London kembali menyambut Elvano dengan udara khasnya—dingin, basah, dan beraroma kopi dari kedai-kedai yang berjajar di sepanjang jalan.
Mobil hitam dengan kaca gelap itu memasuki halaman luas mansion milik Giovano Moretti, ayahnya. Bangunan tua bergaya Victoria itu berdiri megah, memancarkan aura aristokrat yang dipadukan dengan kejayaan bisnis keluarga Moretti yang tak pernah redup.
Gerimis tipis membasahi halaman depan. Lampu-lampu pijar berlapis emas memantulkan sinar hangat, kontras dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Pagi itu, kabut tipis masih menggantung, menyelubungi pepohonan rapi yang berbaris di sisi jalan masuk.
Begitu turun dari mobil, Elvano mendongak menatap langit abu-abu.
“Back to London,” gumamnya pelan, seolah menegaskan pada dirinya sendiri bahwa kini ia sudah kembali ke markas besar keluarganya.
Seorang kepala pelayan menyambutnya dengan penuh hormat.
“Welcome home, Signor Demian,” ucapnya sambil menunduk.
Elvano hanya mengangguk singkat, langkahnya teratur menuju ruang kerja sang ayah. Ia tahu Giovano menunggunya. Sudah lama mereka tidak bertemu langsung, dan setiap pertemuan selalu penuh dengan agenda besar.
Ruang kerja Giovano Moretti begitu khas: rak penuh buku strategi bisnis, peta dunia besar tergantung di dinding dengan beberapa titik merah menandai negara-negara tempat investasi keluarga Moretti berlabuh. Di balik meja kayu besar yang mengilat, Giovano Moretti—pria berusia enam puluh tahun dengan rambut perak dan sorot mata tajam—duduk sambil memutar gelas berisi wine merah. Beberapa layar monitor di belakangnya menampilkan pergerakan saham dan grafik perdagangan. Ia menunggu anaknya.
Ketika pintu kayu besar terbuka, Elvano masuk dengan jas hitam yang masih rapi. Tatapannya dingin, senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Welcome back, figlio mio,” sapa Giovano dengan suara berat.
“Grazie, Dad,” jawab Elvano sambil mencium tangan ayahnya—sebuah kebiasaan lama yang masih dipertahankan meski mereka hidup di tengah dunia mafia modern.
Giovano menepuk bahunya, lalu memberi isyarat agar putranya duduk.
“Tell me about your last mission in Jakarta. How’s the progress?”
Elvano duduk tegak, menatap ayahnya dengan sikap profesional.
“Everything goes as planned. I blend in, tidak ada yang curiga siapa aku sebenarnya. Jaringan kita di sana semakin kuat.”
Giovano mengangguk puas.
“Good. Asia adalah lahan yang menjanjikan. Jika kita memainkan kartu dengan tepat, kita bisa menguasai pasokan tekstil dan kemudian mengendalikan distribusinya.”
Mereka duduk berhadapan. Sekretaris pribadi masuk sebentar, meletakkan map berisi laporan keuangan, lalu pergi meninggalkan dua generasi mafia paling berpengaruh di Eropa itu.
“Aku sudah mempelajari laporan terbaru,” kata Giovano sambil membuka map. “Perusahaan logistik kita di Rotterdam menunjukkan pertumbuhan pesat. Dari luar terlihat sah, tapi kau tahu, empat puluh persen dari kontainer itu berisi ‘barang khusus’.”
“Drugs and weapons,” sela Elvano datar.
“Exactly.” Giovano menepuk meja. “Dan untuk menutupinya, kita gunakan perusahaan ekspor-impor resmi. Semua politisi yang perlu dibayar sudah kita beri bagian. Bahkan beberapa anggota Interpol—believe it or not—sudah masuk kantong kita.”
Elvano mengangguk sambil memainkan cincin di jarinya.
“Aku lihat strategi Daddy masih sama, gunakan bisnis bersih untuk lindungi bisnis kotor. Tapi zaman berubah. Digital surveillance jauh lebih ketat sekarang. We need a new method.”
Giovano menaikkan alis. “And you have an idea?”
Elvano mencondongkan tubuh.
“Crypto. We can use blockchain to wash the money faster. Banyak investor gila di pasar gelap siap menaruh modal. Kita buat perusahaan fiktif di Dubai atau Singapura, jalankan proyek token palsu. Semua uang hasil perdagangan senjata bisa dialirkan ke sana. They will never track it.”
Giovano terdiam beberapa saat, lalu tersenyum puas.
“Smart. I knew sending you abroad would sharpen your brain. Kau tidak hanya mewarisi darahku, tapi juga otakku.”
Mereka mulai membicarakan detail bisnis: merger dengan perusahaan kecil, rencana membuka cabang baru di Singapura, hingga langkah memperkuat pasar di Eropa Timur.
Elvano menyesap wine yang dituangkan ayahnya. “Bisnis berjalan lancar. Jalur distribusi melalui pelabuhan yang kita kuasai di Asia Tenggara tidak ada hambatan. Tapi…” ia berhenti sejenak, menatap ayahnya, “…ada beberapa kelompok lokal yang mulai ikut campur. Mereka kecil, tapi kalau dibiarkan bisa jadi duri.”
Giovano tertawa pendek.
"Mereka selalu begitu. Lalat-lalat kecil yang berani mendekati madu. Kita pastikan mereka menghilang sebelum menjadi ancaman. Apakah kau sudah mengidentifikasi pemimpinnya?"
“Ya. Aku sudah kirimkan data lengkapnya. But trust me, they’re nothing. Just street rats.”
Giovano mencondongkan tubuh.
“Never underestimate street rats, Demian. Even the smallest rat can bring disease to the whole house. Eliminate them before they grow bigger.”
Elvano mengangguk, matanya menyipit.
“Ingat, Demian!” kata Giovano dengan nada serius. “Business is war. If you don’t control the market, someone else will. Never show weakness.”
“I know, Dad,” Elvano mengangguk. “That’s why I kept my identity hidden in Jakarta. No one should know that a Moretti was involved.”
Percakapan berlangsung panjang. Mereka membahas laporan finansial, grafik perkembangan saham, hingga jaringan partner yang perlu diperkuat. Giovano memaparkan rencana lima tahun ke depan, sementara Elvano memberikan masukan berdasarkan pengamatannya di Asia.
“Kita perlu memperluas pengaruh ke sektor properti,” kata Giovano sambil menunjuk peta. “Dubai, Hong Kong, and maybe Jakarta. Kota-kota ini berkembang cepat. Kalau kita terlambat, kompetitor akan merebut pangsa pasar.”
Elvano mengernyit. "Jakarta has potentials, but also risks. Banyak konglomerat lokal yang tidak bisa dipercaya. Mereka hanya bermain untuk kepentingan pribadi.”
Giovano tersenyum tipis.
“That’s why we need someone inside. Someone they don’t suspect.”
Mata Elvano berkilat. Ia tahu persis maksud ayahnya.
"Dad tak perlu khawatir. Ada aku yang bisa diandalkan."
“Good job, son. If you continue like this, one day you’ll take over everything I’ve built,” kata Giovano bangga.
Elvano hanya tersenyum kecil. Dalam hati, dia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang dia inginkan selain bisnis: Evana. Namun itu adalah rahasia yang tak seorang pun boleh tahu, termasuk ayahnya.
“Yes, Dad,” jawab Elvano mantap, meski dalam hatinya berkata lain.
•••
Malam di London jatuh dengan keanggunannya yang khas. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya keemasan di permukaan jalan yang basah oleh hujan sore tadi. Dari jendela besar kamarnya di mansion Moretti, Elvano berdiri memandang keluar. Angin malam berhembus menusuk, membawa aroma dedaunan basah dan suara samar klakson dari kejauhan.
Namun pikirannya tidak ada di London. Ia tidak memikirkan bisnis baru dengan perusahaan transportasi Italia Utara, atau rapat yang menunggunya esok pagi. Malam itu, seluruh isi benaknya hanya satu: Evana.
Sejak ia meninggalkan Jakarta untuk kembali ke markas besar keluarga Moretti, hatinya terasa kosong. Ada perasaan tak tenang yang terus menghantui—sebuah obsesi yang semakin dalam setiap kali ia mengingat senyum lembut gadis itu. Bagi Elvano, Evana bukan sekadar wanita. Ia adalah simbol kepemilikan, bagian dari harga dirinya, sesuatu yang harus ia miliki apa pun harganya.
Elvano menegakkan tubuhnya, meraih ponsel dari atas meja. Jemarinya menekan nomor khusus—jalur komunikasi langsung dengan salah satu anak buah kepercayaannya di Jakarta.
Nada sambung terdengar tiga kali sebelum suara berat menyapa.
“Ya, Tuan,” ucap pria itu dengan nada penuh hormat.
“Dario,” suara Elvano dingin namun tegas, “bagaimana laporanmu? Apakah semua berjalan sesuai instruksiku?”
“Ya, Bos. Kami terus mengawasi rumah nona Evana. Sejak Anda pergi ke London, kami tidak pernah meninggalkan pos. Setiap gerak-geriknya ada dalam pantauan kami.”
Elvano berjalan perlahan ke arah kursi kulit hitam, duduk dengan sikap seorang penguasa yang tengah menerima laporan perang. Ia menyalakan cerutu, mengisap dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara dengan mata menyipit.
“Dan?” tanyanya, nada suaranya semakin berat. “Adakah yang mencoba mendekatinya?”
Hening sejenak di ujung telepon. Lalu suara Dario terdengar lagi, kali ini lebih hati-hati.
“Ada, Bos. Seorang pria mencoba datang ke rumahnya malam tadi. Membawa rombongan, sepertinya berniat melamar atau setidaknya mendekati nona Evana.”
Mata Elvano menyala, napasnya semakin berat. Tangannya mencengkeram lengan kursi, seolah mencoba menahan amarah yang bergelora.
“Dan kalian?” suaranya nyaris seperti geraman serigala.
“Kami sudah mengamankannya, Bos.” Suara Dario terdengar mantap. “Pria itu tidak akan berani datang lagi. Kami beri peringatan keras. Tidak ada seorang pun yang berani menyentuh, apalagi melamar nona Evana. Dia tetap aman seperti yang Anda inginkan.”
Keheningan menyelimuti ruangan selama beberapa detik. Lalu perlahan, bibir Elvano melengkung membentuk senyum puas. Sebuah senyum yang berbahaya—lebih mirip kepuasan seorang predator setelah memastikan buruannya tidak dicuri.
“Bagus sekali,” ucapnya pelan, seolah membisikkan kata-kata pada dirinya sendiri. “Kalian melakukan pekerjaan dengan baik.”
Ia kembali meneguk wine merah yang sudah disiapkan di meja samping. Cairan pekat itu mengalir hangat di tenggorokannya, menambah rasa kemenangan yang ia rasakan.
“Dengar, Dario,” lanjutnya. “Aku tidak peduli siapa pria itu. Aku tidak ingin mendengar namanya lagi. Yang penting, Evana tidak boleh diganggu. Jika ada satu saja orang yang berani mencoba, habisi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh.”
“Dimengerti, Bos.”
Elvano terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke arah jendela. London dengan segala gemerlapnya tidak berarti apa-apa dibanding bayangan wajah Evana yang terus membayangi pikirannya. Ia merasa seolah jarak ribuan kilometer ini adalah ujian kesabaran. Namun, ia juga tahu: kesabarannya memiliki batas.
“Dario,” katanya lagi dengan suara lebih rendah, nyaris seperti bisikan maut. “Ingatkan anak-anak lain. Tidak ada negosiasi dalam hal ini. Evana adalah milikku. Hanya milikku. Jika ada yang berani menantang… mereka akan tahu konsekuensinya.”
“Siap, Bos.”
Panggilan itu berakhir. Suara klik di telepon menandai berakhirnya percakapan. Namun gema dari kata-kata Elvano masih bergema di ruangannya.
Ia bersandar di kursi, mengangkat kepalanya menatap langit-langit, lalu menutup mata. Senyum tipis kembali muncul di bibirnya. Ia merasa tenang—untuk sementara.
•••
Di sisi lain dunia, tepat di Jakarta, rumah sederhana milik Evana menjadi pusat pengawasan diam-diam. Dua mobil gelap selalu terparkir beberapa ratus meter dari rumah itu, bergantian setiap enam jam. Para pria berpakaian biasa, tampak seperti warga sekitar, tapi sebenarnya adalah orang-orang suruhan Elvano.
Mereka bukan sekadar penjaga. Mereka adalah bayangan, hantu yang memastikan tidak ada satu pun pria yang bisa mendekat tanpa sepengetahuan mereka. Setiap tamu, setiap gerakan, setiap paket yang masuk ke rumah itu dicatat dan dilaporkan.