereka naik ke lantai dua melalui tangga sempit, sang pria mendengar suara berdecit dari tangga kayu yang sudah terlihat sangat usang, juga melihat cat dinding yang terkelupas. “Bangunan ini lebih mirip rumah hantu ketimbang apartemen.” Nona Zheng tertawa kecil mendengarnya. Ia paham, bagi orang yang sudah terbiasa hidup dengan kemewahan seperti bosnya itu, mendapati bagunan seperti apartemennya memang bagai masuk ke rumah hantu. Liora membuka pintu apartemennya dengan kunci yang agak macet. Begitu pintu terbuka, udara dingin langsung menyambut. Ruangan itu tampak kumuh, atapnya terlihat ada bekas bocor, dinding berjamur, dan bau apek menusuk hidung. Christian melangkah masuk dengan raut wajah tertegun. Pandangannya menyapu setiap sudut ruangan. Wastafel dengan kran yang menetes, dinding dengan lubang kecil yang tampak seperti jalur tikus, serta karpet lama yang sudah usang. “Liora …,” helanya dengan suara prihatin. “Kamu sungguh harus pindah dari sini. Apa kamu tinggal di sini sendiri? Atau ada roommate?” Namun, wanita itu menggeleng sambil berjalan ke arah sofa dan meletakkan tasnya di atas meja. Ia duduk, memijit kakinya yang agak nyeri setelah naik tangga. Salah sendiri tidak mau saat ditawari untuk digendong lagi oleh bosnya. “Sakit, ‘kan, kakimu? Kamu tidak mau aku gendong tadi saat naik tangga,” erang Christian menggeleng. “Begini ini kalau tidak mau disayang.” Ah, sudahlah! Kenapa semua kalimat dari bibir Christian membuat kita senyum-senyum sendiri. Tidak hanya kita, tetapi juga Liora. Begini ini kalau tidak mau disayang? Dasar, playboy kelas ikan paus! Liora tertawa kecil, menutupi kegugupan serta rasa salah tingkah. “Hanya sakit sedikit, Tuan.” “Chris. Apa kubilang tadi? Jangan terlalu formal,” tukas Tuan Xu menolak dipanggil Tuan. Ia berjalan ke sudut ruangan dan menyentuh radiator tua yang ternyata tidak berfungsi dengan baik. Udara dingin menusuk kulitnya, membuat ia menarik napas panjang. “Ini bukan tempat tinggal yang layak. Bagaimana kalau musim dingin datang? Kamu bisa sakit parah tinggal di sini.” Liora terkekeh pelan, mencoba meredakan kekhawatiran bosnya. “Kalau begitu mungkin aku harus meminta kenaikan gaji padamu. Dengan begitu aku bisa pindah ke tempat yang lebih baik.” Christian menoleh cepat, menatap matanya lekat-lekat. “Aku serius, Liora. Kamu harus segera pindah.” “Tuan … eh, Chris … uhm … Christian, aku baik-baik saja,” ucap Liora pelan, menunduk. “Di kontrak kerja, kalau aku sudah lolos masa percobaan selama tiga bulan, aku akan mendapat kenaikan gaji. Tidak banyak, hanya $500 setiap bulan. Saat itu aku akan pindah dari sini.” “Jadi, jangan khawatirkan aku. Sungguh, aku baik-baik saja. Aku tidak mau merepotkanmu dengan memikirkan keadaanku.” “Ini bukan soal merepotkan atau tidak. Aku tidak bisa diam saja melihatmu tinggal di tempat yang tidak aman seperti ini,” kata Christian menghela panjang, berat, sangat khawatir. Tiba-tiba ponsel Christian berdering. Ia melihat layar sebentar, lalu menerima. “Ya, Angelica?” Mendengar nama itu, Liora reflek menarik napas. Wanita yang selalu sinis padanya sejak awal masuk kantor pada hari pertama. Sekretaris sang CEO yang begitu mempunyai kuasa besar di kantor. Ia menutup mulut, menunduk, seolah tidak mau tahu apa yang akan dibicarakan bosnya dengan sekretaris seksi tersebut. “Selamat pagi, Tuan. Saya hanya mengingatkan janji temu Anda dengan klien dari Rusia jam 8.30 PM nanti di Resaturant Masa. Jihoon juga sudah saya ingatkan, katanya dia akan langsung menemui Tuan di sana.” “Hmm, oke. Aku akan segera ke sana setelah selesai di sini,” jawab Christian, lalu menatap Liora yang tengah menunduk. Angelica sedikit terhenyak, “Eh, setelah selesai urusan di sini? Memangnya Tuan di mana? Saya kira Tuan di rumah atau di jalan.” “None of your bussiness.” Christian menegaskan bahwa di mana pun dia berada, itu bukan urusan sang sekretaris. Lalu, ia mematikan sambungan. Setelah mengakhiri pembciaraan di telepon, ia menatap Liora lagi. “Aku harus pergi sekarang, ada janji penting. Beristirahatlah, ya? Kalau kakimu semakin sakit segera hubungi aku. Kita ke rumah sakit.” Liora mengangguk perlahan, tersenyum meski raut wajahnya terus menyiratkan kegamangan dengan semua perhatian itu. “Terima kasih sudah mengantarku, Tuan Christian.” “Eh, Chris …,” ralatnya, lalu tertawa malu-malu. “Panggil Baby sajalah,” tukas Christian sambil mengulum senyum. Mereka sama-sama terdiam dengan bibir yang entah ingin tersenyum lebar atau bagaimana. Liora menunduk, menahan engah menggelora. Tuan Xu melirik jam di tangan, dia harus segera pergi. “Bye, Liora. Sampai jumpa lagi.” “Terima kasih, untuk semuanya,” angguk Liora. “Selamat bekerja.” Christian menatap resepsionis-nya yang cantik itu sekali lagi, lalu melangkah keluar. Begitu menuruni tangga bangunan tua itu, jemari mengeluarkan ponselnya dan segera menekan nomor Jihoon. “Selamat pagi. Apa yang bisa saya bantu di pagi hari nan cerah ini, Tuan?” suara Jihoon terdengar dari seberang. “Carikan apartemen yang bagus dekat dengan kantor X-Tech. Harus nyaman, aman, dan layak huni. Aku tidak peduli biayanya. Aku ingin secepat mungkin.” “Apartemen untuk Anda, Tuan?” Jihoon memastikan. “Bukan. Untuk seseorang yang harus segera pindah dari tempat yang tidak pantas disebut rumah. Aku tidak ingin ada penundaan.” “Baik, Tuan. Akan saya urus segera.” Tidak usah banyak tanya, Jihoon bisa mengira apartemen itu untuk siapa. Meski tidak dipungkiri ada kebingungan serta keterkejutan. Dalam hati, asisten itu berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Tuan Xu seperhatian ini pada siapa pun. Apa dia sungguh jatuh cinta dengan Nona Liora?’ *** Siang hari, suara ketukan pintu membuat Liora tersentak dari lamunannya. Ia baru saja bangun dari tidur ketika seorang kurir berdiri di depan pintu, membawa tas khusus makanan. “Pesanan untuk Nona Liora,” ucap kurir itu sopan. Liora mengerutkan kening. “Untuk saya?” “Ya, sudah dibayar lunas. Ini juga ada titipan kertas kecil di dalamnya.” Kurir menyerahkan bungkusan dan segera berlalu. Dengan hati-hati, Liora meletakkan tas makanan itu di meja reyot ruang tengah. Bau harum masakan langsung memenuhi ruangan, aroma khas dari restoran mahal yang tentu saja tidak pernah ia kunjungi. Tangannya bersemangat saat membuka wadah demi wadah. Ada steak premium, sup hangat, dan dessert yang cantik ditata sehinga membangkitkan nafsu makannya dengan seketika. Di antara kotak makanan, sebuah kertas terlipat rapi. Liora membukanya dengan rasa penasaran. Tulisan tangan yang tegas dan rapi langsung membuat dadanya berdesir. “Hari pertama. Ingat, batas waktu 3x24 jam dan aku berharap mendengar kata ya di akhir waktu.” Liora menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut. Ia terpaku, tak mampu segera mencerna maksud pesan itu. Wajah Christian melintas jelas di benaknya. Sorot mata pria itu, ketegasan dalam suara berat mendayu, dan cara ia memerhatikan hal-hal kecil tentang dirinya. Hati terenyuh, sekaligus diliputi rasa takut. “Kenapa dia terlihat begitu bersungguh-sungguh ingin membuatku menerima rasa sukanya? Padahal, aku masih belum berani membayangkan menjalin hubungan kasih bersamanya,” gumam sang wanita lirih. Setelah beberapa menit hanya menatap makanan itu, akhirnya Liora meraih ponsel. Ia menata kotak makanan dengan hati-hati, meletakkan kertas tulisan di sisi paling depan. Dengan tangan sedikit gugup, ia mengambil foto dari atas meja, dan mengirimnya ke seseorang. Jari-jari mengetik pelan, menyertakan foto itu dalam sebuah pesan. [Terima kasih atas perhatiannya.] Ia menatap pesan singkat itu beberapa detik lebih lama, ragu apakah harus dikirim atau dihapus. Akan tetapi akhirnya, ia menekan tombol kirim. Begitu pesan terkirim, jantung Liora berdegup kencang. Ada rasa lega, tetapi juga takut dengan reaksi yang akan ia terima. Di gedung perkantoran X-Tech, Christian tengah duduk di ruang rapat bersama beberapa direktur yang lain. Ia tengah berbicara lantang, membahas perkembangan perusahaan dan semua orang terfokus padanya. Mendadak, ponsel bergetar pelan. Saat ia melihat layar, mengetahui siapa yang mengirim, senyum lebar langsung merekah di wajah. Sebuah foto terpampang jelas, yaitu makanan yang ia kirimkan, dengan kertas bertuliskan tangannya, berdampingan di meja apartemen Liora. Matanya kemudian tertumbuk pada caption singkat yang membuat dadanya berdebar. Liora [Terima kasih atas perhatiannya.] Senyumnya merekah, tetapi bibir cepat ia gigit karena ingin terbahak bahagia. Para direktur saling pandang. Mereka kebingungan karena mendadak CEO yang biasa dikenal dingin dan tegas saat di ruang rapat mendadak berhenti berbicara. Padahal, tidak pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya. Orang-orang saling pandang, di mana kemudian mereka menatap Jihoon seolah meminta penjelasan kenapa bos mereka senyum-senyum sendiri dengan wajah merah merona seperti bocah sekolah sedang kasmaran? Dan Jihoon, asisten yang dinginnya melebihi kutub utara hanya mengendikkkan bahu sambil tersenyum datar. Seperti biasa, dia sudah bisa menduga siapa yang mengirim pesan. Akan tetapi, mau apa dia? Mau menegur Christian agar kembali fokus pada rapat? Yang benar saja. Ia menatap layar ponsel lagi, kali ini lebih lama. Rapat penting bisa dijeda sesaat, bukan? Wajahnya kini tampak begitu sumringah, seakan sedang menantikan sesuatu yang pasti akan datang. ‘Liora … jangan terlalu lama menggantungkan perasaanku seperti ini. Aku akan pastikan kamu mengucapkan kata itu, kata ya …, menerima permintaanku untuk kite menjadi lebih dari sekadar bos dan anak buah! *** Sementara itu, di apartemen kumuhnya, Liora menyandarkan tubuh di sofa tua berdebu yang beberapa sisinya sudah sobek. Makanan mewah tampak terlalu berharga untuk disantap. Ia menghela napas panjang, masih menatap pesan Christian di kertas kecil itu. “Aku benar-benar tidak mengerti kenapa kamu memilih aku, kenapa kamu bisa suka padaku? Dan aku benar-benar tidak mengerti kenapa hatiku justru mulai berdesir menginginkan semua ini?” bisiknya lirih. “Salahkah kalau aku ingin menjadi wanita beruntung yang bisa merasakan dekap hangat seorang Christian Xu?” Ia menutup mata, mencoba menenangkan dirinya. Hanya saja, bayangan Christian, dengan segala ketampanan, kehebatan sosok CEO, keharuman tubuh gagah, kesungguhan dan tatapan tegasnya, semua itu … terus menghantui pikirannya. Dan hari itu, meski belum ada kata “ya”, langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar sepertinya sudah dimulai. *** Malam sekitar pukul 6 PM setelah ia baru saja selesai mandi dan mengoleskan salep anti nyeri di kaki, sebuah pesan masuk, terlihat di layar ponsel. Christian CEO [Tiga puluh menit lagi aku jemput. Kita makan malam berdua. Aku ingin mengajakmu ke The Fulton. Tidak ada kata tidak. Just be ready.] Mata Liora melebar. Jantungnya berdegup kencang. The Fulton? Ia tahu restoran itu. Restoran tepi laut yang mewah, sering disebut dalam berita gaya hidup. Apa benar ia akan dibawa ke sana? Liora segera berdiri, berjalan dan membuka lemari. Tangan mencari gaun apa yang pantas ia pakai malam ini. Akan tetapi, wajahnya yang di awal sumringah kini sedikit murung. Seluruh gaun-gaun itu terlihat lusuh baginya. Tidak ada yang pantas untuk dipakai makan malam bersama seorang CEO dengan nama besar seperti Christian Xu. Namun, tatapan akhirnya berhenti pada satu gaun sederhana. Gaun kuning lembut bermotif bunga kecil, potongannya sederhana, lengan tiga perempat, dan sepanjang lutut. Ia mengelurkan dari lemari, kemudian menatap cermin, ragu. "Apa ini terlalu sederhana? Terlalu … desa?" bisiknya. Sudahlah, waktu terus berjalan. Dengan tangan gugup, ia akhirnya memutuskan memakai itu saja. Gaun langsung ia kenakan. Rambutnya dibiarkan terurai, hanya sedikit disisir agar rapi. Ia menambahkan bedak, pemerah pipi, dan lipstik tipis, tak lebih dari itu. *** Tak sampai setengah jam kemudian, deru mesin mobil mewah terdengar di depan lobi. Sudah dari lima menit lalu Liora menunggu. Ia segera keluar dari dalam apartemen menyambut bosnya. Christian menatap … terkesima. Senyuman muncul di bibir. “Aku baru tahu ternyata warna kuning bisa seindah ini, akan menjadi warna favoritku.” “Oh, pasti karena kamu yang mengenakannya. Semua warna yang kamu pakai akan menjadi warna favoritku.” Baru datang sudah merayu. Hebat memang Tuan Muda Xu ini. Menurun dari siapa tidak tahu. Ayahnya padahal mantan agen CIA yang begitu setia hanya pada satu wanita. Liora menunduk, menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Pipinya merona. “Jangan menggoda begitu. Aku tidak secantik yang kamu katakan.” Christian tertawa lirih. “Aku tidak menggoda. Aku hanya jujur.” Mereka pun berangkat. Jalanan malam New York penuh cahaya lampu kota. Liora duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah Christian yang mengemudi tenang. Sesekali mereka mengobrol santai. Sesekali pula Christian menggombal, dan sesekali pula mereka saling tatap dengan sorot sendu. Sesampainya di The Fulton, suasana langsung membuat Liora tertegun. Restoran itu berada di pinggir laut, dengan pemandangan Brooklyn Bridge yang berkilau diterangi lampu malam. Angin laut bertiup lembut, menebarkan aroma segar yang berpadu dengan wangi masakan seafood dari dapur restoran. Christian menggandeng jemari Liora, berjalan ke meja yang sudah ia pesan di dekat tepi. Di mana sang wanita diam saja ketika digandeng. Tuan Xu bahkan menarikkan kursi untuknya. Such a gentleman. “Terima kasih,” ucap Liora lirih, masih terus berdebar dengan sikap manis bosnya. Mereka duduk berhadapan dan Christian semakin menikmati pemandangan yang ada di depannya. Paras cantik dengan ekspresi malu-malu. “Biar kutebak, kamu mau aku yang memilihkan makanan dan minuman lagi?” godanya, mengingatkan pada makan malam pertama mereka di hotel sekitar satu atau dua bulan lalu. Tawa kecil meluncur dari bibir merah muda mengkilat. Liora mengangguk. “Iya, saya tidak tahu mana yang enak. Tuan … eh, Chris, kamu pilihkan saja.” Makan malam berlangsung tenang. Mereka menyantap hidangan sambil berbincang ringan. Tentang pekerjaan, tentang makanan, tentang hal-hal kecil yang biasanya tak pernah Liora sangka bisa ia bicarakan dengan seorang CEO sekelas Christian. Hingga akhirnya setelah piring berisi hidangan penutup diincipi, dan sebelum mereka pulang, lelaki itu mengajaknya berjalan sebentar ke tepi laut, tepat di depan restoran. Ombak pelan memukul dermaga. Lampu kota berkilau, seakan menciptakan panggung khusus untuk mereka berdua. Christian berhenti, menatap wanita cantik yang berdiri di sisinya. Gerai rambut hitam resepsionis itu terkena angin, beberapa helai terbang ke udara dan membuatnya semakin terlihat segar. Tangan berusaha menahan diri untuk tidak langsung memeluk. Bibir berusaha untuk tidak langsung mencium. “Liora,” ucapnya perlahan. “Aku tahu kamu takut padaku. Aku bisa merasakannya setiap kali kamu menunduk, setiap kali kamu menghindar.” Liora menelan udara di mulut, napas tertahan sejenak sebelum menjawab terbata. “Aku … aku hanya tidak terbiasa. Dunia kita berbeda, bak langit dan bumi.” “Lalu, orang-orang mengatakan hal-hal luar biasa tentangmu . Aku takut … aku hanya akan tersakiti.” “Hal luar biasa apa? Bahwa pacarku banyak?” kekeh CEO itu menghela lirih. Tidak bisa dipungkiri memang reputasinya seperti itu. Liora menggeleng, “Justru itu masalahnya. Tidak ada kekasih. Hanya … entah, hanya bersenang-senang? Tapi, itu gosip dan aku tidak mau menghakimi siapa-siapa. Maaf, kalau ada kata-kataku yang salah,” engahnya, kembali menunduk. Christian menarik napas panjang, menoleh ke arah lautan sebelum kembali menatap wanita yang membuatnya tergila-gila. Matanya memandang serius. Dengan suara tenang, ia menjawab, “Ya, aku tahu semua gosip itu. Aku tahu aku punya reputasi yang buruk soal wanita. Dan … yah, aku tidak akan menyangkal. Tapi ada satu hal yang mungkin belum kamu tahu .…” Ia berhenti sebentar, mendekatkan tubuhnya, membuat mereka saling berhadapan dalam jarak yang sangat pendek sehingga Liora bisa merasakan kehangatan napasnya. “Kamu takut, aku pun takut. Apa kamu tahu ketakutan terbesarku saat ini?” Wajah Liora mendongak, “Apa ketakutanmu saat ini?” Suara berat mendayu terdengar sungguh syahdu. “Aku sungguh takut kehilangan kamu, di saat aku belum pernah memilikimu.” Kata-kata itu menghantam Liora seperti ombak di laut lepas yang menghantam karang. Ia terdiam, asa bergetar hebat. “Kenapa … kenapa aku?” tanyanya lirih, hampir tak terdengar. “Banyak wanita di luar sana yang lebih pantas bersamamu, Chris.” Jawaban sang pria adalah, “Justru pertanyaannya adalah, kenapa tidak kamu? Justru akan menjadi aneh kalau aku tidak jatuh cinta pada wanita secantik, selembut, dan sebaik kamu.” “Dari semua wanita yang aku temui, hanya kamu yang membuatku mengejar. Sungguh, aku tidak pernah mengejar wanita sampai seperti ini.” Hening. Angin laut seakan menjadi musik pengiring bagi satu hati yang berharap, dan satu hati yang terus gamang. Liora menunduk, jari-jari menggenggam gaunnya erat. Ia bisa merasakan benteng di hatinya mulai runtuh sedikit demi sedikit. Kata-kata Christian menembus logika, menghantam sisi rapuh yang selama ini ia sembunyikan. ‘Apa yang harus kulakukan? Menerima? Atau terus melawan perasaan yang semakin sulit kutolak?’ engahnya di dalam batin yang kacau. Christian menunduk sedikit, membiarkan wajahnya sejajar dengan wajah Liora. Kemudian, terdengar suara bisikannya. “Aku tidak akan memaksa.” “Tapi aku ingin kamu tahu … jika kamu memberiku satu kesempatan saja, aku janji tidak akan menyia-nyiakannya.” Liora menutup mata sejenak. Hatinya berperang. Antara takut tersakiti dan juga rasa nyaman yang perlahan pria itu tawarkan. Saat ia membuka mata lagi, pandangannya tepat menatap ke mata Christian yang sedang menunggu penuh kesabaran. Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, Liora mulai berpikir .… ‘Mungkin aku harus membiarkan diriku hanyut dalam tatapnya, dalam dekapannya, bahkan dalam … buaian mesranya?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN