Caca memutuskan untuk tidak pingsan dan tetap kuat. Ingin rasanya ia mengkuliti mas Erwin yang sudah menarik dirinya dalam situasi awkward seperti ini.
“Ehm, saya ga pa pa bu! Maaf !” kata Calista dengan canggung, ia merasakan tangannya di genggam oleh sebuah tangan yang besar yang membuat dirinya merasakan nyaman, dan ia tahu pelakunya pasti yang membuat masalah ini, ada yaitu mas Erwin itu sendiri.
“Mungkin Caca begini karena belum sarapan, tadi emang Erwin bawa dia kesini secepatnya, takut kalau mama dan papa nungguin. Kalau ga keberatan, Erwin mau bawa Caca ke resto di bawah, biar dia bisa mengisi perutnya dahulu.” Kata Erwin berusaha menarik Calista dari kekacauan yang dibuatnya dan memohon maaf sebesarnya karena menarik gadis itu dalam situasi yang tidak ia jelaskan sebelumnya.
“Eh iya bu, pak! Calista pamit dulu!” kata Calista sambil mencium tangan kedua orang tua Erwin.
“Ca, jangan panggil kamu ibu dan bapak, panggil kami dengan papa dan mama seperti Erwin memanggil kami, kamu mau kan?” tanya mama Ai dengan nada lembut.
“Eh iya, Ma, Pa, Calista pamit kebawah dulu. Cepat sembuh ya, Pa.” Kata Calista dengan tulus.
“Papa langsung sembuh melihat kebersamaan kalian. Mungkin besok papa sudah bisa ikut meeting gabungan untuk pengumuman penting di kantor.” Kata papa Arya dengan wajah sumringah, membuat Calista ta tega melihatnya. Ia sudah tak memiliki ayah, melihat papa Arya seperti ia melihat ayahnya sendiri, membuat ia ga rela melepas papa Arya dan mama Aivien, yang baik dan perhatian.
“Kalian harus segera pikirkan kapan akan menikah…”
Duenggg!!
Kepala Calista seperti ditimpa oleh batu besar, ia tambah pucat saja. Dia tidak tahu lagi bagaimana mengatasi semuanya ini, dan bagaimana alur cerita bisa begitu merubah hidupnya hanya dalam satu kedipan mata saja begini?
“Iya, ini kami akan segera bicarakan," sahut Erwin dengan nada tenang.
“Kalau bisa secepatnya ya, Win. Kira kira Sebulan cukup kan bikin pesta pernikahannya?” tanya papa Arya dengan nada mendesak.
“Ya kamu pakai EO saja, jadi kamu ga usah repot.” Lanjut mama Ai yang membuat kaki Calista lemas seketika, bayangkan sebulan lagi ia jadi istri orang, ia menoleh Erwin dan memberinya lirikan tajam, tapi Erwin bukannya takut, ia malah meringis salah tingkah.
“Papa lakukan ini supaya kamu ga usah berurusan lagi dengan Tania, win. Kamu kan tahu om Handoko ingin menjadikan kamu sebagai menantunya. Tania pun sedari dahulu sudah menyukai kamu, jadi dengan kamu menikah dengan Calista, papa harap ia tidak lagi menganggap kamu sebagai kekasih yang harus ia kejar, terus terang papa juga merasa risih.” Lanjut papa Arya dengan tegas.
“Sudahlah Win, bawa calon mantu mama makan dulu. Dia kayak orang mau pingsan deh. Kamu ini juga gitu, bawa anak orang kok ga dikasi makan lebih dahulu.”
“Jangan lupa kamu siapin waktu buat kita datang ke rumah Calista untuk melakukan acara lamaran.” Lanjut papa lagi, terus terang Calista sudah tidak sanggup lagi mendengar tentang apa yang sedang di perdebatkan oleh papa mama Erwin dan Erwinnya. Kejadian ini membuatnya menjadi shock.
Erwin pun ga akan menyangka kalau perkembangan urusannnya menjadi cepat dan kilat seperti ini. Soalnya biasanya papanya itu ribet dengan bibit bebet bobot calon istrinya, makanya ia menyetujui kalau Erwin sama Tania karena menurutnya itu calon mantu potensialnya.
“Iya pa, ma, nanti Erwin bakal urus semua acara. Kalau untuk nikahannya nanti Erwin pakai temen Erwin aja yang EO, sekarang Erwin mau ajak Calista makan sekaligus bahas tema nikahannya.” Kata Erwin yang langsung manarik tubuh lemas Calista tanpa pamit lagi dengan kedua orang tuanya, membuat Calista panik.
Tubuh lemas Caca ditarik Erwin … eh … tepatnya seperti di papah Erwin ke resto terdekat di lantai 1 rumah sakit tersebut.
“Sini masuk ke resto dulu, baru kita bicara lagi.” Kata Erwin sambil masih sigap menarik tubuh Calista yang lemas mendengar kata kata kedua orang tua Erwin tadi.
Erwin langsung memapah tubuh Calista sekeluarnya dari lift tadi, memasuki sebuah resto jepang yang bergaya tradisional, Erwin memilih private room karena di resto Jepang, setiap meja nya tersekat sekat, agar ia bisa berbicara dengan lebih pribadi dengan Calista.
Ia tahu kalau ini saat nya ia membuka seluruh rahasianya kepada gadis ini, karena gadis inilah yang akan membantunya untuk membuat satu alur drama baru, atau malah gadis ini yang akan membuat cerita baru mengisi lembar kehidupannya yang kosong tanpa warna.
“Duduklah.” Perintahnya kepada Calista yang masih manyun, entah kenapa Calista kesal dengan deretan wanita di sekeliling Erwin tadi, padahal sudah tua juga tapi kok ya masih banyak yang naksir. Eh maksudnya ia kesal kok jadi ia harus jadi istri Erwin, padahal Erwin banyak yang naksir?
“Hem!” kata Calista dengan sedikit ketus, tanpa kode dari Calista. Erwin sudah tahu kalau gadis ini marah dengannya, ini emang salahnya karena ia belum cerita sama Caca tapi ia sudah mengajaknya masuk ke dalam keruwetan.
”Maaf!” kata Erwin straight to the point, membuat Calista menoleh dan menatap Erwin dengan tatapan polosnya, mata bulat yang indah sekaligus menggemaskan, bagi Erwin, yang sepertinya jatuh cinta pada saat pertama dengan Calista yang lucu, imut dan pemberani itu..
“Sadar?” tanya Calista dengan merajuk tapi mungkin bagi Erwin ini nada manja, dan ia suka mendengarnya. Erwin hanya mengangguk dan melanjutkan perkataanya.
“Sebelumnya kamu pesen dulu makanannya, ga enak kalau kita duduk disini tapi ga makan apa apa.” Kata Erwin sambil menuliskan pesanannya, maklum saja ia sering menunggu disini, jadi ia sudah tahu dengan pesanannya, tapi bagi Calista ini tempat yang asing, sedang ia malas mau bertanya karena ia masih kesal dengan apa yang dilakukan Erwin, jadi ia menyamakan pesanannya dengan Erwin tanpa bertanya lebih lanjut. Karena baginya yang terpenting ia mendapatkan kejelasan dari Erwin mengenai pernikahan kilatnya tadi.
Calista berdiam menunggu Erwin mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menceritakan kembali apa yang terjadi.
“Jadi sebenernya saya sudah pernah menikah, dengan seorang wanita yang bernama Alvina Handojo, hanya beda setahun lebih muda dariku. Pernikahan kami sudah membuahkan janin di perutnya, usianya waktu itu sudah 5 jalan 6 bulan. Mungkin itu adalah masa terbahagia kami. Tapi rasanya Tuhan tidak menghendaki kebahagiaan kami, karena Vina harus meninggal karena kecelakaan tunggal yang merengut nyawanya sekaligus nyawa buah hati kami. Dan kejadian itu sudah 4 tahun yang lalu, tapi aku masih trauma dengan apa yang terjadi sehingga aku tidak mau menikah lagi selepas apa yang terjadi, itulah sebabnya papa memaksa aku untuk menikah dengan Tania, anak sahabat papa. Aku yang ga mau, awalnya lebih memilih untuk mengelabui mereka dengan membawa calon istri yang lain, yaitu kamu.” Kata Erwin sambil menahan nafasnya, perubahan ekspresi Calista membuatnya takut untuk melanjutkan perkataannya.
“Jadi mas memanfaatkan saya?Dengan berpura pura suka dengan saya? Jadi semuanya palsu kan?” tanya Calista dengan datar.
"Bukan begitu, saya enggak pura pura, saya nyaman sama kamu." pungkas Erwin cepat.
Tapi Caca terlanjur perih hatinya karena ucapan Erwin tadi.
Ingin rasanya ia menangis dengan kenyataan ini, kebaikan hatinya emang sering sekali di manfaatkan oleh orang orang seperti Erwin dan yang membuat dirinya sakit adalah, entah kenapa perasaannya kayak ga rela. Calista kesal, ia marah dengan dirinya sendiri yang dengan mudahnya iba dan memiliki perasaan lebih.
“Maaf! Tapi itu awalnya..”
“Jangan diteruskan, mas! Saya ga bisa membohongi mereka.” Perkataan Calista bagaikan petir di siang bolong.
“Saya ga minta kamu untuk balik mencintai saya, sekarang. Saya sadar ini terlalu cepat, tapi saya mohon pertimbangannya, saya sudah sering mengecewakan mereka terutama mama saya. Saya akan berusaha untuk membahagiakan mereka apapun konsekwensinya. Lagian saya nyaman sama kamu.”
“Lalu kenapa mas Erwin tidak berusaha mencintai Tania saja, bukannya Tania itu katanya mencintai mas Erwin?”
“Dia memang mencintai saya dan harta keluarga saya tapi dia tidak mencintai keluarga saya.” Kata Erwin dengan datar.
“Bagaimana mas bisa tahu kalau saya bakal mencintai keluarga mas?” tanya Calista dengan nada sarkas.
“Karena saya tahu kalau kamu itu orang yang baik.” katanya sambil tersenyum tulus.
Hah? Jawaban macam apa itu?
.
.
.
TBC