Pak Arik, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Pak Dion. Meski memiliki paras yang sama-sama tampan, rupanya mereka memiliki kepribadian yang sangat jauh berbeda. Wajah Arik masih unggul, tampan, sexy dan jangan lupa suaranya lebih enak di dengar. Arik jauh segala-galanya dari Pak Dion. Tapi bukan hanya itu saja, Arik pun ternyata memiliki kelebihan-kelebihan lainnya, salah satunya dia jauh lebih arogan dan sok pintar.
Untuk pertama kalinya Nadia merasa begitu kesal pada sosok lelaki yang kini berada di hadapannya. Raut tidak puas terlihat jelas, saat ia membolak-balik rancangan iklan yang dibuat Nadia dan Hasan.
Hal serupa kerap terjadi, tidak selalu pekerjaannya dianggap maksimal tanpa revisi, hanya saja Arik sedikit berlebihan saat mengutarakan ketidaksukaannya, bahkan Nadia langsung tahu pekerjaannya tidak sesuai keinginan Arik sebelum lelaki itu membuka mulutnya.
“Saya nggak suka ide ini,” Arik menjatuhkan kertas itu hingga sedikit tidak beraturan ke tengah meja. “Kamu masih punya rencana cadangan, kan?” Lanjutnya.
Nadia menghela lemah, “Belum ada, Pak. Saya baru ketemu klien kemarin sore dan semalam saya,”
Kemarin Nadia dan Hasan bertemu klien tanpa Arik, malam harinya mereka berdua berusaha mengerjakan iklan tersebut secepat mungkin.
Memang terkesan sangat mendadak dan terburu-buru tapi Nadia dan Hasan benar-benar memeras otaknya untuk iklan yang dianggap tidak layak oleh Arik.
“Belum ada? Seharusnya kamu membuat dua rancangan iklan sekaligus, satu untuk presentasi dan satunya lagi untuk cadangan. Hal seperti ini saja tidak tahu, saya pikir kamu cukup kompeten mengingat Dion selalu mmebanggakanmu dan menganggapmu sebagai salah satu karyawan terbaik di divisi iklan.”
Luar biasa sekali lelaki penyuka sesama jenis di hadapannya ini, setidaknya sampai saat ini Nadia masih beranggapan Arik penyuka sesama jenis.
Tiba-tiba saja Nadia merindukan sosok Pak Albert Dirgantara, yang tidak lain adalah ayah dari lelaki arogan itu. Mereka seperti memiliki dia kepribadian yang sangat jauh berbeda, dimana Pak Albert jauh lebih baik dari lelaki itu. Minusnya, Pak Albert sedikit lemot dan kerap menunda-nunda hal penting, tapi itu jauh lebih baik ketimbang Arik. Nadia pun kini dihantui rasa bersalah sebab kerap mendoakan Pak Albert untuk segera pensiun dengan harapan penggantinya jauh lebih cepat dalam segala hal tapi ternyata Arik justru lebih cepat dan lebih menyebalkan. Ingin rasanya Nadia kembali memboyong Albert Dirgantara kembali menduduki jabatannya dan menendang lelaki tengil itu kembali ke asalnya.
“Pikirkan ide lain, saya tidak mau ide sampah seperti ini!”
“Baik, Pak. Saya akan memikirkan ide lain.” Nadia tetap memasang senyum di wajahnya, setidaknya ia harus tetap menghormati bosnya. Nadia memunguti kertas yang sempat di lempar Arik, ia berusaha untuk tidak menggulung kertas tersebut dan memukulkannya ke kepala lelaki itu. Nadia akan kehilangan sumber mata pencahariannya jika hal tersebut terjadi dan bisa dipastikan ia tidak akan sanggup membayar cicilan mobil yang kini tengah dinikmati oleh Nendra. Lelaki k*****t itu tidak kunjung membalikan mobil yang sempat Nadia berikan sebagai kado ulang tahunnya beberapa waktu lalu, sampai akhirnya Nendra memilih untuk berpisah dan lelaki kurang ajar itu menikahi Sinta, temannya.
“Kamu memang harus, saya tidak mau membawa ide seperti itu pada klien. Mereka akan sangat kecewa dengan hasil kerjamu itu,” Arik berdecak, yang membuat kekesalan Naida kian meninggi.
“Kamu boleh keluar, besok kembali ke ruangan saya dan bawa dua ise sekaligus atau tiga lebih baik.” Ucapnya seolah hal tersebut mudah dibuat layaknya membuat bakwan atau tempe goreng, celup-celup jadi.
“Baik, Pak. Permisi.”
Memang sebaiknya segera menghindar, berlama-lama dekat dengan lelaki itu bisa membuat Nadia terkena serangan stroke mendadak.
Nadia membanting kertas yang dibawanya dari ruangan Arik, lengkap dengan umpatan yang membuat Hasan dan Mila terlonjak kaget.
“Lo kenapa, Nad?” Selidik Hasan, dimana jarak kubikel lelaki itu lebih dekat dengannya dibanding Mila.
“Dia bilang apa?” Dari raut wajah dan umpatan yang keluar dari bibir Nadia, Hasan pun mengerti wanita itu pasti kena komplain habis-habisan. Hasan dan Tanto pernah sedikit bercerita mengenai sosok pemimpin baru pengganti pak Albert, yang mengatakan ia jauh lebih kritis dan jeli. Hal tersebut benar-benar adanya, yang semula tidak diyakini Nadia.
“Lelaki sinting!” Umpatnya.
“Dia bilang apa?” Hasan kembali bertanya. Nadia mengambil kertas-kertas di atas meja kerjanya, mengumpulkannya menjadi satu lantas memberikannya pada Hasan. “Dia bilang kerjaan kita kayak sampah!” Nadia tersenyum getir. “Gila aja, seumur-umur kerjaan gue belum pernah dikatain sampah! Bahkan oleh klien sekalipun.”
Hasan merapikan kertas-kertas, memperhatikannya dengan seksama.
“Lebih parahnya lagi dia minta gue bawa dua iklan sekaligus, salah satunya sebagai cadangan. Dia kira gue ini apa? Robot!” Kesalnya.
“Gue lembur sampai tengah malam buat bikin ini dan seenaknya aja dia nyebut kerjaan gue sampah!” Lanjutnya.
“Separuh lebih waktu gue dihabiskan untuk bekerja di kantor ini yang mungkin lelaki itu lagi kelonan sama pasangan boti nya. Atau mungkin semalam dia nggak ketemu kekasihnya itu sampai-sampai tantrum dan gue jadi sasaran kekesalannya.”
“Kalau gitu, sebaiknya Lo balik lagi ke ruangannya coba Lo tanya apakah semalam dia mencapai kepuasannya atau nggak dan kalau nggak Lo bisa menawarkan diri, Nad. Siapa tahu tu Bos insap, dan nggak suka batang lagi mengingat Lo kan ahli di ranjang.” Tiba-tiba suara Tanto terdengar yang membuat tensi kemarahan Nadia kian memuncak.
“Bener tuh, Nad.” Mila pun ikut nimbrung.
“Gue penasaran apakah dia masih doyan apem atau emang udah mau sosis aja.” Balasnya dengan senyum jahil.
Nadia mendelik, menatap dua temannya yang benar-benar tidak mengerti situasi dan kondisi yang dirasakan Nadia saat ini. Gelarnya sebagai salah satu karyawan terbaik justru seperti kain keset, diinjak-injak oleh Arik. Harga dirinya meradang.
Banyak yang mengatakan seseorang yang berzodiak scorpio memiliki ambisi yang tinggi dan pendendam. Nadia tidak percaya ramalan, apalagi setelah seorang peramal kartu yang ditemuinya di sebuah pasar malam mengatakan bahwa ia dan Nendra akan menikah. Faktanya Nendra memang menikah tapi tidak dengannya, melainkan bersama wanita lain. Tapi ambisi dan pendendam patut Nadia akui kedua sifat itu ada dalam dirinya. Ketika seseorang menyenggol egonya, sengaja ataupun tidak, Nadia akan terus mengingatnya. Lalu mencari celah untuk membalasnya. Untungnya tidak terlalu banyak orang yang berhasil menyenggol egonya, selama ini baru dua orang yang berhasil melakukan itu yakni Sinta dan Nendra. Kedua pengkhianat itu memang belum mendapatkan balasan dari Nadia, tapi selama ini ia kerap memikirkan bagaimana caranya untuk membalas dendam tanpa terkesan seperti orang gagal move on.