“Nad, lo masih hidup kan?” Tanya Hasan, lelaki itu menoleh ke arah samping dimana Nadia berada.
Wanita itu lebih mirip tikus terkepung, wajahnya pucat, bahkan nyaris tidak mengangkat wajah dan lebih memilih menunduk, menyibukan diri dengan iPadnya. Padahal sejak tadi Nadia tidak melakukan apapun, selain menggeser-geser layar iPadnya.
“Gue harap lo masih punya muka, saat sesi perkenalan nanti.”
Nadia mengangkat sedikit kepalanya, aneh sekali hari ini ia merasa kepalanya begitu berat, berbeda dari biasanya saat ia berani menatap lurus kedepan dengan tatapan percaya diri. Kali ini nyalinya benar-benar ciut.
“Bisa nggak sih gue pura-pura pingsan aja atau sakit perut?” Keluhnya.
“Jujur aja gue nggak sanggup dengan situasi kayak gini.” Keluhnya.
“Udah, santai aja. Pak Arik juga santai aja dari tadi, bahkan kayaknya dia nggak nganggap lo ada.”
Hasan benar, meeting kali ini berjalan baik, tadinya Nadia sempat mengira lelaki itu akan memakainya atau mungkin melontarkan Kata-kata kasar padanya, mengingat kejadian malam itu dimana Arik jelas terlihat kesal usai mendengar voice note dari ponsel Nadia. Tapi luar biasanya lelaki itu tidak menunjukan reaksi apapun yang bersifat lebay. Dia justru terlihat tenang dan berkharisma.
Kekhawatiran Nadia sepertinya terlalu berlebihan, Pak Arik datar saja bahkan saat keduanya saling berjabatan.
“Baiklah, di momen kali saya ingin memperkenalkan seseorang pada kalian. Beliau adalah putra bungsu Pak Albert, yang juga akan menjadi pemimpin baru di kantor kita. Mari kita sambut dengan meriah Pak Arik Dirgantara.”
Lelaki itu beranjak dari tempat duduknya, lantas memperkenalkan diri. “Selamat siang semuanya, saya Arik Dirgantara.” Perkenalan yang sangat singkat. “Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik.” Lanjutnya.
Nadia dan beberapa orang lainnya bertepuk tangan menyambut hangat perkenalan Arik. Mungkin di tempat itu hanya Nadia yang tidak terlihat senang melihatnya, berbanding terbalik dengan rekannya yang lain terutama Sarah. Divisi iklan dimana perwakilannya adalah Rizki atau Riski dan juga Sarah.
Wanita itu memasang wajah seanggun mungkin, senyum palsu yang terlihat menjijikkan terpampang jelas di wajahnya. Nadia sering dibuat heran oleh wanita itu, bagaimana bisa ia tidak mengetahui ukuran tubuhnya sendiri sebab Sarah sering kali memakai pakaian yang terlihat kecil di tubuhnya. Atau mungkin memang sengaja?
“Pak Arik, perkenalkan ini adalah beberapa orang perwakilan dari beberapa divisi. Sarah dan Rizki dari divisi iklan,”
Suara Pak Dion mengalun merdu, mengalirkan sedikit kesegaran pada situasi yang tidak nyaman untuk Nadia. Ia pun akhirnya tau lelaki dari divisi iklan itu bernama Rizki bukak Riski. Oke mari kita lupakan ejaan nama lelaki yang wajahnya mirip Riki harun itu.
“Dari divisi perencanaan ada Dimas dan Okin.” Pak Dion menyebut perwakilan setiap divisi yang berjumlah sepuluh orang, total dari lima divisi. Kini giliran Nadia dan Hasan, pak Dion menatap ke arahnya dengan senyum mautnya.
“Dari divisi desain ada Hansan dan Nadia.”
Saat namanya disebut, Nadia hanya menganggukkan kepalanya saja dan tersenyum singkat.
Meeting selesai sekitar pukul tiga sore, satu jam sebelum jam pulang kantor. Sayangnya Nadia dan Hasan lagi-lagi tidak bisa pulang lebih awal, kemungkinannya satu minggu kedepan mereka akan menghabiskan waktu lebih banyak di kantor. Bukan hanya divisi desain yang akan menghabiskan banyak waktu di kantor, tapi juga beberapa divisi lainnya yang diberikan tanggung jawab untuk proyek baru kali ini.
Sebelum kembali beraktivitas Nadia dan Hasan berencana untuk mengisi perut terlebih dahulu. Makanan yang dibelikan Mila sudah terlanjur berada di lambung Hasan, ia tidak mungkin membelah perut lelaki itu dan mengeluarkannya. Keduanya sepakat untuk mencari makan di luar gedung kantor. Menu di kantin sudah tidak semenarik saat jam makan siang, biasanya hanya tinggal menu sisa saja.
“Makan apa, Nad?” Tanya Hasan saat keduanya masuk ke dalam lift.
“Nasi goreng gila. Gue butuh sesuatu yang gila untuk menormalkan kembali otak gue.”
Hasan terkekeh.
“Lo memang butuh sesuatu yang membuat lo semakin gila, Nad. Setelah lo ngatain bos sendiri boti.”
Nadia menoleh dengan tatapan tajam. “Lo dan si Mila emang sialan! Untung aja tuh Bos nggak nyabut nyawa gue di ruang meeting tadi. Gue masih di kasih kesempatan hidup setidaknya sampai cicilan mobil si kamprett selesai.”
“Lo masih bayar cicilan mobil si Nendra?”
“Hooh.”
“Lo nggak ambil tuh mobil? Sayang tau, lo yang bayar tapi dia yang pakai.”
“Gue beli atas nama dia.”
“Hebat Nad, lo emang udah bodoh tingkat akut.”
“Udah ah, jangan bagas si kamprett itu lagi.” Nadia tidak ingin kembali membebani pikirannya dengan fakta diman Nendra masih menggunakan mobil itu. Mobil yang sampai saat ini masih dicicil olehnya setiap bulan.
“Ada baiknya juga gue kebagian proyek ini, artinya saat proyek ini berhasil gue bakal punya uang tambahan untuk bayar biaya operasi plastik. Gue bosen punya wajah kayak gini.”
“Otak lo yang mesti di ganti, Nad. Bukan wajah!” Hasan kembali tertawa sebelum tawanya tertentu saat pintu lift terbuka.
Arik tiba-tiba muncul dan masuk, bergabung bersama mereka. Nadia buru-buru menggeser tubuhnya, menjaga jarak dengan lelaki itu. Nadia tidak berani menoleh ke arah lelaki itu, ia bergegas menarik Hasan untuk menjadi tameng dan bersembunyi di belakang tubuh lelaki itu. Mereka hanya bertiga di dalam lift itu, Orang-orang masih berada di kubikel masing-masing dan merencanakan sesuatu sepulang kerja.
“Lo nggak mau minta maaf, setidaknya lo harus mengakui kesalahan lo agar bonus lo nanti nggak kena potong akibat sudah menghina bos.” Hasan berisik tepat di dekat telinga Nadia.
“Nggak!”
“Setidaknya lo harus main aman, Nad.”
Nadia mencubit pinggang hasan hingga lelaki itu meringis kesakitan. “Sakit, tau!” Keluhnya.
“Lo jadi makin beringas sih akhir-akhir ini, Nad. Itu pengaruh udah lama nggak ML. ONS sambil nunggu pacar baru datang bisa jadi solusi untuk mengurangi tantrum lo, Nad.”
“Sialan! Gue nggak butuh itu!”
Nadia kembali memukul kepala Hasan.
“Atau mau quickie bareng gue? Gue menerimanya dengan senang hati.”
Nadia menatap Hasan kesal. “Maaf ya, gue nggak mau ngamar sama temen sendiri kesannya gue putus asa banget dan nggak laku.”
Lift berhenti dan percakapan absurd keduanya berakhir. Nadia buru-buru keluar mendahului, ia harus bergegas meninggalkan lift lebih tepatnya untuk menghindari Arik.
“Kalian mau makna dimana?” Arik tiba-tiba keluar dengan langkah cepat mengejar Nadia.
“Apa, maaf kami,”
“Saya dengar kalian mau cari makan sebelum lembur. Kebetulan saya juga belum makan siang dan saya nggak tahu lokasi restoran di kantor ini”
“Boleh, Pak. Kebetulan kami mau makan di restoran depan.” Hasan sialan, kenapa ia harus mengikut sertakan bos baru itu.
“Aduh,” Hasan kembali mengaduh kesakitan saat Nadia dengan keras mencubit pinggangnya.
“Ayo, kita makan bersama. Waktunya masih tersisa tiga puluh menit lagi,” Ajak Arik.
Nadia tidak punya pilihan, selain mengikuti lelaki itu dari belakang.
“Saya baru tahu selain sok tau, kamu juga galak, kasar dan mesumm.” Ucap Arik yang membuat Nadia menoleh ke arahnya.