"Kenapa lagi sih? Lo nggak bosen apa terus ganggu hidup gua? Gua lagi seneng-seneng ini." ujar Mail kesal saat tahu siapa yang meneleponnya di pagi hari. Apa dia tidak tahu jika Mail paling benci waktu tidurnya di ganggu?
"Sorry, Mail."
"Terserah. Ada apa lo telepon gua?" Moodnya seketika terjun bebas.
"Gua masih dengan cerita yang sama. Minta tolong bawa Willo pergi dari sisi Jasmine."
"Ck! Lo pikir gua siapa? Gua bukan Ayah tuh anak, minta sama Bapaknya sana."
"Gimana gua mau minta sama Bapaknya. Bapaknya aja nggak percaya sama gua."
"Tinggal lo culik aja sih repot banget."
"Gua pernah culik Willo saat Jasmine tidur tapi dia kayanya emang punya radar kuat. Dia tau kalau gua culik Willo."
"Tuh cewek maunya apa sih, heran gua." Mail mendengus jengkel. Dia memang belum bisa melupakan sepenuhnya dengan cinta masa lalunya. Bagaimana ingin melupakan jika setiap bertemu dengan sahabatnya pasti mereka pun bertemu.
"Dia mau sama lo, Mail. Dia mau cerai sama Abang gua, lo tau kan kalau Abang gua cinta banget sama dia."
"Yah ngapain juga lo harus minta tolong sama gua coba. Sorry yah Li gua bukan Pembinor, calon istri gua juga lebih cantik dari dia. Jadi buat apa bantu yang lama, mending yang baru lebih seger keliatannya." Mail cengengesan saat melihat tubuh mungil yang ada di depannya sedang memasak dengan lincahnya.
Lian di sana terkejut mendengar ucapan dari sahabatnya, "Lo udah punya calon Istri?"
"Iyalah. Bagi gua kan gampang mau cari cewek yang kaya gimana juga."
Lian akan mengucapkan sesuatu namun ponselnya di rebut dengan kasar. Dia akan mengumpat namun kembali mengatupkan bibirnya saat melihat Jasmine menatap matanya dengan tajam.
"Maksud lo apa Mail udah punya calon Istri?" tanya Jasmine.
"Iya." jawab Lian singkat.
"Siapa dia? Mail nggak boleh sama perempuan lain, karena cuman gua wanita yang dia cintai." Lian menaiki salah satu alisnya. Terkadang dia slalu berpikir, apakah Kakaknya menikahi wanita gila? Sudah tau memiliki suami dan anak tapi kenapa masih berharap pada pria lain.
Kesal, pasti. Selama ini Lian diam bukan karena takut tapi dia tidak bisa berbuat apapun karena taruhannya di sini keponakannya. Jika dia melawan, Willo yang akan menjadi sasaran kemarahan Kakak iparnya ini. Lian memang benci dengan Jasmine, sudah tau dulu dia pacarnya Mail, terus untuk apa dia bercinta dengan Kakaknya? Pantas saja Mail kecewa, marah, benci, terkhianati karena jika dia ada di posisi Mail pun pasti akan merasa seperti itu.
"Balikin ponsel gua." ujar Lian akan merebut ponsel miliknya.
"Diam. Gua harus ngomong sama Mail." Lian memutar bola mata nya jengah.
"Hallo Mail?" Mail di ujung telepon sana mengerutkan alisnya. Suara ini? Dia berdecak. Tidak sahabat, tidak masa lalunya, kenapa semua orang menjengkelkan?
"Kenapa?"
"Aku mau ketemu kamu."
"Tapi gua nggak sudi ketemu lo."
"Mail, plis!"
"Sorry, Jas. Calon istri gua orangnya cemburuan dan posesif, dia pasti marah kalau gua ketemu sama masa lalu gua." Atha yang duduk di depan Mail menaiki salah satu alisnya. Dia sudah memasak menu keinginan Mail dan sekarang mereka tinggal makan.
"Mail, aku masih cinta sama kamu. Aku mohon kasih aku kesempatan buat bisa dampingi kamu."
"Lo gila, yah?Lo udah punya Willo sama Gian, gua nggak mungkin jadi perusak hubungan lo juga."
"Aku janji kalau kamu balik sama aku, aku bakal cerai sama Gian demi kamu."
"Kalau pun lo cerai sama Gian, Apa keadaan kita bakalan kaya dulu?" tanya Mail. Karena jika pun Jasmine bercerai dengan suaminya sekarang, semuanya tetap akan berbeda.
"Mail Kenapa kamu jahat?" Mail mendengar suara isak tangis di sebrang sana. Dia merasa kasihan. Jika dulu dia akan langsung pergi menemuinya tapi sekarang beda cerita.
Atha yang melihat Mail masih asik bertelepon akhirnya bangkit berdiri untuk pergi. Di banding diam menunggu orang yang entah membicarakan apa lebih baik pergi menjauh. Mail yang melihat Atha akan pergi meraih lengannya lalu menarik tubuh wanita itu duduk di pangkuannya.
"Mali! Apa-apaan sih, lo?" Atha memberontak meminta Mail melepaskan tapi pria itu malah memeluknya menempelkan pipinya di dadanya.
"Punya lo besar juga, yah." ujar Mail dengan mendusel-dusel pipinya.
"Mesum." jawab Atha dengan mendorong kepala Mail.
"Ini mah cukup buat gua sama anak-anak nanti."
"MALIII?!"
"Gua mau coba, boleh?" tanya Mail dengan mengigit kecil d**a Atha.
"Sinting." Mail cengengesan lalu memeluk pinggang ramping Atha dengan erat.
Jasmine mengepalkan tangan nya saat mendengar percakapan orang di ujung telepon sana. Dengan siapa Mail sekarang? Apakah benar perkataan Lian jika pria itu sudah memiliki calon istri? Jasmine menggelengkan kepala, Mail hanya untuknya dan kalau pun dia memiliki calon istri itu harus dia.
"Mail denger, yah. Nggak akan ada seorang pun yang bisa gantiin posisi aku di hati kamu. Liat aja, aku nggak akan tinggal diam buat lakuin sesuatu sama wanita sialan itu." Lian menggelengkan kepalanya.
Di banding mendengar ocehan yang menurutnya gila lebih baik dia mandi lalu beristirahat. Jika Jasmine menginginkan ponselnya, silakan ambil saja, dia masih punya beberapa ponsel di laci kamarnya.
Mail yang mendengar ucapan Jasmine terkekeh, "Harus yah lo urusin kehidupan gua? Lo pikir siapa?"
"Aku ini calon istri kamu dimasa depan." Dengan tingkat PD Jasmine mengucapkannya tanpa rasa malu.
"Sayangnya lo udah punya suami dan anak."
"Mail aku bisa ngasih apapun ke inginan kamu, asalkan kamu balik lagi jadi milik aku." Mail memutar bola matanya.
"Kita bahas nanti. Gua lagi sibuk bareng calon istri gua, bye." Mail mematikan panggilan itu secara sepihak. Melemparkan ponselnya di atas meja makan dengan kesal.
"Siapa sih sampe harus ngadu otot gitu?" tanya Atha. Jujur dari awal mendengar percakapan Mail dengan sang penelepon memang membuatnya kurang nyaman. Bukan. Bukan Atha cemburu. Terkesan mengekang dan obsesi.
"Mau tau?"
"Kalau boleh."
"Cium dulu dong."
"Nggak jadi." Atha mencoba bangkit dari pangkuan Mail.
"Kasih ciuman aja pelit."
"Ck! Bibir gua nggak suka di cium sama lo."
"Kenapa?"
"Tukang paksa." Mail tertawa mendengarnya lalu memeluk tubuh Atha dengan erat.
"Non?"
"Yah."
"Gua mau lo yang genggam hati gua seutuhnya. Gua mau lo yang ngisi kekosongan hati ini. Sekarang kita sudah resmi pacaran. Jadi buat gua jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya sampai gua nggak bisa bangkit dari rasa cinta itu. Gua percayakan cinta ini sama lo karena gua yakin lo wanita yang akan memegang satu prinsip dalam hidup lo. Jangan pernah khianati gua, karena setelah gua jatuh cinta semua yang gua punya milik lo." Atha mengerjapkan matanya.
Tuhan, kenapa setelah dia putus dari cinta masa lalunya yang bahkan tidak pernah mengatakan hal seromantis ini dia mendapatkan pria yang romantis seperti Mail.
Atha tidak tau harus mengatakan apa karena perkataan Mail seakan mengatakan jika dia membutuhkan suatu hal yang sempat hilang. Atha memang tidak tau bagaimana menjalin kasih dengan pria lain karena 10 tahun dengan Adit hanya pria itu yang ada untuknya. Sekarang ada pria yang memberikan hatinya untuk dia jaga? Bisakah? Mampukah? Atha hanya takut untuk menjalin kasih mengingat percintaan awalnya gagal.
Mereka pacaran karena memang Mail yang memaksa. Dia bingung dengan keadaan ini. Atha langsung tersentak saat mengingat bayangan Kemal yang menantinya. Bagaimana ini? Selama ini Kemal lah yang slalu ada di belakangnya setelah Adit. Tapi Atha tidak bisa memungkiri jika dia hanya menganggap pria itu adalah teman nya tidak lebih.
Mail yang melihat ke terdiaman Atha mengerti. Mungkin wanita ini masih bingung dengan keadaan yang telah terjadi. Dimana seorang pria yang menyerahkan hatinya untuk di jaga. Mail yakin seyakin-yakin nya jika Atha mampu menjaga hati nya. 10 tahun berpacaran tidaklah mudah, dari cerita wanita itu, mantan nya lah yang mengkhianati, itu artinya Mail simpulkan jika Atha wanita type setia.
Mail memang playboy yang slalu berkencan dengan banyak wanita namun jika hatinya sudah memilih, itu artinya tidak ada wanita lain karena dia mencari wanita yang bisa mencintainya, menyayangi dan tulus. Mungkin ini paksaan bagi Atha tapi Mail yakin dari keterpaksaan akan menjadi ketulusan.
Atha wanita dewasa, memiliki pemikiran luas, bahkan di saat orang lain memaki-maki mantan karena berkhianat, dia malah mendoakannya dengan santai. Berbeda dengannya, yang memilih berkubang di dalam dunia masa lalunya, kekanak-kanakan, mudah tersulut emosi dengan sifat tengilnya, pasti dia harus bisa mendapatkan sosok wanita yang pengertian. Bahkan disaat umurnya yang sudah memasuki usia 30 lebih Mail dengan sifatnya yang lama tak pernah berubah. Tapi Mail merasa bahagia dengan hidup yang sekarang dia jalin, apa adanya.
"Atha?"
"Y-yaa."
"Apa jawabannya?" Atha mengigit bibir bawahnya.
Semasa berpacaran dengan Adit saja banyak orang yang slalu menganggu hubungannya lalu bagaimana dengan Mail? Mail ini sosok Sultan loh, dari keluarga baik-baik dan terhormat. Masa pria itu mendapatkan pendamping sepertinya? Sungguh sangat mustahil.
"G-gua ...."
Mail harap-harap cemas karena sejak awal dia kenal Atha, hatinya merasa nyaman dengan wanita ini, "Gua harap jawabannya nggak mengecewakan."
Atha memandang mata Mail yang menatapnya penuh harapan, dia menghembuskan napasnya. Iya ini keputusannya, "Maaf."
Satu kata itu membuat Mail lemas. Mail mengerti, tidak seharusnya dia memaksa karena selama ini dia mengabaikan protes yang di layangkan oleh Atha. Tangannya melemas sampai rangkulan di pinggang Atha terlepas.
"Maaf karena mulai sekarang hati lo udah gua genggam, yang artinya milik gua sepenuhnya." Mail mengerjapkan matanya.
"L-lo ...." Atha memberikan senyumannya pada Mail.
Mail memekik kegirangan lalu memeluk Atha dengan erat mencium wajah wanita itu dengan brutal sampai terdengar kecupan-kecupan menggelikan.
"Itu artinya sekarang kita sah pacaran tanpa ada paksaan." Atha tersenyum geli melihat Mail yang tertawa bahagia.
Yah, Atha dengan sadar mengatakan itu semua, dia merasa jika ini sudah saatnya melupakan Adit.
Kemal gua minta maaf, mungkin ini bakal nyakiti lo tapi gua nggak bisa bohong sama perasaan gua sendiri kalau sama lo gua ngangap Lo cuman sebatas teman. Dan terima kasih banyak karena lo menjadi teman yang slalu ada di saat gua merasa nggak baik. Semoga lo mendapatkan wanita yang lebih baik dari gua.
???
"Mail, dimana Lo setan? Gua nunggu lo disini hampir 3 jam dan lo nggak dateng-dateng." Atha mengerjapkan matanya saat mendengar makian dari sebrang telpon. Dia menatap ponsel Mail yang masih tersambung dengan setengah nyawa.
"Lo denger gua nggak, hah? Lo lagi dimana, g****k?" Atha langsung bergidik ngeri saat makian itu kembali terdengar.
Atha menggoyangkan tubuh telanjang Mail untuk bangun. Sungguh Atha tidak kuat mendengar umpatan pria itu. Bisa saja dia memaki balik kalau memang orang itu masuk ke ponselnya. Masalahnya ini ponsel Mail yang terus berdering. Yang memiliki ponsel masih tidur dengan nyenyak bahkan mendengkur.
"Apa sih, Non? Udah tidur sini." Mail menarik tangan Atha lalu memeluk tubuh mungil itu dengan erat.
"Mali anjir gua tendang juga yah lo. Ini ada orang yang telepon lo." Atha mendorong tubuh Mail kesal.
"Siapa sih?" ujar Mail terganggu. Dia menguap dengan lebar, mengusap wajahnya.
"Mana gua tau." jawab Atha sebal. Mail merampas ponsel di genggamnya Atha lalu menempelkan nya di telinga.
"Hallo?"
"Hallo, hallo bandung. Lo, dimana setan?"
"Di rumah."
"Kampret. Mail Lo tahu, gua udah nunggu lo selama 3 jam dan lo sekarang enak-enakan tidur di rumah? Bener-bener sahabat biadab."
"Ini siapa?" tanya Mail masih dengan nyawa melayang, mulutnya terus menguap.
"b*****t. Ini Ronal, Mail, Ronal." Mail yang mendengar namun itu langsung membuka matanya panik.
"Sorry, gua ketiduran anjir."
"Cepetan kesini."
"Sabar gua baru bangun ini. Gua harus ngumpulin nyawa dulu."
"Bener yah?"
"Iya."
"Nggak usah lama-lama Lo anjir. Di kira nunggu Lo selama 3 jam nggak cape apa. Kalau nggak butuh duit, gua ogah nunggu Lo sampe sepagi ini. 30 menit nggak nyampe, gua Bom kantor Lo besok pagi." Setelah itu panggilan di putus sepihak.
Mail menatap Atha yang ada di pelukannya, menatap matanya dengan pandangan bingung. Mail terkekeh lalu mengecup ubun-ubun kekasihnya.
"Gua harus pergi, Non. Lo nggak apa-apa kan gua tinggal?" tanya Mail mengusap kepala Atha.
"Yah, nggak apa-apa. Gua kan udah biasa sendirian. Emangnya lo mau kemana?" tanya Atha terpaksa membuka matanya dengan lebar walaupun kantuk menguasainya.
"Ke suatu tempat."
"Oh ... oke." Atha melepaskan diri dari dekapan Mail. Atha menyadarkan tubuhnya di kepala ranjang di ikuti Mail yang menjatuhkan kepalanya di atas p******a Atha, memeluk tubuh mungil kekasihnya.
Mail mengecup p******a Atha yang ada di balik bajunya, "Sialan. Cari kesempatan lo."
Mail tertawa saat Atha menoyor kepalanya. Habisnya setiap melihat Atha, gairahnya slalu tersulut begitu saja. Jadi jangan risih jika dia berlaku seperti itu pada Kekasihnya.
"Udah sana. Katanya lo mau pergi." ujar Atha mendorong kepala Mail menjauh.
"Lo ikut aja kalau gitu. Gua nggak mau jauh dari lo."
"Nggak. Gua besok ngantor, gua masih butuh makan sama belanja."
"Gua yang tanggung semuanya."
"Nggak."
"Ayo dong, Non?"
"Sorry gua mau tidur." ujar Atha yang langsung mendorong kepala Mail sekali sentak. Secepatnya Atha kembali menaruh kepalanya di bantal, menarik selimut menutupi sampai lehernya.
Mail mendengus sebal, "Nggak penasaran emang gua mau pergi kemana?"
"Bodo amat."
"Kalau gua ONS sama cewek lain, gimana?"
"Nggak usah dateng kesini."
"Kan, lo nggak tau."
"Sepintar apapun kita berbohong suatu saat akan terbongkar juga, Tuhan maha Adil." Mail berdecak. Kekasih barunya ini menyebalkan sekali, apa Atha tidak tau jika Mail ingin dia ikut bersamanya.
Mail turun dari atas ranjang mungil milik Atha. Mengambil kaos yang dia lempar tadi. Jika saja tidak ada janjian dengan Ronal mungkin sekarang dia masih tertidur manja di pelukan kekasihnya. Preman sialan, harusnya Ronal mati saja supaya tidak menyusahkan nya. Apakah pria itu tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bahagia? Apakah pria itu hidupnya hanya tau berkelahi dan s*x bebas? Lihat saja Mail tidak segan nanti bila bertemu dia akan melepaskan tonjokan mautnya ke wajah Ronal.
Atha membalikkan badan, matanya memandang punggung lebar milik Mail yang bertatto. Atha menyipitkan matanya, jika di teliti tato itu memiliki sebuah arti kehidupan. Atha tidak mengerti untuk masalah ke indahan yang di ukir dalam bentuk tato. Sejujurnya Atha tidak terlalu menyukai pria yang memakai Tato tapi jika Mail bisa di bicarakan baik-baik lah.
Sebuah kecupan kuat di bibirnya membuat Atha tersadar. Mail mencium bibirnya dengan rakus sampai telinganya mendengar decak kan dari permainan mulut mereka.
"Berharap lo ikut tapi malah bikin gua kangen." ujar Mail yang ada di atas tubuhnya.
"Lebay banget sih Lo, Den." Atha mendorong d**a Mail untuk menjauh.
"Duh, Non, kalau gua nggak lebay nggak akan dapet jatah."
"Sialan!" Atha menarik rambut Mail membuat pria itu meringis kesakitan. Namun senyum di bibirnya tersungging lebar.
"Gua Sayang lo, Non." Kembali ciuman di berikan Mail pada bibir kekasih hatinya. Tidak peduli apa yang terjadi pada kehidupan mereka di depan nanti. Jalankan apa yang memang mereka rencanakan. Jika Tuhan tidak merestui, pasti Tuhan memiliki rencana lain.