"Ayo mas!! Emang kita mau disini terus? Katanya mau nengok papanya mas Erwin?" decak Calista melihat Erwin hanya terdiam dan tidak bergerak.
"Eh ya.. iya, maaf!"
"Malah melamun!"
"Iya maaf, katanya suruh diam." sindir Erwin lagi.
"Maaf aku bukannya sok menggurui, tapi ini kan dirumah sakit masa kamu ketawanya kayak mbak kunti gitu." kata Calista dengan entengnya.
" Emang kalau ngomong sama kamu ga akan pernah menang! Bisa aja kamu jawabnya." keluh Erwin dengan kesal.
"Jadi pak Arya sakit apa?"
"Gak tahu! Sakit karena sudah tua kali!" sahut Erwin enteng.
"Ish, durhaka loh!" Caca terkejut Erwin mengatakan hal ini dengan santai.
"Nanti kamu juga akan tahu, apa yang menjadi sumber penyakit pak Arya, CEO mu itu."
"Ha ha ha ga usah lebay, eh tapi aku ga bawa apa apa, ga enak juga ya, apa aku harus keluar dulu buat beli buah?" tanya Calista polos.
"Ga usah, kalau cuman buah kayak gitu, di dalam juga sudah banyak, sampai kayak mau jualan buah!" kata Erwin dengan tegas menolak mengantar Calista keluar lagi untuk membeli buah.
"La emang ga apa kalau kita ga bawa apa apa?" tanya Calista lagi.
"Enggaaa!! Udah ayo cepat, kita ditunggu sama mama!!"
"Eh mama kamu ga galak kan? Aku ga enak kalau .."
"Caca!! Ssssttttt, diam! di dalam runah sakit harus tenang." kata Erwin membalikan perkataan Calista.
Akhirnya Calista hanya bisa terdiam mengikuti langkah Erwin yang melangkah dengan mantap di depannya.
Tiba mereka di sebuah kamar rawat inap kelas VVIP, letaknya di lantai paling atas bangunan Runah Sakit kelas eksklusif itu.
"Ma?" Erwin masuk ke dalam kamar itu tanpa mengetuk.
"Eh kamu sudah datang nak?" sapa mamanya yang masih mengurus papanya yang terbaring di atas brankar tempat tidur. Mamanya memandang gadis manis yang mengikuti langkah anak sulungnya itu. Cantik dan anggun. Padahal minimalis banget riasannya.
Erwin mencium tangan papa mamanya dan menarik Calista yang malu malu, serta berbisik lirih kepada Caca sehingga hanya bisa didengar oleh wanita muda itu saja.
"Ingat cukup bilang ya!" bisiknya lirih.
Calista hanya mengangguk kecil supaya apa yang ia bicarakan dengan Erwin tidak terdengar oleh para senior.
"Kamu, Calista kan?" tanya pak Arya sambil mengingat ingat siapa gadis yang dibawa oleh anaknya, karena ia tampak familiar.
Mama yang keheranan hanya menatap suaminya yang masih memandang gadis manis yang dibawa oleh anak sulungnya itu.
"Iya pak!" sahut Calista dengan nada malu malu.
"Papa kok tahu?" tanya mama curiga.
"Kamu ingat ga, ma? Beberapa tahun yang lalu pas papa cerita pas kerampokan?" tanya papa sambil menatap Calista dengan tatapan kagum
"Iya! apa hubungannya?" tanya mama dengan heran.
"Ya nak Calista inilah yang menolong papa. Trus papa angkat dia jadi staf di kantor. Kemudian beberapa tahun kemudian setelah ia mahir, ia di mutasi ke kantor cabang dengan status naik jabatan. Lha sekarang dia yang gantiin posisi Erwin di kantor pusat sebagai kepala HRD yang baru." jelas papa Arya pada mama Ai, membuat mama Ai menjadi kagum berat, bayangkan badan sekecil Calista, tapi ia bisa menolong suaminya dari perampokan. Tentu sangat luar biasa.
"Wah kamu keren banget, nak!" puji mama Ai dengan tatapan kagum yang sama yang diberikan sama pak Arya.
"Aduh, pak Arya dan ibu bisa saja." kata Calista malu malu.
"Yah gitu deh, gak ada yang inget sama anaknya sendiri kalau sudah gini." gerutu Erwin, ia yang berdiri di belakang tubuh Calista merasa dicuekin oleh kedua orang tuanya.
"Ya ampun anak mama, emang umur kamu tu berapa? Kan kamu juga sudah tua! 36 tahun.."
"Ma, bisa gak kalau ga nyangkut nyangkut sama umur?" tanya Erwin dengan nada ketus, ia kan jatuh pencitraan dihadapan Calista, kelihatan banget kalau usianya udah .. ehm senior banget dibanding dengan Calista.
"Oh, malu sama umur? Kalau malu tuh makanya nikah." sergah mamanya dengan nada yang sama.
"Makanya Erwin bawa calon." kata Erwin sambil melirik Calista dari ekor matanya.
"Mana calonnya? Ini? Kalau Calista, mama langsung YES!!" teriak mama dengan nada antusias.
"Papa juga YES! " sambar papanya dengan suara keras.
"Apa??" teriak Calista kemudian. Ia benar benar terkejut dengan respon Pak Arya dan istrinya itu. Matanya membulat. Erwin yang posisi tubuhnya ada dibelakang Calista langsung mengkode Calista agar melakukan apa yang sudah ia janjikan di awal tadi.
Tapi terus terang saja, tubuh Caca membeku karena dia shock!
“Sssh, mengangguk saja!” bisik Erwwin lirih dengan suara perut, bibirnya hanya membuka dikit. Tapi Calista masih bisa mendengar apa yang dikatakan oleh mas Erwinnya itu. Ia mendesah dengan kebodohannya, mestinya ia nanya bantuan apa yang ia harus berikan. Tapi ia dengan sukarelanya bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, menurut aja apa yang dikatakan oleh mas Erwin.
Lalu dengan terpaksa ia hanya mengangguk dengan ga rela, mengiyakan kalau ia adalah calon Erwin yang dimaksudkan oleh Erwin kepada kedua orang tuanya. Calista merasa gak memiliki chemistry rasa apa apa kepada mas Erwin, ia hanya sekedar ingin membantu dan menanggapi sebatas teman, karena masih banyak yang harus ia pikirkan, salah satunya adalah mami dan pendidikan adik laki lakinya.
“Oh my God, Erwin anakku. Mama senang banget dengan calon mantu yang kamu bawa ini.” Kata mamanya dengan gaya yang lebay membuat Erwin mencebik kesal sambil memutar bola matanya melihat acting mamanya yang berlebihan, lain hal nya dengan Calista yang tiba tiba terserang rasa berdosa karena melihat kesungguhan rasa bahagia yang terpancar dari wajah papa dan mama Erwin.
Ia merasa berdosa karena sudah membohongi mereka. Ia melirik Erwin dengan raut kesal, ia ga tega berbohong sama pak Arya.
Sedang Erwin yang dilirik oleh Calista hanya tenang tenang saja, ia hanya mengkode Calista untuk diam dan ia akan menjelaskan semuanya nanti.
“Win, papa senang dengan pilihan kamu.” Kata Arya dengan tulus.
“Papa ga marah, karena ini bukan Tania anak sahabat papa itu.” Tanya Erwin dengan nada sarkas, sedangkan Calista melotot kaget, termyata ada motivasi dibalik sandiwara ini.
Mestinya aku bisa menebak, gak mungkin Erwin serta merta mengikut sertakan dirinya dalam sandiwara ini kalau ini adalah cinta, tentunya ini pasti akal akalan Erwin karena menganggap dirinya adalah orang yang gampang dimanfaatkan, dalam hati Calista marah karena merasa dipermainkan.
“Kamu salah sangka nak, papa tidak memaksa kamu menikah dengan Tania, yang bener adalah Tania yang mengejar ngejar kamu, karena kamu belum move on, papa pikir ga ada salahnya kalau Tania menggantikan Vina.” Jelas papa dengan nada lembut, gak biasa biasanya dia berbada seoerti itu, tapi Erwin sadar kalau selama ini ia sering salah sangka dengan papanya itu, sedang mama hanya menatap mereka berdua dengan tatapan sayang.
Vina? Haduh siapa lagi itu? Pikir Calista dalam hati, sebenarnya ia masa bodo dengan apa yang terjadi, tapi entah kenapa perasaannya sekarang ga terima saat menyangkut masalah wanita wanita yang ada di seputaran kehidupan mas Erwin.
Awas aja kalau mas Erwin ga cerita tentang apa yang terjadi. Calista saat ini terlanda penyakit kesal, bête dan marah, bercampur menjadi satu. Tapi ia berusaha untuk manampilkan wajah biasa biasa saja, tapi namanya ia juga ga pernah boong, membuat wajahnya saat ini sudah seperti orang yang nahan sakit perut, pucat dan datar.
“Calista kamu ga papa?” tanya mama Ai dengan tampang cemas, karena rupanya mama dari tadi memanggil nama Calista tapi Calista hanya diam dan menatap lurus dengan tatapan kosong, membuat mama cemas karena wajah Calista pun tampak pucat, kayak hampir pingsan.
Erwin yang ada di belakang tubuh Calista ga melihat perubahan ekspresi Calista itu, sehingga ia ga bisa komen apa apa, tapi saat mamanya bilang seperti itu Erwin mulai sadar kalau Calista terkejut parah karena ia manfaatkan untuk mengelabui papa mamanya, dan ia harus melakukan sesuatu kalau dia gak mau calon istrinya itu pingsan di tempat.
.
.
.
TBC