Hello, Cinta 10

2622 Kata
Atha menatap kedua pria yang ada di depan nya dengan menghembusan napas kasar. Curhatan Adit berhenti saat gedoran di pintu rumah membuat suasana yang awalnya tenang menjadi gaduh. Atha tidak tahu ada apa lagi Mail datang? Apa Mail tidak tahu jika Atha masih kesal dengan kelakuannya? "Jadi kalian lagi apa?" tanya Mail. "Apapun yang gua lakuin bukan urusan lo." jawab Atha ketus. "Nggak bisa gitu dong. Sekarang gua kan pacar lo." Atha membulatkan matanya. Tangannya terangkat menodongkan pisau yang sedang di genggamannya. "Lo ...." "Sabar sayang. Nggak usah main tusuk-tusukkan pake benda tajam. Nanti juga lo bakal gua tusuk pake benda lunak." "Maksud lo?" "Nggak usah pura-pura lugu." Atha semakin bingung dengan ucapan Mail yang menyebalkan itu. "Oke, terserah lo. Dan yang sekarang gua pertanyakan, buat apa lo dateng ke sini?" "Mau bobo di sini." "APAAA? Mail gua kan udah bilang, di sini bukan Hotel atau penitipan anak hilang!" "Bodo amat. Siapa yang peduli." Dengan santainya Mail bangkit berdiri meninggalkan meja makan. Atha memejamkan matanya untuk menahan emosinya. Bisa saja pisau yang dia pegang melayang pada d**a pria itu atau tidak dia langsung menyerangnya lalu menusuk-nusuk badan Mail dengan sadis. "Dia beneran pacar lo, Tha?" tanya Adit penasaran. "Bukan." "Terus, kenapa dia seenaknya tidur di sini?" "Nggak tahu." Atha mengusap wajahnya. Adit yang melihat kelakuan Atha dan pria baru itu sempat sakit hati melihatnya. Namun dia cepat-cepat menyingkirkan perasaan itu mengingat jika Atha sekarang wanita lajang. Sudah sepantasnya Atha memiliki pendamping hidupnya. Apa yang terjadi pada hubungan mereka tentu saja membuatnya menghela napas. Jika saja dia bisa menahan nafsunya, semuanya akan baik-baik saja dan mungkin sekarang dia masih berbahagia dengan Atha. "Oh iya terus sekarang lo mau gimana, Dit?" Lanjut Atha tidak mempedulikan satu sosok mahkluk astral yang entah bergentayangan dimana. Adit mengerjapkan mata, "Entahlah, Gua pun bingung. Apa gua Tes DNA aja yah setelah anak itu lahir?" "Kenapa lo nggak yakin sih? Itu kan perbuatan lo dulu." Atha ngenes sendiri mengatakannya. Dia masih kesal dengan Adit yang mengkhianati hubungan mereka. Adit meringis melihat sikap senewen Atha, "Gua tidur sama dia itu 1 bulan yang lalu tapi kenapa perut Tita udah sebesar itu yah?" "Mungkin anak kalian kembar kali." "Nggak mungkin. Keluarga gua sama Tita nggak ada yang kembar." "Kalau Tuhan memberikan amanah 2 orang anak di dalam perut Tita, lo bisa apa?" Adit terdiam. Iya juga sih perkataan Atha tapi seminggu yang lalu mereka datang ke rumah sakit namun bayi yang ada di perut Tita hanya satu. "Nggak tahu lah Tha. Gua bingung sama semua ini" "Ya sudah kalau bingung jangan di pikirin. Ribet lo mah." Atha menyuapkan apel ke dalam mulutnya. Perutnya terasa lapar namun dia malas memasak. 1 jam sudah Adit bercerita padanya namun tidak ada solusi sama sekali. Atha pun tidak tahu harus bagaimana, karena dia pun bingung itu masalah rumah tangga orang lain kalau pun ikut campur, lantas apa manfaat untuknya? Ting tong Suara Bel terdengar membuat kening Atha mengerut, siapa yang bertamu di sore hari seperti ini? Ting tong "Buka sana Tha?" Atha menyimpan pisau buahnya dengan kasar. Dia bangkit berdiri dari duduknya, mengeser kursinya dengan kencang membuat Adit menggeleng. Atha berjalan dengan malas ke arah pintu. Di saat harusnya orang istirahat dari rasa lelahnya bekerja ini malah bertamu. Apakah orang itu tidak ada kerjaan? Menganggu saja. Atha membuka pintu, matanya mengerjap saat melihat seorang pria tinggi, tampan dan begitu mempesona ada di depan rumahnya. Siapakah dia? Apakah tetangga baru? Tapi di samping kiri, kanan dan depan tidak ada rumah kosong. "Emm ... cari siapa yah Mas?" "Apakah ini rumah Athena Bunga Anyelir?" "Iya dengan saya sendiri." "Saya mengantarkan barang untuk suami Ibu Ismail Abimana Kavindra." "Mas ini darimana?" "Saya kurir dari Toko baju tempat dimana suami ibu sering berbelanja." Astaga! Atha menutup mulutnya saking terkejut, Jadi pria tampan di depannya ini seorang kurir? Sumpah Atha tidak percaya. Bagaimana bisa .... "Oh lo udah dateng, Drew. Mana pesenan gua?" Mail datang meminta pesanan yang sempat di pesannya beberapa jam yang lalu. "Ini Tuan." "Thanks you. Semua pesenan gua udah masuk semua kan?" "Sudah, Tuan." "Daleman gua jangan lupa?" "Semua nya kumplit, Tuan." "Oke. Nanti tips nya gua transfer yah." "Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi." Pria itu menunduk sebentar sebelum mengundurkan diri dari pandangan Atha dan Mail. "Udah hayu masuk, ngapain diem di pintu?" "Itu ...." "Kenapa?" "Gimana bisa?" "Gimana bisa apa maksudnya?" Atha sungguh masih tidak percaya. Atha kira hanya lelucon semata tapi mendengar ucapan pria itu membuatnya yakin 100% jika memang dia pengantar kurir. Duhh ... sayang sekali, padahal sudah tampan dan terlihat gagah namun pekerjaanya hanya sebagai kurir. Jika menjadi Artis dia sepertinya akan menjadi idola banyak wanita dan mungkin termasuk dirinya. Mail yang melihat keterdiaman Atha berdecak. Pasti wanita ini sedang membayangkan hal-hal yang dia tidak tau. Wajahnya berubah-ubah dari kesal, cemberut lalu tersenyum tidak lupa keningnya pun ikut berkerut. Mail meghembuskan napas, ada berapa juta pria sih di dunia ini? Kenapa bukan dia saja yang paling tampan? Kenapa harus masih banyak pria yang masih lebih tampan dari dirinya? Enyahlah kalian pria tampan! Kalian tidak usah hidup di sekitar Atha karena sekarang dia sedang melakukan genjatan senjata untuk mendapatkan sluruh hidup wanita ini untuknya. Jika memang sudah dia miliki berapa pun pria tampan yang menghampirinya tidak akan peduli karena jika status sudah di sandang semuanya akan mundur teratur. Atha berkacak pinggang. Sepertinya memang sekarang pria tampan kebanyakan berkeliaran di tempat-tempat ramai di banding berkeliaran di kantor. Atha menggelengkan kepala, mungkin saking frustasinya dia tidak bisa berpikir secara jernih. "Awwwww." Atha berteriak saat jidatnya terpentok samping pintu. Mail yang melihat Atha memegang jidatnya langsung mengembungkan pipinya menahan tawa, namun tidak lama tawanya langsung berderai karena dia tidak sanggup melihat Atha yang menendang kayu pintu dengan kencang. "Buahahahaha." Atha yang mendengar suara tawa berdecak, bukannya di bantu atau apa, Mail malah seenaknya tertawa. "Diem!" "Sumpah muka lo hahahaha." "Ishh." Atha mendorong tubuh Mail dari pintu. Dia masuk kedalam dengan menghentak-hentakkan kakinya, tangannya mengusap keningnya yang berdenyut. "Kenapa Tha?" tanya Adit heran saat melihat Atha mengusap keningnya yang terlihat memerah. "Kejedot pintu." "Kenapa nggak hati-hati, sih? Ngelamun pastinya." Atha nyengir saat Adit masih hafal dengan kelakuanya. Adit maju mendekat, "Coba sini gua liat?" Jantung Atha berdebar halus seperti biasanya, dia menghembuskan napas dengan pelan. Ingat Atha sekarang Adit udah punya orang lain, lo nggak boleh jatuh cinta lagi. Nggak pantes buat lo, masih banyak pria di luaran sana yang masih singel. Jangan mau punya orang, kalau nanti lo lagi cinta-cintanya terus di rebut, gimana? "Ehh mau apa?" Adit yang akan memegang kening Atha tangannya mengantung. Mail mendekat lalu menarik Atha masuk ke dalam pelukkanya, "Inget, Bro! Lo udah punya Bini di rumah. Biarkan wanita singel ini jadi milik gua." Adit menghebuskan napas, "Gua juga paham. Gua cuman mau liat jidatnya Atha katanya tadi dia kepentok pintu." Mail yang mendengar alasan Adit langsung terkekeh, "Makanya hati-hati, Non. Heran deh gua, Lo liat cowok berdasi di kantor tiap hari hilir mudik. Terus sekarang cuman liat wajahnya si Adrew langsung begitu, kaya yang baru liat orang ganteng aja." Atha berdecak. Mulutnya sudah membuka untuk membantah ucapan Mail. Namun usapan halus di keningnya membuat tubuhnya menengang. Cup "Tuh udah. Cepet sembuh Athaku sayang." Setelah itu Mail pergi berlalu meninggalkan keterdiaman Atha dan Adit. Tangan Atha bergetar memegang keningnya. Ya ampun bahkan dulu dengan Adit saja dia sudah terbiasa di perlakukan lembut seperti itu, namun dengan pria lain baru kali ini dia mendapatkannya selain Adit. Adit mengepalkan tangannya menahan gejolak di dalam hatinya. Dulu, kening Atha dia yang mengecupnya, tubuh Atha dia yang melindunginya, senyum Atha dia yang miliki, segala sesuatu tentang Atha miliknya bahkan dengan rumah ini. Namun sekarang Adit harus kehilangan semua kehidupan asmaranya dengan alasan tanggung jawab yang dia lakukan dalam satu hari. Berbulan menaman tanaman indah itu, namun hanya beberapa menit tanaman itu hancur oleh seekor hewan. Adit menghembuskan napas, menghilangkan sesak di dadanya, tanpa pamit dia langsung pergi meninggalkan rumah Atha. Tidak seharusnya dia datang kemarin, tidak seharusnya dia bercerita dan berkeluh kesah pada Atha, tidak seharusnya dia seenaknya keluar masuk rumah Atha, karena bagaimana pun sekarang dia bukan siapa-siapa lagi wanita itu. Sadar diri Dit, kalau aja lo nggak melakukan kesalahan itu, hubungan lo dan Atha pasti baik-baik aja. Gua nyesel Tha, nyesel! Kenapa gua harus tergiur sama sesuatu yang nggak tau bisa bikin gua bahagia atau engga. "Non, gua mau makan." Teriakan milik Mail membangunkan Atha dari rasa terkejutnya. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, ada apa dengannya? Kenapa bisa melakukan hal sebodoh itu? Atha melangkahkan kakinya ke kamar miliknya bahkan dia tidak ingat jika tadi sedang bersama dengan Adit. Semua pikiranya kacau hanya gara-gara satu pria si gagal Move on itu. Atha membuka pintu kamarnya dan seketika tanduk yang awalnya hanya setengah persen sekarang sudah sempurna muncul di kepalanya. "MALIIIII KAMAR GUA?!" Mail yang berdiri di depan kaca hanya melirik Atha sebentar, lalu lanjut membenarkan rambutnya yang sudah mulai gondrong. Atha berkacak pinggang, kamar yang awalnya tertata rapih sekarang berantakkan mirip kadang yang tidak di bersihkan. Bahkan selimutnya pun sudah tergulung di pojokkan kamar, ulah siapa lagi jika bukan Ismail Abimana Kavindra. "Sumpah yah gua baru tau kalau ada tamu yang sesopan ini." Omel Atha sebal. "Kenapa?" "Kenapa lo bilang? Lo tuh yah ... pulang sana! Gua udah nggak terima tamu macem lo lagi. Udah berantakin kamar, nggak punya malu, nyebelin pula. Gimana nanti yang jadi istri lo, pasti tiap hari ngomel liat kelakuan lo begini." "Lah dari tadi istri gua udah ngomel tapi tugas istri kan emang layanin suami." "Layanin suami? Kalau suaminya macem lo mana ada yang mau." Atha mengerutu sambil memunguti pakaian milik Mail yang berserakan. Dia paling tidak suka melihat rumahnya berantakkan. Jika saja dulu dia tidak memiliki hutang 300 ribu ceritanya pasti lain lagi. Kenapa juga Atha harus bertemu manusia macam Mail? Kenapa juga Atha harus berurusan dengan Mail? Semua pertanyaan terus berputar di kepalanya. Mail menatap pantulan Atha di cermin, dia tersenyum lebar melihat wanita itu terus bersungut-sungut padanya. Tapi dia biarkan saja karena memang kelakuannya yang melempar baju di sembarang tempat untuk menarik perhatian Atha. Eh apakah mantan wanita itu sudah pergi? Mail menghedikkan bahunya cuek, bodo amat. Memangnya siapa yang peduli pada mantan Atha. ??? "Jadi lo kabur dari rumah karena orang tua lo maksa buat kalian bertunangan?" "Yah bisa di katakan begitu." "Terus, kenapa nggak lo terima aja?" "Ck! Nggak segampang itu, Non. Gua nggak mungkin ngambil cewek temen gua sendiri. Di luar sana masih banyak cewek yang jauh dari dia." "Munafik banget sih lo. Kalau emang lo nggak mau ngambil cewek temen sendiri terus ngapain lo Make Out sama dia?" Mail cengar cengir lalu merangkul bahu mungil Atha. "Gua cuman mau nyobain aja gimana rasanya Make Out sama jalang kaya dia." Atha melepaskan rangkulan milik Mail, matanya mendelik tajam pada pria itu, "Lo sadar nggak sih. Ucapan lo itu bisa aja bikin perasaan mereka sakit hati. Jangan mentang-mentang lo kaya, dengan seenaknya lo perlakuin mereka kaya sampah." "Loh bukannya mereka emang sampah yah? Kenapa mereka mau jadi jalang kalau di luar sana masih banyak yang butuh tenaga mereka." "Tapi ucapannya Mali nggak usah kasar gitu." "Oke, sorry." Mail mengangkat tangannya menyerah tidak mau lagi berdebat dengan wanita di sampingnya. Atha menghembuskan napas, dia kembali melangkah meninggalkan Mail yang tersenyum. Mereka sedang menikmati alun-alun yang masih penuh dengan orang-orang yang hilir mudik. Awalnya sih Mail meminta Atha untuk menemaninya ke Jogja karena dia kangen dengan suasana Pantai namun ajakkan Atha sepertinya memang mengiurkan hingga akhirnya mereka berjalan-jalan di Taman kota ini. Atha duduk di bangku menatap manusia yang sedang bermain dengan keluarga atau pacarnya. Dia tersenyum. Jika saja Atha tau siapa orang tuanya mungkin dia tidak akan merasa kesepian seperti ini. Sungguh sangat beruntung mereka masih bisa tertawa bahagia dengan orang terkasih. Mail mendudukkan dirinya di samping Atha yang memandang ke arah depan sana dengan senyuman di wajahnya. Mail pun mengikuti pandangan wanita itu. "Enak yah mereka masih bisa ketawa sama keluarga mereka." ujar Atha. Mail memalingkan wajahnya ke samping melihat senyum Atha yang hilang. "Kenapa sih saat orang kaya gua butuh kasih sayang keluarga, gua nggak pernah bisa rasain tapi mereka yang dapet keluarga malah mengabaikan nya." "Gua pengen rasain kaya mereka. Gua pengen rasain ketawa sama keluarga gua. Gua pengen rasain gimana rasanya pelukan seorang ibu dan ayah. Gua juga pengen rasain gimana susah senengnya bareng keluarga." "Dari kecil gua nggak tau gimana sosok orang tua kandung gua. Gua slalu berdoa sama Tuhan, buat bisa di pertemukan sama keluarga gua. Gua nggak akan minta mereka buat mengakui gua, cukup gua liat mereka baik-baik aja udah bikin gua lega. Banyak ketakutan yang gua rasain, takut kalau mereka nggak hidup layak, takut mereka udah pisah, takut mereka udah nggak ada." Atha menghentikan ucapannya lalu menghembuskan napas perlahan. "Selama ini cuman Adit yang slalu ada buat gua. Adit yang slalu ngerti gua. Adit yang slalu ngasih kasih sayang buat gua. Adit yang jadi pelipur lara di kala gua sedih. Adit yang slalu bahagiain gua dengan caranya. Tapi sekarang Adit nggak ada dan gua tinggal sendirian. Kasian banget kan nasib hidup gua." Mail menatap Atha yang matanya sudah mengeluarkan air mata. Bibirnya tersenyum namun matanya tidak bisa membohongi, ada harapan, keinginan dan tekad di dalam mata itu. Mail tidak tau jika Atha anak yatim piatu. Pantas saja dia di akhir pekan hanya terdiam diri dirumah. Berbeda dengannya yang mau hari libur atau pun tidak, orang tua dan kakanya silih berganti untuk menanyakan kapan dia datang ke rumah. Mail masih beruntung memiliki orang tua yang menyayanginya, ada rasa menyesal karena selama ini dia slalu mengabaikan keluarganya karena masalahnya dia yang tidak suka di atur. Mendengar cerita Atha rasanya Mail ingin memeluk Mamanya, mengatakan walaupun dia seperti ini tapi rasa sayang itu tidak akan pernah terganti. Mail hanya tidak suka saja jika Mamanya memaksa dia untuk melakukan perjodohan konyol yang menurutnya itu tidak ada artinya. Dia memang playboy ulung yang bahkan setiap minggunya slalu berganti-ganti wanita namun entah kenapa semenjak mengenal seorang Atha semuanya berubah. Atha yang 10 tahun berpacaran dengan lapang dadanya dia mengikhlaskan. Sedangkan dia hanya 3 tahun pacaran saja sudah di buat kalang kabut. Jika di bandingkan dengannya, Atha lebih kuat secara fisik dan mental. Wanita itu melewati banyak rintangan dalam hidupnya, tidak tau siapa orang tua kandungnya dan sekarang penopang hidup satu-satunya sudah memiliki tanggung jawab lain. Mail memang sudah berjanji jika Atha akan menjadi guru Move on nya tapi sepertinya sekarang akan banting setir untuk menjadi sandaran wanita itu. Apapun penolakan Atha, Mail tidak akan menyerah. Tekad hatinya. Mail menggenggam tangan Atha dengan halus, "Sekarang lo nggak akan sendirian lagi. Mulai detik ini, kita resmi Pacaran" Atha mengerjapkan matanya. Matanya menunduk memandang tangan kekar itu melingkupi tangannya. Atha berdecak, maksud hati dia bercerita itu bukan untuk menarik simpati pria di sampingnya. Atha hanya ingin mengeluarkan sluruh kegalauan hatinya, hanya itu saja. "Ck! Mali apaan sih lo. Gua nggak nggak butuh rasa simpati lo terhadap gua, jadi lebih baik lepasin tangan lo itu dari tangan gua." Mail menggeleng, "Gua serius, Non! Suka atau pun engga kita resmi pacaran." Atha memutar bola matanya. Pria ini ternyata bukan hanya menyebalkan dan bersifat c***l tapi teryata sifat pemaksanya ada di dalam dirinya. Atha menarik tangannya namun genggaman erat itu tidak bisa membuatnya melepaskan tangan itu. "Dulu celah ini ada seseorang yang mengisinya dan beberapa minggu yang lalu celah ini kosong. Tapi sekarang celah ini ada pemilik barunya, jadi cuman gua yang bisa ngisi ke kosongannya." Atha menatap tangan mereka yang bertautan di depan wajahnya. Dia memejamkan matanya sejenak, biarkan saja terserah Mail. Yang awalnya Atha menginginkan pria itu menjauh, malah sekarang menempel padanya. "Ayo ... kita rayakan hari jadian kita. Gua kasih kartu Unlimited khusus buat lo seorang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN