Atha menatap bintang yang bertaburan di langit, di atap kantornya. Dia memilih lembur di banding harus pulang ke rumah. Atha memejamkan mata merasakan tiupan angin menerpa kulit wajah dan tubuhnya. Helaan napas terdengar begitu kasar namun sama sekali tidak menghilangkan kesesakan di dalam d**a dan hatinya. Atha ingin mengeluh bahwa dia sudah lelah dengan kehidupan, ingin berteriak bahwa dia cape harus hidup seperti ini. Atha ingin mencaci maki semua orang tanpa peduli salah mereka dimana, dia hanya ingin bertanya kenapa hidup mereka begitu beruntung di banding dirinya? Dan yang pasti dia ingin bertanya kenapa? Kenapa Tuhan membedakan kehidupannya dengan semua orang?
Atha membuka matanya, mata itu sudah berkabut, satu kedipan mata mungkin air mata akan berlomba untuk membasahi pipinya. Angin berhembus membuat bendungan itu goyah hingga akhirnya satu demi satu air mata itu jatuh mengalir. Tumpuan dalam hidupnya sudah pergi. Orang tuanya pun sudah tidak peduli, bahkan dengan tega membuangnya. Ingatkan Atha untuk melupakan kenangan pahit dalam hidupnya tentang masa lalunya dulu. Tentang Keluarga yang seharusnya merengkuh tubuhnya.
"Sebenarnya apa sih yang terjadi di masa lalu gua sampe kesialan itu slalu datang bertubi-tubi?" Atha memegang pembatas dengan erat. Matanya memandang tajam ke arah lampu-lampu yang berkelap-kelip menghiasi gedung-gedung besar di sana.
"Jangan pernah menanyakan bagaimana masa lalu mu tapi ingatkan saja bahwa kamu memiliki masa depan yang indah." Suara bas itu menyentak Atha dari lamunannya. Dia membalikan tubuhnya lalu menatap tidak percaya saat tau siapa orang itu.
"Pak Sean." Atha bergumam lirih. Atha berpikir mungkin saja hanya dia yang berada di kantor untuk lembur tapi ternyata masih ada yang ikut lembur. Orang itu adalah pemimpin perusahan PT. JAYAKARTA tempatnya bekerja.
"Kenapa kamu malah nangis sendiri di sini? Nggak baik seorang perempuan pulang larut malam." Atha menundukkan pandangannya. Mengusap air matanya yang mengalir tiada akhir.
Sean Milliand seorang pemimpin yang banyak digosipkan karena statusnya yang menduda dari jaman dulu sampai sekarang. Entah apa yang membuat atasannya tidak kembali menikah. Yang pasti mereka hanya tahu jika Sean Millind itu sosok lembut dan penyayang di usia pertengahan 50 tahun. Dari hasil pernikahannya mengatakan dia memiliki seorang anak namun sampai sekarang tidak ada kabar sama sekali siapa sosok anak sultan ini. Bahkan semua berita dari bisnis sampai infotainment ingin menggalinya, namun mereka slalu tidak mendapatkan sebuah bukti sama sekali. Atha tahu sosok seperti atasannya memang susah di dapatkan bagi para wanita manapun. Saat pertama kali Andi mengajaknya bergabung, dia pikir sosok itu sudah tua, berperut buncit, kepala hampir setengah plontos tapi lihatlah atasannya begitu masih tampan walaupun usianya sudah setengah abad.
Sean menatap bawahannya dengan pandangan mengabur. Dia memalingkan wajahnya. Dadanya berdegup dengan kencang. Ada sesuatu yang Sean rasakan saat menatap mata itu namun dengan cepat dia menepisnya. Sean memang sering lembur, bahkan tempat inilah yang slalu dia datangi hanya untuk mengenang masa lalu tapi saat sampai ternyata ada sosok wanita mungil yang sedang mencurahkan isi hatinya.
"Apakah kepala bagian memberikanmu pekerjaan sampai harus lembur seperti ini?" Sean kembali bertanya. Sean memang sosok yang tegas dalam mengambil sikap tapi tidak pernah sekali pun dia meminta karyawan yang bekerja bersamanya harus sampai lembur seperti ini.
Atha menggelengkan kepala, bahkan Kemal sama sekali tidak pernah memintanya untuk lembur kecuali sedang masa deadline tapi entahlah dia hanya masih terlalu betah tinggal di kantor di banding duduk diam di rumah sendirian.
"Lalu kenapa kamu belum pulang?"
"Saya cuman ...." Atha bingung sendiri akan mengatakan alasan apa. Akhirnya dia bungkam. Tidak mungkin kan dia mengatakan di tinggal menikah oleh mantan kekasihnya? Malu sekali Atha mengatakan itu. Lagian mereka itu atasan dan bawahan, rasanya canggung sekali.
Sean menghela nafas, dia melangkah lalu mendudukkan diri di tempat biasa yang sering dia duduk. "Boleh saya sedikit bercerita?"
"Ya?" Sontak saja Atha bingung harus mengatakan apa.
"Di tempat inilah saya mengenal Alm. istri saya. Saya dan dia bukan sepasang kekasih seperti kebanyakan orang, dimana dia slalu berbaur dengan orang lain sedangkan saja memiliki sifat sebaliknya. Dia wanita yang pertama kali menyentuh hati saya. Dia banyak sekali mengajarkan pada saya bagaimana cara menghargai orang yang berada di sekitar kita, bagaimana caranya menjadi bukan merasa, semua yang bahkan tidak pernah saya lakukan dia melakukannya. Dari sanalah saya jatuh Cinta pada Alm. Istri saya." Atha dengan sedikit keberanian mendongak, matanya memandang ke arah Sean dengan pandangan sayu.
"Dari kecil saya nggak pernah tahu gimana rasanya disayang, gimana rasanya di cintai, gimana rasanya diberi, gimana rasanya dimanja dan gimana rasanya dipeluk. Saya belum pernah merasakannya tapi sama dia saya merasakan semua hal itu dengan mudah tanpa perlu mencari perhatian. Kamu tau, terkadang saya slalu menyesali kenapa hidup saya tidak seberuntung teman-teman yang ada di sekitar saya tapi ternyata Tuhan masih berbaik hati memberikan saya pelipur lara dalam kesendirian saya. Dia yang saya cintai namun harus berakhir tragis saat melahirkan Putri saya." Atha melihat mata Paruh baya itu berkaca-kaca.
Selama ini Sean sama sekali tidak pernah menceritakan bagaimana perjalanan hidup dengan Alm. istrinya. Namun entah mengapa hatinya mendorong untuk menceritakan pada sosok wanita mungil itu begitu saja. Sean mengerjapkan matanya saat rasa sesak itu kembali hadir.
Sean menarik napas, lalu menghembuskan nya secara perlahan untuk mengurangi rasa sakit itu. "Ternyata kebahagiaan saya harus di renggut kembali. Saya kehilangan Istri dan juga Putri saya."
Atha mengigit bibir bawahnya, matanya ikut berkaca-kaca. Dia paling tidak bisa melihat seseorang yang bersedih di sekitarnya. Atha ingin memeluk laki-laki tua itu, dia ingin mengatakan bahwa Anda kuat mengalami cobaan ini tapi pikirannya mengatakan memangnya dia siapa harus melakukan hal itu? Hingga akhirnya Atha hanya diam mematung melihat tubuh kekar itu yang pundaknya mulai bergetar.
Sean mengerjapkan matanya, dia tidak sanggup lagi menahan sesak di dadanya, sampai akhirnya suara isak kan keluar dari mulutnya. Selama ini dia bertahan bahwa hidupnya akan baik-baik saja tapi ternyata setiap pulang ke rumah kekosongan itu slalu menghampirinya. Sean tidak bisa menggantikan Alm. istrinya dengan wanita lain karena hatinya slalu menolak. Bahkan rekan kerjanya pun sudah memberikan pengertian padannya namun sekali lagi Sean sama sekali tidak tertarik.
"Pak? Apa anda baik-baik saja?" Suara Atha terdengar serak. Tiba-tiba dadanya terasa sesak membuat air mata yang sempat berhenti kembali membasahi pipinya. Atha tahu bagaimana perasaan atasannya karena dia merasakan hal yang sama.
Sean memejamkan matanya, mengatur pikirannya untuk kembali ke masa sekarang. Namun bayangan Alm. istrinya yang sering membuatnya tertawa tidak bisa di lupakan begitu saja. Bahkan membekas begitu dalam di hatinya. Memang cinta pertama sulit untuk di lupakan, bahkan sampai ajal menjemput pun rasa cinta itu tidak bisa di gantikan lagi oleh rasa baru. Bayangkan saja, dia yang slalu ada untuk mu di kala susah mau pun senang. Dia yang menyembuhkan sebuah luka untuk kembali tertutup. Dia yang memiliki berbagai cara untuk membuat kita tersenyum tapi akhirnya pergi meninggalkan sebuah luka baru yang entah kapan bisa ditutup kembali. Semua itu bahkan slalu terlihat jelas seakan-akan sosok itu masih ada di depan matanya.
"Saya nggak apa-apa." Sean mengusap matanya dengan kasar. Semua itu sudah berlalu dan tidak sepantasnya dia menangisi Alm. Istri dan Anaknya yang sudah tenang di alam sana.
Atha menarik napas, dia turut mengusap pipinya dengan cepat sebelum atasannya menyadari jika dia pun ikut terbawa perasaan. Walaupun Atha tahu di balik tegas sosok Sean ada secuil harapan untuk merasakan kembali kebahagian. Namun orang yang dia cintai harus pergi meninggalkannya dengan berjuta kenangan yang tidak akan pernah bisa di lupakan. Terbukti sampai sekarang Atasannya tidak menikah lagi. Jika terjadi pada laki-laki lain kemungkinan mereka memilih move on dan mencari pengganti yang baru.
"Saya harap kamu tidak merasakan seperti yang saya rasakan. Kamu wanita yang memiliki masa depan panjang. Jadikan lah masa lalu itu sebuah kenangan walaupun dia pernah menyakiti kita. Yakin saja kamu akan mendapatkan sesosok pria yang lebih baik dari dia sebelumnya. Karena karma masa lalu itu memang ada tapi sikapi lah dengan sewajarnya jangan sampai kamu banyak terlalu mengenang. Karena saya pun rasanya tidak bisa di jabarkan dengan kata-kata. Jangan berkecil hati bahwa hanya kamu yang merasakannya, masih banyak orang yang bahkan lebih buruk dari kita karena cobaan itu akan slalu datang. Namun percayalah bahwa kamu akan bahagia suatu saat nanti. Dari pengalaman lah kita belajar bagaimana kita harus bersikap."
Setelah itu hanya ada keheningan. Atha menatap langit, senyumnya terbit namun tidak selebar biasanya, tidak seharusnya dia seperti ini. Bahkan Atasannya pun bisa menjadi sosok yang lebih kuat lagi walaupun kebahagiannya sudah terenggut. Atha memejamkan mata lalu menarik napas pelan setelahnya menghembuskan nya. Dia mengsugestikan diri bahwa kebahagiannya sudah di depan mata.
Sean menatap wanita itu dengan dalam, senyumnya tersungging. Ada kelegaan dihatinya saat menceritakan itu semua. Mungkin memang ceritanya tidak akan membantu wanita itu tapi setidaknya Sean percaya wanita itu akan lebih baik lagi untuk menata hidupnya. Entah keyakinan dari mana, Sean percaya bahwa wanita itu akan menemukan kebahagiannya di lain hari. Tidak ada keraguan sama sekali saat dia menceritakan perihal kehidupannya di masa lalu bahkan semua orang yang ingin tahu. Tapi sekarang ada satu sosok yang mengetahuinya namun tidak ada kekhawatiran sama sekali dalam dirinya. Sean percaya wanita itu tidak akan mengatakan sesuatu hal tentangnya.
???
"MAIL BANGUN!" Suara menggelengar itu membuat Mail terlonjak dari tidurnya. Dia membuka matanya dengan lebar.
"Sial! Siapa yang bikin rusuh pagi-pagi di Apartemen gua?" Mail mengambil kaosnya lalu memakainya. Setelah itu beranjak dari ranjang berjalan ke arah pintu kamar. Saat dia membuka pintu kamar Mail melongo.
"Mama." Satu kata itu membuat Mail menggaruk rambut belakangnya.
Safira berkacak pinggang menatap putranya yang baru bangun dari masa Hibernasi nya. Dia mendesah, melihat pemandangan yang begitu menyebalkan. Bagaimana bisa apartemen yang begitu enak di pandang dari luar, saat masuk kedalam seperti kadang babi yang penuh dengan sampah dimana-mana? Mail yang melihat Ibunya memandang kesegala arah meringis. Oke! Ibunya paling jago dalam segala hal bahkan melihat sekecil debu pun akan mengomel. Bagaimana dengan Apartemennya yang begini?
"Oke, Ma. Nanti Mail nyari tukang bersih-bersih, janji." Mail mengangkat tangannya menunjukan jari tengah dan telunjuk.
"Ini yang paling Mama bikin sebal. Kamu tuh slalu jorok, kalau apa-apa tinggal buang. Jangan mentang-mentang kamu Anak dari Bryan Kavindra jadi seenaknya begini heh."
"Dehh, Ma. Mail lupa buat beresin. Udah yah Mail mau tidur lagi soalnya baru pulang tadi subuh." Mata Safira melotot.
"Kamu abis ngapain lagi sih, Mail? Nggak cukup apa kamu tiap hari mangkir dari perusahaan? Papa kamu yang khawatir takut terjadi sesuatu kalau tiba-tiba ada karyawan yang curang, gimana?"
"Ck! Itu mah Papanya aja yang lebay. Perusahaan nggak akan ada yang gendong kemana-mana Ma cuman diem di sono. Tenang aja nggak usah khawatir, palingan nanti tuh perusahaan ada yang gondol mwehehe." Safira mendesah. Anaknya ini tidak tahu mau bagaimana hidupnya, slalu saja keluar dari batas aturan, bener-bener.
"Mail kapan kamu bener sih, Nak? Mama cape sendiri lihat kelakuan kamu yang begini."
"Mama, Mail itu slalu bener nggak pernah salah. Mama aja yang terlalu ambil pusing, Mail kan dari tahun kapan juga udah begini."
"Astaghfirullah." Hanya itu yang keluar dari mulut Safira melihat kelakuan Putranya yang sungguh menyebalkan. Dia mengusap dadanya supaya darah tingginya tidak naik.
Mail hanya menghendikkan bahunya cuek. Mamanya ini memang paling bisa membuat lelucon. Memangnya dari sejak kapan dia tidak bener? perasaan dia biasa-biasa aja bahkan 100% masih sembuh jika Mamanya mengatakannya gila. Mail berlalu meninggalkan Safira yang terduduk diruang tamunya. Dia masih mengantuk gara-gara semalam bergadang bersama teman-temannya. Saat masuk kedalam kamar suara deringan ponsel menggaung mengisi keheningan yang ada. Mail melangkah melihat siapa yang menganggu waktu paginya. Saat tahu siapa yang menelepon dia langsung mematikan ponselnya tanpa tanggung-tanggung. Pliss! Mail masih ingin tidur mengistirahatkan tubuhnya yang seakan remuk.
"Mail bangun dong, masa Mama di tinggal sih?" Mail yang sudah menjatuhkan tubuhnya menarik bantal lalu menutup kupingnya. Dia bener-bener butuh tidur sebelum ketampanannya luntur gara-gara mata panda nya.
"Mail, Mama aduin Papa yah kamu begini sama Mama?" Mamanya mulai merajuk dan Mail harus bagaimana jika begini? Bangkit dari ranjang, berjalan ke kamar mandi lalu pura-pura mandi dengan menyalakan shower padahal dia tidur di atas kloset.
Safira yang melihat anaknya masuk ke kamar mandi tersenyum dengan lebar, duhhh ... ampuh juga ternyata rengekannya. Safira bangkit dari duduknya mengambil sampah-sampah yang berserakan di lantai. Bayangkan, Apartment putranya ini begitu besar tapi tidak ada sama sekali yang mengurus. Maksud hati dia dan suaminya ingin menikahkan Putranya supaya hidupnya tidak semerawut seperti ini. Setidaknya jika ada istri, mungkin Mail akan ingat waktu dan membaginya antara kerja dan bermain, bukan hampir 24 jam di luar. Terkadang Putranya itu hanya tidur beberapa jam.
"Mail udah belum sih? kenapa lama banget mandinya? Kaya anak gadis aja." Safira mengetuk pintu kamar mandi, shower masih terdengar mengalir.
Ini hampir satu jam lamanya dia menunggu, bahkan Safira sudah membereskan kekacauan yang di buat anaknya tapi kenapa laki-laki tengil itu belum keluar juga? Safira mencoba membuka pintu kamar mandi dan tidak terkunci sampai akhirnya matanya terbelalak saat melihat putranya meringkuk di bawah lantai.
Safira menghentakkan kakinya lalu mengambil gayung. Tega-teganya Mail membiarkan ibunya menunggu hampir satu jam dengan acara pura-pura mandi.
"MAILLLLLLLLLLLLLLL?!"
Byurrrr
Mail yang baru saja memimpikan seorang wanita telanjang di depannya harus tersentak saat sebuah air menerpa wajahnya.
"-@(#)$-$;-." Ucapan kasar terlontar dari mulutnya. Mail mengusap wajahnya dengan kasar.
"b******k! Siapa yang berani nyiram gua, hah?"
Safira berkacak pinggang, kepalanya menggeleng. Anaknya ini mau jadi apa jika terus seperti ini? Minta di rukiyah sepertinya.
Mail mendongak, "Mama? Kenapa Mama ada disini?"
Mail masih belum pulih dari rasa terkejutnya.
Safira mencibir, punya anak laki satu kenapa minta dimasukkan lagi kedalam perutnya. "Mail Mama sebel sama kamu. Mama nunggu kamu udah hampir 1 setengah jam dan kamu di sini malah asik tidur. Ya Tuhan, ampuni hamba."
Mail mengerjapkan matanya. Dia memijit keningnya yang berdenyut mendengar ucapan Ibunya. Mail mengingat ada apa sebenarnya sampai akhirnya kejadian tadi berputar di kepalanya. Menghela napas, Mamanya ini tidak tahu situasi saja sudah tahu anaknya butuh istirahat, apakah tidak bisa di biarkan saja? Tumben sekali Mamanya datang ke apartemen tanpa memberikannya kabar. Mail tahu Mamanya ingin yang terbaik untuknya tapi dia tegaskan hidupnya belum siap untuk berkomitmen. Bahkan kedua kalinya jatuh cinta malah mendapat penolakan yang menggores hati. Huuuu ... dasar Mail alay! Iyaa lah dia nolak Lo, orang lo nyosor anak gadis orang bisik hatinya.