“Ini apa?” Ekspresi Juna jadi terkejut dengan tatapan sedih, dalam sekejap saja. Karena detik berikutnya, dia malah tertawa. “Kasihan sekali pacarku ini. Mencari pembunuhnya ke sana-kemari, tidak sadar sudah selalu di dekatnya.” Aku menjatuhkan pisau karena tangan gemetar, lalu terduduk lemas. Air mataku mengalir, seirama jantung yang berdetak cepat. “Bohong!” Aku kembali mengingat semua tentang Juna sejak awal sadar dari koma panjang. Dia orang terakhir yang dihubungi Reno. Keyakinannya tentang adanya kamus lain. Fisiknya yang mirip si pembunuh. Parfum aroma cokelat. Keberadaannya di rumah sakit saat kematian Pak Davin. Ketidakjelasan keberadaannya malam itu. “Di mana kau malam itu?” Juna berhenti melangkah, lalu menyeringai. “Menemui Reno.” Aku tidak bisa mencerna dengan baik sekel