"Ta mau bareng makan siang nggak?" Cassandra sudah berdiri di bangku duduknya.
"Lo duluan aja deh, gua mau mampir ke tempat lain dulu soalnya."
"Oh oke. Kalau gitu gua duluan yah." Cassandra berlalu meninggalkan Atha seorang diri. Sedangkan Atha masih berkutat dengan komputer di depannya. Namun matanya memang memandang ke arah depan tapi pikirannya berkelana kemana-kemana.
Atha menghela napas, dia ingin sekali kembali ke masa lalu, bukan malah seperti ini hidup sendiri tanpa ada kasih sayang. Semua meninggalkannya, bahkan Adit pun sekarang sudah hidup bahagia mungkin bersama dengan istrinya, sedangkan dia masih berdiri terpaku di tempat yang sama. Atha memegang kepalanya yang terasa pening, haruskah sampai disini hidupnya melihat bagaimana semua orang tertawa bahagia dengan orang yang ada di sekitarnya?
Atha memang bisa beradaptasi dengan baik tapi tetep saja jika masalah untuk percaya tidaknya dia susah untuk mencari. Atha yang biasanya bersama Adit kemana pun sekarang harus bisa sendiri. Biasanya makan siang Adit slalu menjanjikan di sebuah tempat namun sekarang hilang tanpa ada jejak. Atha menarik napas, setetes air mata terjun dari sudut matanya. Oh astaga! Kenapa air mata sialan ini slalu turun di saat suasana hening seperti ini? Atha membenci keheningan, karena dia merasa di abaikan dan tidak memiliki teman.
Atha melipat tangannya di atas meja, menelengkupkan kepalanya di lipatan tangan. Bahunya perlahan bergetar lalu sebuah isakan keluar dari mulutnya.
Kemal yang baru keluar dari ruangan terdiam saat telinganya menangkap sebuah isakkan yang begitu memilukan, hatinya seakan tercubit saat tau suara isakkan siapa itu. Kemal melangkah dengan hati-hati lalu terdiam saat melihat bahu wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta itu bergetar. Kemal mengepalkan tangannya, bagaimana lagi supaya wanita itu bisa kembali tersenyum? Kemal sudah mencobanya, memang berhasil tapi ternyata tidak segampang itu mencoba. Kemal menarik napas dengan dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Butuh waktu 3 detik untuk merasakan jatuh cinta dan butuh beberapa tahun untuk bisa melupakan.
"Ta?" Atha yang mendengar namanya di panggil langsung mengusap kedua pipinya terburu-buru, setelah aman dia mengangkat kepalanya.
"Ehh, iya kenapa?" Hati Kemal sakit luar biasa melihat mata itu sedikit membengkak.
"Lo nangis lagi?" terkutuk lah ucapan itu yang keluar dari mulutnya begitu saja.
Atha menarik napas untuk menetralkan perasaanya, "Hehehe ... biasalah namanya juga wanita, liat yang baper yah begini."
Kemal tahu di balik senyuman yang di perlihatkan Atha ada sesuatu hal yang tidak mungkin semua orang lain ketahui. "Kenapa, Ta? Kenapa lo nggak mau berbagi kesedihan sama gua? Gua nggak pernah masalah lo cuman ngangap gua sekedar temen walaupun rasanya canggung karena gua punya perasaan yang lebih buat lo tapi gua mohon, Ta, udah cukup lo nanggung semua beban itu, lo punya gua yang bakal slalu ada buat lo."
Atha menatap Kemal dengan senyuman namun senyumannya langsung pudar di gantikan dengan matanya yang kembali berkaca-kaca. Tangannya menutup wajahnya dan tangisannya kembali terdengar. Kemal maju mendekat dengan ragu dia memeluk Atha menepuk bahunya dengan pelan.
"Gua tahu sakit rasanya nahan buat kuat di depan orang lain. Gua tahu rasanya buat coba kuat tapi Lo harus inget Ta, lo nggak sendiri masih ada gua yang bakal ada buat lo." Atha menggelengkan kepala, dia masih belum bisa membagi bebannya karena hanya Adit yang bisa menenangkannya. Atha butuh Adit untuknya tapi dia tidak bisa egois, ada seseorang yang lebih membutuhkan Adit bagi masa depannya. Perlahan tapi pasti Adit pun akan melupakannya.
"Ta, apa selama ini gua belum baik buat lo sampai lo nggak mau cerita apapun sama gua?" Atha tidak suka jika ada air mata mengalir dari pipinya. Ingin rasanya dia mencolok matanya supaya air mata itu berhenti mengalir tapi percuma, untuk apa dia melakukan hal itu jika akhirnya, hatinya tetap terluka.
"Kenapa kemarin lo nggak nahan Adit buat tetap ada di samping lo kalau akhirnya lo nangis kaya gini? Kenapa lo nggak bilang sama Adit kalau lo nggak bisa jauh dari dia? Kenapa lo harus lepasin Adit di saat dia udah jadi suami orang lain? Apa lo nyesel udah milih jalan ini?" Atha terdiam namun air matanya tetap mengalir.
Perkataan Kemal barusan seakan menohok hatinya yang paling dalam. Bagaimana bisa dia menangisi pria yang sudah memiliki istri? Apakah dia pantas seperti ini? sedangkan saat itu dia memutuskan untuk melepaskan. Atha bodoh. Harusnya dia tidak menangis seperti ini di kantor pula. Jika semua orang melihatnya menangis pasti mereka akan bersimpati terhadapnya.
Jika memang dia tidak sanggup, kenapa harus berlarut memikirkannya? Seharusnya dia ada di antara teman-temannya, menyibukkan diri sendiri, bukan malah terdiam merenungi nasih. Jangankan orang lain, orang tuanya pun yang menyumbangkan darah, mengabaikannya tidak pernah dia tangisi seperti ini. Lalu Adit yang bahkan orang lain, kenapa dia harus menangis tersedu sampai Kemal kembali melihatnya?
Atha memundurkan badannya, tangannya menghapus air mata yang mengalir, dia menarik napas lalu menghembuskan nya secara perlahan. Dia memejamkan mata sebentar lalu membukanya.
"Gua nggak seharusnya melow kaya gini. Nggak seharusnya juga gua nangis buat kedua kalinya. Gua ... Ah thanks karena di sini cuman ada lo yang liat gua nangis." Kemal terpaku melihat Atha memamerkan senyum manisnya seperkian detik. Jantungnya berdebar semakin kencang, tangannya berkeringat dingin begitu saja.
"Terima kasih Kemal, lo emang temen gua yang paling baik. Maafin gua yang nggak bisa balas perasaan lo. Kalau Tuhan izinin gua buat jatuh cinta lagi, gua bakal berusaha buat jatuh cinta sama lo tapi maaf saat ini gua belum sanggup dan siap." Kemal menarik napas, dia mengerti karena Move on itu tidaklah mudah. Kemal mengangkat tangannya lalu menangkup wajah Atha.
"Maafin gua yang malah bikin lo kepikiran sama perasaan gua. Lo tahu gua suka sama lo bukan suka tapi cinta sama lo. Gua tahu hati lo masih terpaut sama dia. Maka dari itu gua siap menunggu sampai lo bisa buka hati lo buat gua." kepala Atha menggeleng lalu memegang tangan kekar Kemal di pipinya.
"Jangan pernah menunggu sesuatu yang nggak pasti Kemal. Di luar sana mungkin ada seseorang yang nunggu lo untuk berbalik. Dengar, gua bukan maksud menolak tapi gua cuman mengkhawatirkan di saat lo nunggu gua tapi hati gua nggak bergerak sama sekali gua takut lukai hati lo. Maka gua dengan sangat ngomong kejarlah kebahagiaan lo, karena gua nggak akan pernah bisa bahagiain lo." Atha melepaskan tangan Kemal dari pipinya lalu bangkit berdiri dari duduknya meninggalkan Kemal yang terpaku di tempatnya.
Apakah ini akhir dari segala sesuatu yang dia tunggu?
Apakah sudah saatnya dia menyerah?
Apakah tidak ada kesempatan untuknya?
Apakah memang dia tidak pantas untuk membahagiakan?
Banyak pertanyaan di benak Kemal saat melihat punggung kecil itu menjauh, dia menatap sendu, mencerna semua perkataan yang terlontar dari mulut Atha. Jadi begini kah akhir dari semuanya?
???
Atha diam termenung di sebuah kafe, dia mengingat perkataanya yang begitu tidak pantas di ucapakan pada Kemal. Namun mau bagaimana lagi, dia tidak mau memberi sebuah harapan palsu pada orang lain. Atha hanya ingin merenungi semua yang telah terjadi di hidupnya. Siap tidak siap masih banyak rintangan yang menghadang di depan sana. Oh Tuhan! Rasanya Atha tidak sanggup menjalani semua ini.
Atha melirik jam di pergelangan tangannya, dia mendesah. Kenapa waktu seakan membencinya? Padahal baru saja dia duduk, ternyata sudah hampir habis waktu istirahatnya. Atha bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah kasir untuk membayar semua pesanannya.
"Berapa semuanya Mbak? Meja nomor 4."
"Total semuanya 300 Mbak sama pesanan Mbak untuk di bawa pulang." Atha menganggukkan kepalanya lalu merogok tas gendongnya untuk mencari dompet. Atha mengerutkan kening, saat dia tidak menemukan beda itu. Mukannya langsung pucat, jika tidak ada lalu bagaimana dia membayar?
Sang kasir menatapnya dengan pandangan bingung di lihat dari cara berpakaian pasti wanita di depannya karyawan kantoran tapi saat melihat muka nya langsung pucat dia mendesah, sudah biasa.
"Sebentar, Mbak." Sang kasir menganggukkan kepalanya. Atha membalikkan badannya lalu berjalan menjauh.
"Haduh ... dompet gua kemana lagi perasaan tadi udah di masukin ke tas deh."
"Aih ... bego banget sih, masa gua bilang sama mbaknya ngutang dulu, malu tau mau di taro dimana muka gua."
"Ya ampun kayanya sial banget gua, udah dompet ketinggalan, mana ponsel mati lagi aih." Atha mengerutu saat ponselnya mati. Dia semakin bingung, kenapa harus kelupaan membawa dompet? Ingatkan jika berpergian Atha harus membawa dompet dan mencharger ponselnya jika sudah begini sial sendirian.
Dia melangkah mendekat mencari suara itu hingga akhirnya kakinya seakan mati rasa, matanya terpaku, tubuhnya menegang, jantungnya berhenti beberapa detik hingga akhirnya berpacu dengan cepat, aliran darah yang tadi membeku langsung mencair begitu saja. Senyum Mail tersungging dengan lebar, aku menemukanmu pekik hatinya kegirangan.
"Ya ampun mana udah gua pesenin lagi masa gua pergi gitu aja, nanti yang ada muka gua di simpen lagi di depan, di kasih pengumuman buat kafe atau restauran lain nggak boleh nampung gua."
"Mbak gimana?" Atha membalikkan badannya lalu mengigit bibir bawahnya.
"Mmmm Mbak kalau saya titip dulu disini sebentar gimana? Dompet saya ketinggalan di kantor, nanti saya balik lagi." Hanya itu alasannya.
"Oh begitu, Mbak. Kalau begitu bisa anda titipkan barang bawaannya?" Atha menganggukkan kepalanya, tidak masalah. Memang dia yang salah kenapa harus lupa membawa dompet.
"Bo-___"
"Nggak usah Mbak biar saya aja yang bayar." Atha yang mendengarnya membalikkan badan, kepalanya masih menundukkan.
"Loh Mas saya bisa bayar kok." Ucap Atha tidak enak dan setengah menahan malu.
"Nggak apa-apa saya mampu kok bayarnya." Atha tersenyum dalam hati, anak shaleha bisiknya, saat dia mengangkat kepalanya ingin mengucapkan terima kasih.
"Terima ka__ Lo?!" Ucapannya menggantung lalu dia melotot kan matanya melihat orang di depannya yang tersenyum lebar.
"Hai." Atha mendengus. Jika kejadiannya begini, dia sungguh tidak akan mau di bayarkan tapi mengingat jika dia pulang pergi akan memakan waktu cukup lama, bagaimana pun perusahanaanya tempat bekerja lumayan jauh dari tempatnya makan.
"Makasih udah bayarin punya gua. Lain kali, gua yang bayar."
"Jadi lo ada niat mau ketemu sama gua lagi?"
Mata Atha terbelalak, "Enak aja. Yah gua mau bayar utang lah bukan mau ketemu sama lo."
"Ketemu sama gua juga nggak apa-apa kali, toh, gua Jomblo."
"Ngapain gua mau ketemu cowok m***m kaya lo yang ada amit-amit jabang bayi malah."
"Ahhh ... kok gua rasanya seneng yah lo panggil m***m serasa gua udah Mesumin lo." Atha bergidik risih melihat pria di depannya ini. Memang sih pria ini tampan tapi jika kelakuannya begini yah Atha mana mau, yang ada tiap hari makan hati gara-gara ulahnya. Atha mengusap perutnya mengucapkan amit-amit jabang bayi.
Mail yang melihat itu menatap perut datar wanita di depannya, apakah wanita di depannya tengah hamil? tapi mana boleh. Mail melihat name tag yang tergantung di leher wanita itu yang terbalik. Dia mengambilnya lalu membalikkanya.
"Ehhhh ... kurang ajar banget sih lo." Atha menjatuhkan tasnya, tangannya akan memukul laki-laki di depannya tapi sebelum itu tubuhnya sudah di tarik dan tangannya sudah di ikat dalam satu gengaman.
"Athena Bunga Anyelir emmmm ... nama yang manis semanis orangnya." Atha ingin muntah saat ini juga melihat laki-laki di depannya tersenyum dengan lebar.
"Kenalin nama gua, Ismail Abimana Kavindra, lo boleh panggil gua sayang."
"Apaan sih lo geje banget. Lepasin tangan gua ih." Atha mencoba melepaskan tangannya namun tidak bisa, dia malah di tarik paksa keluar oleh laki-laki itu membuatnya tidak bisa melakukan apapun.
Mail membawa wanita bernama Athena Bunga Anyelir itu keluar dari Kafe. Dia masuk kedalam sebuah Gang sempit membuat Atha menatapnya horor. Apakah laki-laki ini akan mencabulinya? Astaga! alarm di kepalanya sudah berbunyi nyaring. Tubuh Atha di hempaskan ke arah dinding dan tubuh kekar itu menghimpitnya. Atha menahan napas, untuk kedua kali hidungnya mencium parfum ini. Dagu Atha di angkat, mata mereka saling berpandangan.
"Tolong lepasin gua. Lo ini siapa sih? Gua janji nggak akan kabur, kalau bisa sekarang lo ikut gua ke kantor buat ngambil uangnya."
"Gua nggak butuh uang. Uang gua banyak, bahkan buat beli kafe itu pun gua mampu."
"Sombong. Kalau gitu sekarang lo boleh lepasin gua kali." Atha mencoba melonggarkan tangannya namun yang ada tubuhnya semakin di himpit membuat ruang geraknya terasa sesak.
"Awas ih." Atha memundurkan kepalanya saat pria itu mendekat.
"Lo masih perawan kan?"
Mendengar ucapan kurang ajar itu. Sumpah serapah bergaung dari mulut Atha bahkan dia memakai bahasa kurang sopan, biarkan. Siapa suruh pria di depannya kurang ajar seperti ini.
Mail yang melihat wajah itu tersenyum geli bahkan umpatan kasar yang di lontarkan wanita di depannya tidak dia dengarkan. Mail terlalu fokus menatap wajah yang memerah itu, seperti menahan marah, tidak mungkin merasa malu. Mata Mail meneliti dengan seksama, mulut wanita itu masih mengoceh tapi ada satu hal yang dia lihat mata itu bengkak seperti habis menangis. Dengan halus Mail membekap mulut itu membuat Atha bungkam dan matanya melotot. Tangan Atha sudah terlepas tapi tubuh besar di depannya masih menghimpitnya semakin mendesak.
"Lo abis nangis?" Tangan itu mengusap matanya membuat Atha merasa risih.
"Kenapa lo nangis? Siapa yang udah buat lo kaya gini?" Jantung Atha tiba-tiba berdetak tidak karuan.
Atha memandang mata hitam legam itu dengan dalam. Entah mengapa waktu seakan berhenti berjalan, detak jantung menjadi alunan musik mengiringi tatapan mereka, darah seakan membeku sesaat sampai akhirnya dia mengerjapkan matanya.
Atha melepaskan tangan itu kasar, "S-siapa yang nangis sih, sotoy banget nih."
Mail menggelengkan kepala, dia tau wanita di depannya menyangkal semua hal itu. "Lo habis nangis dan lo nggak bisa nipu gua."
"Siapa juga yang mau nipu lo. Udah deh gua nggak ada urusan apapun sama lo, jadi pergi jauh-jauh sana hus hus." Atha mendorong d**a bidang itu dan berhasil, "Nanti kalau suatu saat kita ketemu dengan ke tidak sengajaan, utang ini bakal gua bayar."
Atha sekali lagi mendorong pria itu lalu pergi meninggalkan laki-laki yang menyebut namanya Ismail Abimana Kavindra itu sendirian. Atha tidak mau laki-laki itu tahu bagaimana dia, bahkan untuk pertama kalinya dia mendapatkan tatapan intens yang membuat denyut jantungnya berdebar kuat. Astaga! Atha dia itu pria m***m yang udah curi ciuman lo dan sekarang lo seakan terpesona karena dia peka terhadap perasaan lo batinnya berteriak menyadarkan Atha untuk kembali ke alam sadarnya.
Mail menatap punggung kecil itu menjauh, dia yakin wanita itu habis menangis, tidak mungkin penampilannya terlihat kacau walaupun dengan menutupinya dengan Make Up dia tau. Mail sadar jantungnya, untuk kedua kalinya berdegup kencang dan hal itu terjadi pada wanita manis yang baru dia temui dua kali ini. Sekarang Mail tau nama wanita itu, dia tidak perlu pusing memikirkannya karena sekali perintah informasi tentangnya akan ada di atas meja kerjanya. Mail menghembuskan napas kasar, kenapa bisa wanita itu menangis? Siapa yang sudah berani melakukannya? Mail ingin mengetahui lebih dalam lagi kehidupan wanita itu. Hatinya berontak menginginkannya. Mail pun tidak tahu kenapa dia harus sebahagia ini tapi yang pasti hatinya lah yang menginginkan itu.
???
"Lu darimana aja? Tas udah nyampe duluan lo nya malah belakangan." Cassandra menegur Atha yang hanya menatap kosong ke arah komputernya.
"Ta, lo nggak apa-apa kan?" Cassandra memegang bahu Atha dengan lembut membuat wanita itu mengerjapkan mata.
"Eh ... kenapa, San?"
"Lo kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Lo nggak apa-apa kan? Nggak biasanya lo gagal fokus kaya gini." Iya kah Atha gagal fokus pada orang sekitarnya? Atha memejamkan matanya, mengusap wajah dengan telapak tangannya dengan kasar. Kenapa dia menjadi seperti ini? Stop, Atha! Ini bukan lo yang sebenarnya teriak hatinya.
"Sorry, gua cuman masih shock aja tadi pas makan, mau bayar eh taunya dompet gua ketinggalan di laci."
"Hah? Terus kenapa tas lo ada yang kirim duluan? katanya tadi lo di tarik sama cowok, terus ninggalin barang lo gitu aja. Siapa cowok itu?" Sialan! Atha sampai lupa tasnya tadi di jatuhkan begitu saja saking kesalnya pada laki-laki itu yang seenaknya berlaku kurang ajar padanya.
"Ah ... cuman cowok iseng aja." Cassandra menyipitkan mata. Atha tidak bisa berbohong, terlihat sangat jelas mata wanita itu bergerak-gerak gelisah tapi Cassandra tidak mau menginterogasinya lebih lanjut. Mungkin ada alasan yang membuat wanita itu berbohong padanya.
"Ohhh ... oke deh kalau gitu."
"Ya udah, ngapain lo diem di mari? Sono balik kerja."
"Iya, iya." Atha menghembuskan napas dengan pelan.
Untuk pertama kalinya kenapa dia bisa menangisi orang yang sudah tidak mungkin menjadi miliknya lalu ada orang lain yang tahu bahwa dia habis menangis. Atha slalu berusaha menutupi semuanya tapi sekarang dia perlu hati-hati pada laki-laki yang tadi di temui nya. Kemungkinan besar laki-laki itu bukan hanya bertingkah m***m terhadap perempuan tapi laki-laki itu juga terlalu peka pada perasaan orang lain. Iyalah dia pasti peka pada perasaan orang lain, dia kan pencinta wanita.