Part 5

1265 Kata
Seorang Dennis Orlando benar-benar membuktikan ucapannya. Seminggu setelah lamarannya waktu itu, dia mengirimi aku bunga setiap hari. Teman-teman yang sebelumnya membully ku habis-habisan, kini sudah lebih kalem. Paling mereka hanya tersenyum dan mengatakan "ciiieeeee.....", seruan klasik yang kadang-kadang membuatku salah tingkah sendiri. Tidak hanya bunga, dia juga mengirim pesan tiga kali sehari, pagi, siang dan malam seperti jadwal minum obat. Mulai dari sekedar pertanyaan klasik, sudah makan atau belum? Sudah mandi atau belum? Makan apa tadi? Bagaimana pekerjaanmu? Atau sekedar memberitahukan tentang kegiatannya setiap hari. Dia menganggap seolah-olah aku ini benar kekasihnya. Padahal, aku sendiri masih bingung dengan apa yang aku lakukan. Aku masih membentengi diri untuk tidak terburu-terburu mengambil keputusan. Berbalas pesan secukupnya, walaupun terkadang pipiku merona tanpa terkontrol hanya karena notifikasi pesan darinya. Walaupum sering berkirim pesan, tapi semenjak kunjungan terselubung keluarga om Danu minggu lalu, aku dan Olan sama sekali belum bertemu. Dia sedang berada di Singapura untuk menjalani syuting film terbarunya. Tanda notifikasi muncul di handphone ku. Kuraih benda pipih itu yang sejak tadi kuabaikan karena deadline pekerjaan yang harus kuselesaikan. From : Olan Bakpao Aku sampe jakarta sore ini, kmu pulang jam berapa?aku jemput yaa... "Jangan...kamu ga boleh jemput aku, aku belum siap ketemu kamu." jeritku dalam hati To : Olan Bakpao Aku hari ini harus lembur,mgkn jam 8 baru kelar! lagian aku bawa mobil From : Olan Bakpao Dont lie honey...massage kamu yg tadi pagi masih ada di hp ku. Oke...aku jmput kamu jam 8! See u calon istri... Gawat...aku lupa kalau tadi pagi aku mengatakan mobil ku sedang di bengkel dan harus ke kantor naik taksi. Sepertinya takdir memang ingin mempertemukan kami. ------------------- Masih ada waktu 20 menit sebelum jam 8 malam. Aku mematikan komputer dan menyudahi pekerjaan ini. Beranjak dari kubikel ku, aku berjalan menuju toilet. Aku harus merapikan sedikit penampilan ku dan memoles make up tipis di wajah agar tidak terlihat terlalu kusam. Jangan tanya perihal jantungku, sejak tadi dia terus mendobrak seperti ingin keluar. Ku rasa Olan dapat memperpendek usiaku, karena jantungku berdebar tak karuan dan sangat tidak normal. Seperti musik up beat yang berdentum sangat keras. Dengan langkah ragu, aku berjalan menuju lobby, dan kemudian memilih duduk di kursi tunggu. Ting.....satu notifikasi muncul lagi From : Olan Bakpao Aku udh di depan kantor kamu, pake audy hitam. Kamu langsung ke mobil aja ya, takut ada yg liatin! Apa-apaan ini? Dia tak mau turun dari mobil? Apa dia malu ketahuan jalan dengan orang seperti ku? Debaran luar biasa tadi perlahan menghilang, berganti kesal karena merasa tersinggung dengan ucapannya. Dengan wajah cemberut, aku menghampiri mobil yang terparkir di depan lobby dan mengetuk kaca jendelanya. Seraut wajah tampan yang tetap bersinar meski dalam cahaya remang muncul di balik kaca tersebut. Dia benar-benar ada di depanku sekarang. Pintu terbuka, gerakkan kepala nya mengisyaratkan menyuruhku segera masuk. "Pamali lho pasang wajah cemberut malam-malam begini!" katanya ketika aku sudah duduk di kursi penumpang "Si siapa yang cemberut? Biasa aja.." balasku sedikit gugup "Ya udah, kita cari makan dulu ya, aku laper. Abis itu, baru aku antar kamu pulang." Dasar Olan, dia sama sekali tidak peka. "Kalo kamu capek, setelah makan aku pulang naik taksi aja." jawabku kesal "Nggak kok....aku masih segar bugar, lagian mana tega aku biarin calon istriku pulang naik taksi malam-malam." Deg...rasa kesal tadi menguap begitu saja, jantungku berlari lebih kencang, mungkin lebih cepat dari pacuan kuda. Pipiku? Entah...rasanya sedikit panas. Kupalingkan wajah menghadap sekeliling jalan yang kami lalui. Berharap Olan tak melihat warna seperti udang rebus di pipiku. Kami sudah berada di restoran Jepang di daerah Kuningan. Pelayan berpakaian khas Jepang tampak melayani tamu yang tidak terlalu ramai. Salah satu dari mereka menghampiri meja kami sambil membawa daftar menu di tangannya. Ku tebak usianya sekitar dua puluhan. Dan ketika menyadari siapa tamunya, kulihat mata pelayan itu tidak berkedip. Matanya memandang takjub ke arah Olan. Ah..jadi ingat reaksi Sakina waktu itu. Hehe.... "Mau pesan apa mas Dennis?" tanyanya ramah sambil menyerahkan daftar menu pada Olan "Saya pesan satu onogiri, satu sashimi, satu takoyaki dan satu sup miso!" Astaga, sepertinya dia benar-benar kelaparan. Pelayan tadi mancatat menu yang dia pesan dengan kening berkerut. Dalam benaknya, mungkin dia berpikir, artis sesempurna Olan ternyata rakus ketika makan. "Kamu pesan apa Bi?" tanyanya padaku "Hem...satu onogiri dan tempura aja mbak." jelasku pada pelayan itu Setelah mencatat semua pesanan kami, pelayan tadi beranjak meninggalkan meja. Namun baru beberapa langkah, Olan kembali memanggilnya. "Ada lagi mas Dennis?" "Itu...tempura nya ikan atau cumi aja ya, jangan udang!" "Kamu alergi udang kan Bi?" lanjutnya menoleh ke arahku "Eh...iya, ikan aja." jawabku sedikit terkejut Bagaimana dia bisa mengingat hal sekecil itu tentangku? Ku perhatikan wajahnya yang terus tersenyum. Ya Tuhan...mampukah aku mengabaikan pria tampan di depanku ini? Pria yang selalu membuat jantungku berdebar hanya dengan perlakuan kecilnya. Tapi sungguh...perlakuan kecil itu begitu manis. Haruskah aku membuka hatiku untuknya? Pacar masa kecilku yang melamarku sebagai istri setelah berpacaran dua puluh tahun lamanya. Setelah makan, dia mengantarku pulang. Sampai di depan rumah, tak ada tanda-tanda bahwa kami berdua ingin keluar dari mobil. Dia menatap lurus ke depan, sambil mengetuk-ngetuk stir mobil. Sedangkan aku menunduk sambil meremas-remas ujung blouse ku. "Lan..." "Bi..." Kata kami bersamaan "Hehe...kamu duluan Lan!" lanjutku sambil tersenyum "Hem....gini, kamu tahu kan tentang pekerjaan aku?" Aku mengangguk menjawab pertanyaannya "Dunia keartisan yang aku geluti ini banyak risiko nya Bi. Kita ga bisa bebas melakukan apa yang kita mau, harus terus menjaga image, privasi terbatas, sedikit kesalahan yang kita buat bisa menimbulkan masalah besar dalam kehidupan kita." Aku masih diam mendengarkan penuturannya "Selama berkarir, aku selalu berusaha untuk menjaga kehidupan pribadiku dari konsumsi publik. Aku tak ingin orang-orang menjadikan kehidupan pribadi ku sebagai bahan pembicaraan bahkan sumber untuk mencari uang bagi para wartawan yang terkadang suka membuat berita yang tidak benar. Itu semua bisa berbahaya untuk keberlangsungan karirku. Jadi...." Tampak dia menarik napas panjang "Jadi..?" tanyaku penasaran "Jadi aku mau kita merahasiakan hubungan kita Sabrina, kita menikah diam-diam hanya dihadiri keluarga dekat saja. Bagaimana?" Aku terdiam....masih tak percaya dengan permintaannya. Aku teringat dengan beberapa selebritis yang mempublikasikan hubungan mereka ke khalayak ramai. Tapi sepertinya mereka baik-baik saja. Mengapa Olan begitu takut? "Kamu tahu apa yang ingin aku bicarakan tadi?" tanyaku setelah terdiam sesaat Dia menggeleng dan mengerutkan kening tanda meminta jawaban atas pertanyaanku. "Setelah kita makan tadi, memori tentang perlakuanmu padaku satu minggu ini membuatku berpikir untuk membuka hatiku untukmu. Kau yang mengingat hal kecil tentang alergi udangku tadi, mampu membuat hatiku tak berhenti tersenyum. Tapi sungguh, permintaanmu barusan telah membuyarkan semuanya. Menurutku kau bukan khawatir tentang hubungan kita, tapi kau jauh lebih takut kalau karirmu jatuh." Air mata yang menggenang di pelupuk mataku akhirnya keluar tak mampu ku tahan. Aku ingin cepat-cepat keluar, tapi dia menahan tanganku. Satu kata maaf keluar dari bibirnya. Ku perhatikan wajah cemasnya yang penuh harap agar aku menerima permintaan maafnya. Tapi hatiku masih sakit. Ku lepaskan perlahan genggaman jarinya di lenganku. "Kita bicarakan lagi nanti, sekarang kamu pulanglah, istirahat. Kan kamu baru sampai sore tadi." Ku buka pintu mobil dan berjalan masuk ke halaman rumah tanpa menoleh ke belakang. Hingga pintu rumah ku tutup kembali, barulah deru mesin mobilnya terdengar menjauh meninggalkan rumahku. Kurebahkan tubuh di kasur, menatap langit-langit kamar yang warnanya mulai tampak kusam. Air mataku menetes lagi. Baru saja aku ingin merasakan bahagia, tiba-tiba semuanya buyar karena Olan. Walau bagaimanapun, aku tetaplah perempuan biasa yang juga ingin menunjukkan rasa bahagiaku kepada dunia. Membagikan setiap momen penting dalam hidupku kepada orang-orang terdekat. Termasuk momen pernikahan yang lazimnya dihadiri banyak orang atau sekedar jalan berduaan dengan suami layaknya pasangan menikah pada umumnya. Tentunya hal itu tak akan pernah terjadi, jika aku harus menyembunyikan pernikahanku dengan Olan. Karena aku hanya bisa memilikinya diam-diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN