Hello, Cinta 9

2384 Kata
"Stttttt ...." Atha tetap fokus pada penjelasan di depan. Dia mengabaikan orang yang ada di sampingnya, yang sedari tadi terus-terusan mengajaknya berbicara. "Non, liat sini dong." Boleh tidak dia meminta bertukar dengan Cassandra tempat duduknya? Dia merasa kesal, tidak ada satupun pembahasan meeting mampir ke otaknya. Jika nanti Kemal meminta bahan untuk kelanjutan kerja mereka bagaimana? Atha juga tidak tau jika dia akan meeting dengan pria menyebalkan ini. Ismail Abimana Kavindra. Pria yang tadi pagi baru pulang dari rumahnya dan sekarang dia sudah nangkring di perusahan Pak Sean. Atha menghela napas, tangannya sangat gatal ingin meraup bibir Mail, cerewet dan mesumnya memang sudah tidak bisa di hilangkan. Kekesalannya tadi pagi pun masih membekas di hatinya. Mail yang kesal karena tidak di tanggapi langsung mencium pipi Atha dengan gemas. Semua yang ada di dalam rapat langsung hening melihat kelakuan rekan bisnisnya. Atha menganga tidak percaya, matanya mengedip beberapa kali. Jika dia mengamuk di sini sama saja SP tiga siap di layangkan padanya. "Kita istirahat 15 menit." Sean berkata sambil menggelengkan kepala. Sean harus memberikan kabar ini pada sahabatnya jika Putranya yang petakilan itu menganggu karyawan di acara meeting penting. Sean tahu jika selama ini Mail, putra dari Bryan Kavindra itu tidak pernah serius untuk terjun kedalam dunia bisnis milik Ayahnya. Hidupnya cuman menghilang membuat keluarganya khawatir. Sean sering mendapat keluhan dari Bryan jika dia sudah menyerah untuk membuat putranya bisa diam dirumah atau setidaknya menikah. Sean melihat jika Mail memang bukan tipe Pria yang bisa diam. Terlalu aktif hingga membuat semua orang kesal melihatnya. Atha yang mendengar itu bernapas lega. Dia langsung melayangkan cubitan maut pada lengan milik Mail. Mail yang mendapat serangan cubitan milik Atha untuk ketiga kalinya langsung menjerit tertahan. "Sakit, sayang." "Lebih sakit gua di banding lo, Setan." Mulai mulut kurang ajar Atha kembali terdengar. Beberapa rekan kerja mereka sudah pergi untuk beristirahat hanya tinggal dia, Mail dan Sean. Mail berdecak, "Ck! Cuman cium pipi aja, belum gua coblos masa sakit sih." Atha meraih pundak Mail lalu mengapit kepala itu di ketiaknya, tangannya dengan kesal menjitak kepala itu. "Gua sebel sama lo. Lo tahu kondisi dong, kalau karyawan yang lain tahu gua bisa di bantai." Tapi bukannya merasa kesakitan Mail malah tertawa. Tangannya melingkar di pinggang ramping Atha, memeluknya dengan erat. "Nggak apa-apa biar mereka tahu kalau lo pawang move on nya gua." "Sejak kapan gua jadi pawang Move On lo?" "Sejak ... mungkin kecupan saat kita di hotel." Mata Atha membulat. Dia menarik telinga Mail. Biarkan saja dia berlaku kasar di banding pria ini sudah melecehkannya. "Yah, karena lo yang nyuri ciuman gua, sialan. Gua pernah ngomong kalau kita ketemu lagi, gua nggak akan segan-segan potong lo o***g sampai habis." "Aduh ... sadis banget sih, Non. Ini gimana nasibnya sama masa depan kita, masa nanti nggak ada Mail Junior atau Atha junior sih? Gimana nasib keturunan kita." Gunung mana gunung? Rasanya Atha ingin membuang pria ini kedalam lahar panas, stres dia lama-lama menanggapinya. Sean yang melihat interaksi pasangan itu tersenyum. Dulu dia pun pernah merasakan hal seperti itu, bahkan masa mudanya benar-benar bahagia. Sean pikir mungkin dia dan mendiang istrinya akan sampai hidup bersama, mendapatkan cucu dan cicit, namun ternyata Tuhan lebih dulu mengambilnya sekaligus, dia harus berbesar hati mengikhlaskan hilangnya putri semata wayang peninggalan istrinya. Sean benar-benar terpukul tapi dia bingung harus melakukan apa lagi mengingat memang tidak ada lagi yang harus dia lakukan. "Mail Om rasa sebentar lagi kamu bakal nyebar undangan?" Atha dan Mail sama-sama mengangkat kepalanya. Tubuh Atha sampai menegang, dia kira di ruangan meeting cuman ada mereka berdua, mengingat yang lain sudah keluar. Namun ternyata ada satu sosok orang yang bahkan beliau adalah pemilik perusahaan dia bekerja. Mail cengengesan lalu mencium dagu Atha dengan seenaknya. "Doain aja deh Om semoga aja kesampaian." "Aamiin. Om pikir kamu mau nikah sama pilihan orang tua kamu." "Nggak ada yah Om enak aja. Cewek di luaran sana masih banyak kok yang mau, kaya nggak laku aja harus di jodoh-jodohin." "Terus masalah pertunangan kamu gimana?" "Nggak tahu. Aku kabur masalahnya dari rumah Om hehe." "Kamu tuh yah dari dulu sampe sekarang nggak berubah. Kamu tiba-tiba menghilang bikin semua keluarga khawatir tapi pulang ke rumah cengengesan. Om juga bingung sama sifat kamu ini." "Ya mau gimana Om, Mama sama Papa kadang suka seenaknya. Aku juga udah gede, bisa lah memilih mana yang baik buruknya buat pasangan hidup. Bener nggak?" ujar Mail menatap Atha yang langsung mencium cepat bibir mungil wanita itu untuk ketiga kalinya. Sedangkan Atha hanya terdiam tidak mengerti. Sepertinya Mail memang sudah tidak memiliki urat malu, melihatnya yang sudah ketiga kalinya mencium dia yang bukan siapa-siapa. Atha benar-benar malu saat telinganya mendengar tawa dari atasannya. Dia ingin menenggelamkan diri di dasar sumur sekarang juga atau jika bisa menghilang dari hadapan Sean dan Mail. Atha mendorong Mail dengan kuat, lalu bangkit berdiri. "Kalau begitu saya permisi keluar, Pak Sean." Atha butuh kamar mandi sekarang juga. Dengan langkah kaki yang berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan meeting. Sean hanya tersenyum kecil melihatnya. Yang perempuan dia galak, namun dari sifat dia memiliki kedewasaan. Yang pria petakilan nya sudah terlihat jelas, terlihat juga jika dia kekanak-kanakan. Sean tahu siapa wanita yang menjadi target anak sahabatnya. Wanita yang berada di atap bersama dengannya beberapa Minggu lalu. Sean melihat ada sosok mendiang istrinya di dalam diri wanita itu, bahkan jika di lihat dari samping semuanya hampir sama membuat dia sering berfikir apakah Wanita itu adalah anaknya? Tapi ini sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak melihatnya, mungkinkah anaknya masih hidup? Namun Sean sudah berpasrah pada yang mahakuasa apapun yang terjadi padanya dia akan menerimanya. Namun sebelum menutup mata dia hanya ingin bertemu sekali saja dengan anaknya. "Ya udah Om, aku mau nyusul pacarku dulu hehe." Sean mengangguk. Tanpa berfikir dua kali Mail langsung pergi meninggalkan ruang meeting itu. Sampai di luar Mail melirik kesemua tempat, dia yakin Atha sedang melarikan diri darinya. Tapi biasanya jika wanita kalau membutuhkan sesuatu pasti yang di cari kalau tidak salah toilet. Mail melangkah ke arah kanan dimana adanya toilet wanita, dia berdiri di depan pintu. Jika Mail masuk kedalam dan di dalamnya ada wanita lain itu tidak baik baginya. Lalu jika Mail tidak masuk, bagaimana bisa menemukan Atha? Akhirnya dengan pergulatan batin dan pikiran dia tanpa mengetuk langsung masuk kedalam, siap-siap saja ada wanita yang menjerit karena ulahnya. Namun saat masuk dia berteriak kegirangan di dalam hatinya, saat di depan wastafel ada sosok wanita mungil yang sedang menggerutu. Mail dengan pelan menutup pintu, setelahnya berjalan dengan pelan lalu menyambar tubuh itu untuk di peluknya. Atha yang sedang menggerutu tersentak saat tubuhnya di lingkupi oleh sepasang tangan kekar. Dia menatap ke arah pantulan di cermin. "MAILLLL?! APA YANG LO LAKUIN b******k?" Atha memberontak namun tenaga nya tidak cukup kuat untuk melepaskan pelukan Mail. "Nyari elo lah." Mail menumpukkan dagunya di atas kepala Atha. Tubuh Atha yang mungil tenggelam di pelukannya. Jika di lihat dari belakang pria ini mungkin tidak ada yang menyangka, jika dia sedang memeluk seorang wanita. "Mail, tolong lo jangan kaya gini. Sumpah gua merinding, gua tuh kaya lagi di kejar sama Psikopat." "Hahaha ... iya lo benar. Kalau sekarang lo lagi berurusan sama Psikopat." ujar Mail yang membuat Atha memutar bola matanya. "Mau lo apa sih? Masalah Dinner yang gagal, gua bakal tentuin dimana tepatnya dan gua janji bakal nyari yang bener-bener buat Dinner." "Sayangnya gua udah nggak tertarik sama Dinner itu. Gua tertarik jadiin Lo milik gua." Atha menghela napas. Dia mual melihat perlakuan Mail yang so romantis menurutnya. Atha yakin jika Mail hanya bermain-main dengannya, tidak mungkin pria sempurna seperti dia menginginkannya, benarkan? "Nggak usah gombal Lo, nggak akan mempan sama gua." Atha melepaskan melepaskan tangan Mail yang melingkar di perutnya. Mail membalik tubuh Atha paksa membuat wanita itu menjerit saat tubuhnya melayang untuk di dudukkan di wastafel. "t***l! Kalau gua jantungan gimana bego?" Atha memukul kepala Mail kesal. Mail terkekeh. Dia melingkarkan tangannya di perut Atha lalu mendongak. Atha bergerak gelisah, dia takut jika ada yang memergoki mereka. Bagaimana jika karyawan lain mengatakan mereka sedang berbuat m***m di kamar mandi? Lalu mereka mengadu pada Pak Sean? Mata Atha berkeliaran ke sana kemari membuat Mail menghembuskan napas. "Non lihat gua?!" Tapi Atha tetap tidak mau melihat. "Atha cuman sebentar." Akhirnya karena tidak mau makin panjang dan menit terus berlalu dia menatap mata hitam milik Mail. "Gua serius Tha. Gua nggak becanda! Kemarin waktu gua ngomong buat tanding sama temen lo itu nggak bohong. Gua tahu alasan gua untuk Move On tapi Lo harus tahu kalau saat pertama kita ketemu, gua udah ngerasa suka. Salah kalau gua suka sama Lo waktu pandangan pertama? Mau yah jadi pacar gua?" Atha melihat kesungguhan dimata itu. Namun entah kenapa dia merasa jantungnya berdebar dengan kuat. Dia ingin memalingkan wajahnya namun tangan Mail dengan cekatan memegang pipinya. "Plisss ... gua janji. Gua bakal bikin lo bahagia semampu gua. Mungkin kedepannya kita nggak tahu gimana tapi gua harap di dalam hubungan ini ada cinta, kejujuran dan kepercayaan. Gua berharap Lo pelabuhan terakhir hidup gua." Atha tidak munafik jika dia pun ingin yang terakhir, tapi apakah mereka bisa berjalan dengan beriringan, mengingat mereka dari kalangan yang berbeda? Atha takut jika orang tua Mail tidak setuju padanya saat mereka tahu dia hanya anak panti asuhan. Lalu dia masih ingat saat Mail b******u dengan wanita yang jika di bandingkan dengannya tidak ada apa-apanya. Masih banyak keraguan di dalam hatinya dan memang dari kemarin mereka bersama Atha merasakan nyaman seperti dulu dia dengan Adit. Mail menatap mata milik Atha yang berwarna hitam sepertinya. Dia melihat banyak keraguan dari bola mata itu, mungkin Atha masih ragu karena mereka baru satu hari bersama tapi dia sudah meminta jadi kekasihnya. Namun memang Mail tidak bisa begitu saja memendam perasaannya, mengingat juga ada satu orang yang menyukai Atha. Mail melihat bibir wanita itu yang sudah terbuka namun kembali tertutup. Entah dorongan setan, iblis, jin atau semacamnya Mail menarik tekuk Atha lalu mendaratkan bibirnya di atas bibir wanita itu. Mata mereka berpandangan, tidak ada yang bergerak hingga akhirnya Mail yang bergerak terlebih dulu. Mata mereka terus bertatapan sampai akhirnya Atha pun membalas pangutan itu saat melihat tatapan tulus yang Mail berikan. Hanya satu hari kita bisa mengenal cinta. Hanya satu hari kita pun bisa merasakan debaran itu. Hanya satu hari kita merasakan bahagia. Mungkin 1 detik pun kita bisa jatuh hati. Takdir tidak ada yang tahu bagaimana jalannya, kita sebagai umat manusia hanya bisa menjalaninya. Jika memang kita bisa memilih takdir bolehkan kita merubah sesuatu yang sudah terjadi milik kita? Sejauh apapun kita berpisah, sedekat itulah Tuhan mempermudah jalannya dengan cara apapun. ??? Seusai meeting Atha langsung kabur keluar kantor. Bahkan dia meminta ijin pada Kemal untuk pulang lebih awal. Hal pertama yang dia lakukan jika sampai rumah yaitu merenungi apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Atha merasa tidak punya muka lagi di depan Mail, dia ingin mengutuk dirinya sendiri, kenapa bisa terhanyut dalam ciuman itu? w************n! Atha memejamkan mata, tubuhnya di gulung oleh selimut, bahkan baju kantornya pun belum dia ganti. Oh may cinta! rasanya dia ingin terjun saja sekarang juga, kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Dan kenapa harus dia yang mengalami hal semacam ini. Kesannya dia seperti remaja yang sedang jatuh cinta untuk kedua kalinya. Atha berguling kesana kemari sampai dia tidak menyadari jika tubuhnya sudah di pinggir hingga akhirnya. Brukk! "Aaaahhhhhh." Atha membuka selimutnya. Dia mengusap kepalanya yang terbentur kaki meja nakas. "Oh may cinta! kenapa lo bisa seceroboh ini." Atha mencoba bangkit dari duduknya namun dia lupa jika tubuhnya terbelit selimut. "+-&__$#!:*" Sumpah serapah bergaung keras di dalam kamar yang penuh dengan wallpaper bunga itu. Adit yang baru masuk kedalam rumah milik Atha tersentak. Dia langsung menyimpan barang belanjaan nya sembarangan arahan. Kakinya melangkah ke arah kamar dimana dulu dia pernah tidur di sana. Adit membuka pintu kamar milik Atha, dia meringis saat melihat tubuh wanita itu terbelit oleh selimut miliknya. Dia melangkah membantu untuk melepaskan selimut itu dari tubuh mungil Atha. "Lo nggak apa-apa, Tha?" Atha menggelengkan kepalanya. Dia memegang keningnya yang pasti memar nantinya. "Lo ngapain coba gulung diri pake selimut, padahal ini masih sore loh. Lo ada masalah?" Adit tahu jika Atha berlaku seperti ini pasti dia sedang dalam hati yang tidak menentu. Atha memandang orang yang ada di depannya namun wajah itu seperti bayangan. "Mail?" Adit mengerutkan keningnya. Mail? Siapa dia?" "Kapan gua ganti nama sih, Tha. Nama gua Adit." Atha mengerjapkan matanya. Atha tersadar, "Adit? Ngapain?" "Ck! gua tadinya mau berkunjung kerumahnya mantan. Tahunya si mantan lagi grasak grusuk di mari." Atha meringis. "Bantuin gua." Dengan hati-hati Adit membantu mengangkat tubuh Atha. "Hati-hati." Atha membuka selimutnya, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kenapa dia tidak bisa mengontrol diri? Kenapa juga dia harus bersikap konyol seperti ini? Dulu saat dia berpacaran dengan Adit saja tidak terhitung berapa kali mereka berciuman tapi hanya dengan Mail dia sudah grasak grusuk tidak tentu seperti ini. Atha mengacak rambutnya lalu berteriak kesal membuat Adit tersentak. Adit tahu jika Atha sedang kesal. Jika Atha memiliki masalah Adit hanya cukup diam lama-lama dia pun akan menceritakan apa yang sedang di alaminya. Atha menghela napas dengan kasar. Dia mencoba merilekskan pikirannya. Semua baik-baik saja Atha itu cuman ucapan dan gerakan jangan baper deh bisik hatinya. "Ya ampun kenapa harus si Mail sih." Adit menatap Atha. Mail lagi, sebenarnya siapa dia? Atha memejamkan matanya. Dia berusaha untuk mengabaikan bayangan beberapa jam yang lalu saat mereka berada di toilet. Dia membuka mata lalu matanya bertemu pandang dengan mata milik Adit. "Adit." Atha kembali terkejut. Kapan Adit datang? "Sejak kapan lo dateng?" "Mungkin sejak Lo teriak-teriak manggil nama Mail." Atha meringis. Dia memukul kepalanya. Padahal tadi dia sempat memanggil Adit tapi karena pikirannya semerawut, dia lupa segalanya. "Btw ada apa, nih?" Atha mencoba mengalihkan perhatian Adit. Adit menatap Atha, dia menimbang-niimbang, apakah jika dia cerita pada mantan kekasihnya ini tidak apa-apa? Ada rasa ragu karena dia sudah memberikan luka hati yang cukup dalam pada wanita ini. "Ada apa? Cerita aja kali. Kita kan udah janji walaupun kita pisah kita harus tetep jadi sahabat." Adit menganggukkan kepalanya. Perasaan dan hatinya masih ada untuk Atha tapi tanggung jawab sebagai seorang pria di utamakan. Adit merasa tertekan dengan semua yang terjadi padanya. Jika saja dulu dia bisa mengontrol, semuanya tidak akan menjadi serumit ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN