E M P A T B E L A S

1333 Kata
Setelah sehari opname di rumah sakit akhirnya Raya diperbolehkan untuk pulang karena kondisinya semakin membaik meski sering kali Raya masih merasa lemas dan pening. Dari rumah sakit Daffa dan Raya langsung di arahkann menuju rumah kakaknya. "Raya, jangan pernah pikirin kata-kata Papa. Saya yang akan jadi saksi saat kalian menikah nanti," ucap Deva pada Raya yang kini sudah berada di dalam kamarnya bersama Daffa. "Terimakasih, Mas Deva," balas Raya. Selama ini ia memang selalu merasa takut bila berhadapan dengan kakak Daffa karena sikapnya yang dingin dan selalu memandangnya sinis. Tapi, saat ini pria di depannya terlihat lembut dan sangat peduli pada nasib-nya dengan Daffa, berbeda dari biasanya yang selalu diam dan tampak tak peduli. "Yasudah, saya mau balik ke kantor dulu." Setelah itu Deva beranjak keluar dari kamar dan meninggalkan Daffa dan Raya. "Kamu jangan kebanyakan mikir aneh-aneh, aku yang akan urus semuanya. Tugas kamu tetap sehat dan jaga anak kita baik-baik." Pesan Daffa. "Papi aku?" Daffa masih terdiam beberapa saat, dirinya juga masih bingung sebenarnya bagaimana cara menghadapi Papi Raya. "Aku takut Papi akan berbuat nekat, aku nggak mau kehilangan anak kita." Daffa meraih tangan Raya dan menggenggamnya erat. "Nanti aku coba bicarain sama Mas Deva. Kamu dan anak kita tetap dalam lindungan aku." Lagi-lagi Raya menangis dan memeluk Daffa erat. Rasanya masalah tak henti-hentinya menimpa keduanya. "Aku capek, aku pengen hidup tenang kayak dulu lagi," ucap Raya di sela-sela tangisannya. "Sabar, kita sedang di beri ujian." "Tapi aku nggak bisa terus seperti ini, Daf." Daffa tak menjawab dan membiarkan Raya menumpahkan seluruh amarah yang terpendam dalam hatinya. . Setelah Raya mulai tenang dan tangisannya sudah tak lagi terdengar, Daffa melepas pelukannya dan mengusap kepala Raya penuh sayang. "Jangan nangis terus, cantik kamu luntur," guraunya. "Receh!" Jawab Raya dengan setengah terkekeh. "Biarin, yang penting kamu bisa senyum." "Aku kangen berburu kuliner." "Kamu pengen?" Sahut Daffa cepat. Meski uangnya tak memadai namun demi menyenangkan Raya akan Daffa usahakan. Raya mengangguk pelan. Ia jenuh terus-terusan seperti ini tanpa kegiatan. "Yasudah, sekarang kamu istirahat nanti malam kita jalan-jalan." "Serius?" ucap Raya dengan mata berbinar. "Iya sayang." Raya langsung tersenyum sumringah dan mengecup pipi Daffa. "Sekarang kamu istirahat, aku mau ke rumah teman aku dulu ya." Daffa membantu Raya rebahan dan mengecup keningnya lama. "Hati-hati." "Iya sayang." Setelah itu Daffa langsung berjalan keluar dari kamar yang mereka tempati. **** Daffa tersenyum senang saat melihat Raya sangat lahap menikamati menu yang sudah ia pesan di salah satu restoran. Raya yang sebelumnya hanya ia beri sayur-sayuran dan makanan-makan sehat lainnya kini makan seperti orang yang tak pernah diberi makan berhari-hari. "Kamu nggak makan?" Tanya Raya saat makanan yang Daffa pesan belum tersentuh sama sekali. "Aku lihat kamu makan lahap udah ikut kenyang," jawabnya sambil terkekeh. "Ngeledek! abisnya kamu sih nggak pernah kasih aku makanan enak." Sebenarnya Daffa merasa sedikit tersinggung saat Raya berkata dirinya tak pernah memuaskan dalam hal makanan. Selain karena untuk kesehatan Raya, ia juga harus mengirit jadi lebih memilih bahan masakan yang terjangkau dan memiliki gizi tinggi. "Aku juga pengen bahagian kamu terus kayak dulu, bisa kasih kamu ini dan itu. Tapi maaf, sekarang aku belum bisa seperti dulu lagi Ray." Mendengar jawaban Daffa, Raya merasa sangat bersalah telah berbicara seperti itu. "Astaga, maaf Daf aku nggak maksud begitu." Daffa menanggapinya dengan senyuman. Ia tak marah pada Raya karena ia juga menyadari bahwa saat ini sudah tak memiliki apa-apa lagi. "Udah ah, kamu makan lagi gih ." Raya tersenyum tak enak dan melanjutkan makannya kembali. Selesai makan, mereka masih menetap disana sambil menilai-nilai restoran yang baru kali ini mereka masuki. "Tempatnya bagus ya berasa di pedesaan aku," ucap Raya sambil menatap sekeliling yang di penuhi gazebo-gazebo yang terbuat dari bambu dan lampu-lampu yang menghiasi. "Konsepnya memang di buat seperti ini. Dulu, waktu pembangunan aku ikut kasih ide loh," jawab Daffa yang sudah mengenal baik pemilik restoran ini. "Loh kamu kenal sama pemilik restoran ini?" "Iya, dia satu komunitas sama aku. Kita udah berjuang bareng dari beberapa tahun lalu." "Kamu emang nggak bisa minta tolong teman-teman kamu buat hidupin satu usaha kamu lagi?" Tanya Raya yang merasa prihatin melihat Daffa bekerja sebagai buruh yang melelahkan. "Nama aku udah jelek Ray, semua udah nggak percaya sama produksi resto atau kafe aku." "Kan kamu belum coba." Daffa menggeleng, dia sudah bertekad akan memulai semuanya dari nol. "Setelah ini kita akan memulai semuanya dari nol. Kita tutup semua lembaran hitam kita." Tak ada yang bisa Raya lakukan selain menurut dan selalu memberi Daffa dukungan. "Kamu mau bikin usaha apa lagi?" "Aku mau buat produksi rumahan biar aku bisa bantu urus anak kita." "Apa?" "Roti." "Kamu yakin?" Karena setahu Raya selama ini Daffa jarang membuat serba serbi Roti. "Aku sudah belajar banyak sama Mas Gandi bos aku, dan saran dia usaha ini yang cocok di daerah tempat kita tinggal nanti." "Di rumah almarhum kakek kamu itu?" Daffa menggeleng. Dirinya memang belum sempat membicarakan ini sebelumya pada Raya kalau setelah menikah rumah kakeknya akan sangat terpaksa ia jual. "Setelah nikah kita tinggal di kampung halaman kak Dea, sebelum nikah sama mas Deva, kak Dea tinggal sama budhe-nya di kampung. Sekarang budhenya sudah meninggal dan rumah itu kosong jadi kak Dea suruh kita tinggal di sana." Raya tidak tau tentang hal ini sebelumnya. "Kamu nggak keberatan kan? tempatnya nggak jauh dari kota ini, kamu tenang aja." Raya mengangguk, di manapun itu asal bersama Daffa, Raya tak akan pernah keberatan. "Aku bakal dukung seratus persen asal kita selalu bersama." "Terimakasih sayang." Malam ini keduanya benar-benar menikmati malam yang indah dengan mengunjungi temapat-tempat yang sudah lama tak mereka kunjungi. Raya juga terlihat lebih sehat dan tak terlihat stress lagi. ** "Raya udah tidur?" Tanya Dea saat Daffa ikut bergabung di ruang keluarga. "Sudah kak." "Jadi gimana kafe di jayabaya, jadi?" Tanya Deva memastikan keputusan Daffa yang ingin menjual kafe itu. Daffa mengangguk karena hasil dari penjualan Kafe dan rumah peninggalan kakek-nya akan ia buat untuk membeli rumah sederhana serta modal usaha. "Masalah rumah kemarin kamu nggak usah pikirin, kamu tempati aja nggak apa-apa rumah itu udah jadi milik kakak." "Jangan kak, aku akan beli rumah itu karena aku akan menetap disitu." "Yaudah kamu bayar separuh harga aja, nggak ada penolakan!" ucap Dea pada akhirnya toh semenjak menikah dengan Daffa dan orang tuanya meninggal rumah itu tidak ada yang menghuni. "Kak Dea nggak apa-apa?" Tanya Daffa memastikan. "Daf, kamu bakal butuh dana banyak nanti buat lahiran Raya buat modal usaha juga." "Masalah usaha kamu jangan mikir, Daf. Mas bakal modalin kamu berapapun. Kafe juga kamu sewa-kan aja biar ada tambahan dana tiap bulan." Daffa memilih mengiyakan. Kakak nya ada benarnya juga karena setiap bulan ada dana yang bisa di jagakan. "Nanti, kalau usaha aku sudah berkembang aku akan ganti semua, mas." Daffa sangat bersyukur di kelilingi orang-orang baik. Kakak dan teman-temannya juga sangat berbaik hati memberikan bantuan tanpa perhitungan. "Kamu jangan pikrin itu dulu, yang terpenting kamu bisa bangun usaha dan hidup dengan layak." Daffa mengangguk dengan penuh semangat. Ia optimis kalau dirinya bisa bangkit lagi setelah ini. "Jangan pernah sungkan minta bantuan kita, Daf sebisanya kita akan bantu kamu bagaimanapun caranya." Imbuh Dea. "Oh iya, Mas gimana rencana kita untuk ke rumah Raya?" Tanya Daffa. "Emang orang tua Raya sudah di rumah?" "Belum sih, aku cuma tanya rencana kita aja." "Andai kamu mau masuk ke perusahaan mas, pasti orang tua Raya nggak akan anggap kamu remeh," ucap Deva setengah kesal karena Daffa yang sangat keras kepala. Daffa menggeleng karena ia benar-benar menghindari itu. Deva hanya bisa mengembuskan nafas beratnya tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti kemauan adiknya yang super duper keras kepala. "Kakak harap kalian selalu di beri kemudahan ...." **** Ayooo gaiss pencet love love love loveeee? Jangan lupa follow author juga ya karena pencet love dan follow itu mudah dan nggak pake lama? Terimakasih semuaa sudah berkenan mampir? Follow juga ig aku ya Ig : renamayriskaa_
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN