Ch.07 Jangan Nodai Saya

1752 Kata
Ucapan Christian masuk ke gendang telinga Liora seperti badai membawa air laut menghantam karang di pesisir. Kencang memporak-porandakan pertahanan yang sejak pertama sudah dia bangun sejal di halte. “T-Tuan …,” lirihnya dengan suara yang mulai retak dengan hati berantakan. “Sa-saya … ja-jangan, please?” Kening sang CEO mengernyit hingga kedua alisnya bertemu di tengah. “Apanya yang jangan?” Liora menggeleng dan akhirnya air mata mulai menuruni pipi. Bisiknya terdengar memikirkan sekaligus mengejutkan. “Jangan nodai saya, Tuan ….” Kali ini giliran Christian yang bagai disambar petir. Giliran dia yang bertanya dengan terbata. “A-apa?” Liora hanya menunduk dan menggeleng. Ia remas pakaian kerjanya di bagian d**a. Menggenggamnya erat seolah takut pria itu mendadak merobek pakaiannya. Butir bening terus menderai di pipi mulus berkulit putih. Dia tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi karena tahu kalau sang pria pasti tahu apa maksudnya. Christian menatap Liora yang duduk di ujung ranjang lebarnya. Mata bundar yang tadinya indah ditatap kini basah, bahkan bahunya tersengal. Ucapannya yang baru saja meluncur, tentang ingin membuat malam menjadi indah dan tidak terlupakan, justru membuat tangisan Liora pecah. “Apa maksudmu menangis begitu?” suara Christian pelan, tetapi terengah. Dia benar-benar bingung sendiri. Liora menutupi wajah dengan kedua tangan, lalu semakin. “Tuan … saya mohon … jangan apa-apakan saya, jangan memaksa dan menyakiti saya. Tolong jangan … saya bukan wanita seperti itu.” Christian terdiam sejenak, alisnya semakin berkerut. “Kamu kira aku akan menyakiti dan memaksamu?” tanyanya, setengah tak percaya. “Kamu ini kenapa!” Liora terengah, kemudian mengangguk dan terus tersedu. “Saya takut … semua orang bilang Tuan selalu … kata mereka Tuan suka menghabiskan satu malam dengan banyak wanita.” “Tapi, saya … saya datang ke kota hanya untuk bekerja, bukan untuk dijadikan … saya tidak mau dijadikan pemuas.” Telapak tangan Christian mengusap wajahnya yang pias. “The hell?” engahnya tak percaya dengan apa yang terjadi. Air mata Liora jatuh semakin deras karena melihat wajah bosnya seperti marah. Ia semakin ketakutan. “Tolong pulangkan saja saya ke apartemen.” “Saya tidak bisa, saya tidak kuat kalau begini. Saya hanya ingin bekerja, membayar hutang biaya kuliah.” Ia memandang CEO-nya dengan sorot memelas. “Saya sungguh tidak ingin kehilangan harga diri di atas ranjang ini.” Christian membeku, hatinya tersentak. Belum pernah sekali pun dalam hidupnya ada wanita di ranjang yang justru menangis dan memohon seperti itu. Biasanya mereka tersenyum, tertawa, bahkan menggoda. Liora … wanita itu berbeda. Belum pernah ada wanita yang mengatakan hilang harga diri kalau dia tiduri. Apa-apaan ini? “Astaga … kamu benar-benar … aku tidak percaya ini!” gumam Christian, jengah pada dirinya sendiri. Liora mengangkat wajah perlahan, matanya merah dan basah. “Saya mohon, Tuan. Jangan marah, jangan sakiti saya. Please, saya hanya gadis desa, saya tidak terbiasa dengan dunia Anda.” Christian menyerah. Birahi yang tadinya sudah mulai naik ke ubun-ubun kini turun secepat rollercoaster terjun bebas. Matanya yang tadi menatap buas sekarang justru menatap iba sekaligus bersalah. “Berhentilah menangis. Aku tidak ingin berbuat apa-apa kepadamu. Aku hanya bercanda,” desisnya tersenyum serba salah. Liora mengusap air mata, lalu bertanya terbata, “Tu-Tuan hanya bercanda?” “Hmm,” angguk Christian saking menyerahnya sampai tidak bisa berkata lebih. Dada wanita itu kembang kempis. “Bercanda Tuan tidak lucu. Saya sungguh ketakutan.” “Hmm,” sahut playboy kelas internasional itu sambil mengembus kesal. Seorang pemain sejati sepertinya justru terjebak dalam tangis seorang gadis yang takut kehilangan harga diri karena ditiduri bosnya sendiri. Tidak tega melihat Liora sesenggukan sampai napas tersengal seperti orang tenggelam, ia kemudian berdiri dan mengambilkan satu botol air mineral yang ada di dalam lemari pendingin. Setelah membuka tutupnya, ia serahkan botol tersebut padas sang resepsionis. “Minumlah dulu. Kamu seperti orang ketakutan setengah mati, seperti akan naik ke tiang gantungan saja.” Dengan ragu, Liora menerima botol mineral itu, tetapi tangannya masih bergetar hebat. Ia meneguk beberapa kali, kemudian bertanya lirih, “Kenapa … kenapa Tuan membawa saya ke kamar tidur? Apakah semua resepsionis baru diperlakukan begini?” “Bernice dan Minerva tidak pernah berkata apa pun pada saya kalau resepsionis baru harus berbuat begini.” Christian tertawa kecil, mendengkus singkat, lalu menatap lelah. “Jangan bodoh. Aku tidak pernah melakukan ini dengan karyawan siapa pun. Aku hanya tertarik … pada kamu.” Liora menelan ludah, wajahnya pucat. “Tertarik bagaimana kepada saya? Mohon maaf, tapi saya tidak bisa menjadi wanita simpanan. Saya tidak bisa menjual diri, Tuan.” “Saya mohon jangan pecat saya, tapi juga jangan jadikan saya pemuas ranjang Tuan. Bolehkah jika saya meminta hal itu?” isaknya menggenggam botol air mineral lebih kencang untuk menahan debaran sesak dalam d**a. Christian mengusap wajahnya dengan kasar, cukup frustrasi. “Kamu salah paham. Aku tidak pernah membeli wanita. Mereka yang datang kepadaku, bukan aku yang memaksa.” Lalu, ia terdiam lama, menatap tubuh mungil itu yang tampak lusuh dan lesu di atas ranjangnya. Hati digelayuti perasaan aneh, antara marah, kecewa, tetapi juga tersentuh. “Liora,” suara CEO itu terdengar pelan, lebih lembut daripada sebelumnya. “Aku tidak akan menyakitimu. Kamu boleh percaya atau tidak, tapi aku tidak pernah memaksa wanita untuk tidur denganku.” “Aku kira kamu hanya berlagak polos di depanku. Sekarang, aku percaya kamu sungguh polos dan tidak ingin berbuat ini. Sudah, jangan menangis. Aku tidak tega melihatmu menangis.” Resepsionis-nya mengangguk. “Maafkan saya, Tuan. Jika ada cara lain untuk saya membayar hutang nyawa, pasti akan saya lakukan.” “Tuan sungguh tidak marah pada saya? Tuan tidak akan memecat saya?” Tuan Muda Xu menggeleng. “Aku tidak akan memecatmu, selama kamu tidak mengatakan ini pada siapa pun. Bisa menjaga rahasia, ‘kan?” Liora mengangguk. Ia tersenyum kecil, memperlihatkan sebuah kelegaan. Meski kemudian senyum itu kembali pupus dan berganti kewaspadaan karena sepertinya dia belum percaya sepenuhnya pada bos mata keranjang. Christian menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis, pahit. “Aku sangat tertarik padamu karena kamu cantik. Tapi, aku sudah berbuat bodoh karena aku mengira kamu sama seperti wanita yang lain. Ternyata, aku salah besar.” Liora menatap tertegun, jantungnya berdetak kencang. “Jadi … Tuan tidak akan menyentuh saya malam ini?” Christian menggeleng perlahan. “Tidak. Aku janji. Kamu terlalu berharga untuk itu. Dan aku tidak ingin dikenal sebagai pria yang merusak gadis polos dengan cara kotor.” Mata Liora melebar, wajahnya sedikit lega meski masih dipenuhi ketakutan. “Terima kasih, Tuan … saya … pokoknya, terima kasih karena sudah mengerti dan tidak memecat saya.” Christian menatapnya dalam, lalu berdiri. “Kamu boleh tidur di ranjang ini. Aku akan tidur di kamar lain.” Liora tercekat, tidak menyangka. “Tapi, ini kamar tidur Tuan. Biar saya saja yang tidur di kamar lain.” “Jangan cerewet. Aku bilang tidur saja di sini, tidak apa. Aku juga ada pekerjaan yang harus kulakukan. Biar aku tidur di ruang kerjaku saja. Di sana ada bed sofa.” Air mata Liora jatuh lagi, tetapi kali ini bukan hanya karena takut, ada sedikit rasa lega. “Saya … tidak tahu harus berkata apa. Terima kasih, Tuan.” Christian berdiri, kemudian tersenyum. “Aku mau kamu tahu satu hal.” “Apa itu?” “Rasa tertarikku padamu semakin besar.” Ish! Sekarang Liora kembali berdebar. Wajahnya memerah dalam ketegangan. Ia lalu menunduk dan berucap lirih, “Kenapa Tuan bisa tertarik kepada saya? Tidakkah Tuan tahu kalau saya hanya wanita desa? Saya bukan orang kota.” “Lalu, kenapa? Kamu sangat cantik dan aku senang sekali memandangi wajahmu,” jawab Tuan Muda Xu. “Aku bersalah sudah membuatmu takut dan menangis, maafkan aku.” Resepsionis yang memang sangat cantik itu mendongak, “Tuan meminta maaf pada saya?” “Ya, kenapa? Apa salah aku meminta maaf?” senyum Christian dengan wajah angkuh yang kian tampan. Liora menggeleng, “Tentu tidak. Saya juga minta maaf sudah mengecewakan Tuan.” “Bisa kita memulai dari awal?” pinta Christian. “Kalau setelah ini aku mengajakmu kencan secara normal, apa kamu bersedia?” Kerongkongan kembali tercekat dan udara sulit lolos dari sana, begitu pula kata-kata. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bukannya dia tidak tertarik, tetapi pria di hadapannya ini sungguh menghanyutkan sekaligus juga mengkhawatirkan. Bagaimana kalau dia hanyut hingga memasuki arus deras, kemudian terpelanting dari ujung air terjun dan remuk di antara bebatuan di dasar sungai? “Kencan yang bagaimana?” engahnya dengan kebingungan masih melanda batin. “Makan malam, menonton bioskop, apa saja yang biasa dilakukan orang saat berkencan,” jawab Christian. Kemudian, ia menegaskan sesuatu. “Aku suka kamu, aku ingin lebih dekat denganmu. Dan aku berjanji tidak akan memaksamu naik ke atas ranjang.” Mata tajamnya menatap terlalu dalam hingga Liora merasa batinnya sedang ditelanjangi. Lalu, suara berat mendayu terdengar, “Beri aku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta padaku.” “Kamu tidak perlu jatuh cinta padaku detik ini. Toh, aku punya waktu seumur hidup untuk membuatmu jatuh cinta padaku.” Kata-katanya bak pujangga yang mahir. Mengalir begitu saja tanpa halangan. Setelah menguasai engah yang menerjang, Liora bertanya, “Kenapa harus saya? Kenapa Tuan tidak jatuh cinta pada wanita lain?” “Karena kamu berbeda. Karena kamu tulus, aku merasakan hatimu adalah hati yang baik, lemah lembut. Dan karena … percayalah, wajahmu membuatku tergila-gila.” Jawaban yang begitu meyakinkan dari Christian. Mereka terdiam, saling tatap. Pada detik itu, desir aliran darah Liora mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Memang sesulit itu untuk tidak jatuh cinta pada pria satu ini. Namun, ia menunduk, tidak mau memutuskan apa pun dalam waktu secepat ini, terutama di kala hati masih dikuasai emosi. Setelahnya, baru wajah didongakkan dan berkata, “Bolehkah saya diberi waktu untuk berpikir apakah saya mau berkencan dengan Tuan atau tidak?” Christian tertawa resah. Ia belum pernah merasakan resah seperti ini, resah ditolak. Otak berpikir cepat, lalu menjawab, “Kamu tahu? Biasanya jika orang menuntut orang lain dengan surat somasi, mereka memberi waktu 3x24 jam untuk yang dituntut berbuat sesuatu sesuai permintaan mereka.” “Aku memberimu waktu 3x24 jam untuk membuat keputusan apakah bersedia kencan atau tidak denganku. Setuju?” Liora menggigit bibirnya. Hanya ada tiga hari untuk memikirkan apa dia bersedia kencan dengan pria yang begitu diinginkan wanita Kota New York. Lalu, entah apa yang mendorong di dalam hati, tetapi kemudian ia mengangguk. “Baiklah ….” Romantisme apa yang kemudian dilakukan Christian selama 3x24 jam itu hingga pada akhirnya Liora bisa naik ke atas ranjang dan … hamil? Dan untuk pertama kalinya, Christian Xu merasa bingung. Apakah ia sedang kalah, atau justru baru saja menemukan permainan paling berbahaya dalam hidupnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN